tirto.id - Ketegangan antara India dan Pakistan menuai kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk pelaku pasar global. Gesekan kedua negara yang terjadi sejak awal Mei 2025 ini, turut menciptakan gelombang guncangan di kawasan yang selama ini menjadi salah satu pilar pertumbuhan ekonomi global.
Serangan udara India ke Bahawalpur dan Muridke, ledakan di Lahore, dan ancaman pembalasan dari Islamabad dinilai bukan hanya peristiwa militer biasa. Dunia kini menyaksikan dua negara bersenjata nuklir bersiap masuk ke dalam pusaran konflik terbuka yang bisa menghancurkan stabilitas ekonomi kawasan Asia Selatan.
“Asia Selatan kembali berdiri di ambang krisis,” tutur Ekonom dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, kepada Tirto, Jumat (9/5/2025)
Pasar keuangan merespons dalam hitungan jam. Indeks saham utama seperti Nifty 50 di India dan KSE-100 di Pakistan mengalami koreksi tajam. Nifty sempat melemah 2,4 persen sementara indeks Pakistan kehilangan hampir 1.000 poin hanya dalam beberapa hari. Di saat bersamaan nilai tukar rupee Pakistan jatuh 1,5 persen dalam dua hari perdagangan. Sedangkan rupee India ikut tertekan meski masih tertolong cadangan devisa yang besar.
Efek kejut tersebut, kata Syafruddin, membuat investor global mulai menarik dana dari pasar saham dan obligasi kedua negara. Dana yang semula diarahkan ke emerging market dialihkan ke aset safe haven. Kondisi ini memperlihatkan betapa cepatnya sentimen bisa berubah ketika konflik bersenjata mengancam dua kekuatan utama Asia Selatan.
Bank sentral India dan Pakistan terpaksa melakukan intervensi untuk menahan dampak volatilitas. Biaya lindung nilai terhadap rupee naik signifikan. Kontrak forward mata uang untuk tiga bulan ke depan turut mencerminkan lonjakan risiko. Dalam skenario ini, kata Syafruddin, biaya pinjaman luar negeri akan meningkat, dan tekanan terhadap anggaran negara tidak terhindarkan.
“Jika ketegangan berlanjut hingga kuartal ketiga, maka kemungkinan revisi proyeksi pertumbuhan oleh lembaga-lembaga internasional akan semakin besar,” imbuh dia.
Syafruddin khawatir konflik berkepanjangan antara kedua negara juga akan berdampak ke sektor riil. Jalur logistik lintas batas antara India dan Pakistan lumpuh. Jalur darat Wagah Attari yang selama ini menopang perdagangan kapas, tekstil, pupuk, dan produk pertanian ikut berhenti beroperasi. “Ini membuat produsen di Faisalabad dan Ludhiana kehilangan bahan baku dan akses pasar,” imbuhnya.
Negara-negara tetangga seperti Bangladesh dan Nepal pun ikut terdampak. Ketergantungan mereka terhadap barang-barang dari India dan Pakistan membuat keterlambatan pengiriman menjadi masalah serius. Inflasi pangan di Bangladesh, kata Syafruddin, bahkan mulai meningkat karena gangguan pengiriman beras dan pupuk. Petani di kawasan ini tidak bisa menunggu konflik mereda, karena waktu tanam yang terlewat berarti potensi gagal panen.
Tidak hanya itu, sektor jasa seperti pariwisata, penerbangan, dan asuransi juga mengalami tekanan besar. Maskapai besar dunia seperti Lufthansa, Emirates, dan Singapore Airlines kini mulai mengalihkan rute penerbangan dari wilayah udara Pakistan dan India utara. Hotel dan biro perjalanan turut kehilangan ribuan pelanggan karena wisatawan membatalkan perjalanan setelah munculnya travel warning dari Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.
Sementara di tingkat global, lanjut Syafruddin, proyek strategis seperti Cina Pakistan Economic Corridor (CPEC) ikut terancam. Cina diketahui memiliki investasi lebih dari 60 miliar dolar AS di Pakistan, terutama di infrastruktur dan energi. Jika konflik terus memburuk, Beijing akan menahan penyaluran dana baru demi menghindari risiko keamanan. Negara-negara Teluk seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi juga mulai menahan rencana investasi karena kepercayaan terhadap stabilitas Pakistan mulai terkikis.
“Konflik ini adalah pengingat keras bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari stabilitas politik. Ia menghancurkan kepercayaan, investasi, dan masa depan kawasan. Asia Selatan punya potensi ekonomi luar biasa, tetapi potensi itu akan terus terkubur jika dua negara utamanya terus bersaing di jalur konflik,” tegas Syafruddin.
Bagaimana Dampaknya ke Indonesia
Sementara bagi Indonesia, ketegangan ini akan menciptakan risiko tidak langsung tetapi signifikan. Stabilitas kawasan Asia Selatan mempengaruhi persepsi global terhadap pasar negara berkembang. Jika kawasan ini terguncang oleh konflik berkepanjangan, arus modal dan portofolio investasi akan mencari tempat yang lebih aman.
“Indonesia berpotensi terkena imbas dari gejolak finansial yang menjalar, terutama jika sentimen global terhadap Asia menurun,” kata Syafruddin.
Lebih jauh konflik India dan Pakistan juga berpotensi mengganggu kelancaran jalur perdagangan internasional yang penting bagi Indonesia. Ketika ketegangan meningkat, negara-negara di kawasan biasanya langsung memberlakukan pembatasan wilayah udara dan pengalihan jalur laut untuk alasan keamanan. Hal ini memaksa maskapai penerbangan dan kapal kargo untuk menempuh rute yang lebih jauh dan mahal.
“Ini membuat rantai pasok akan terpengaruh, terutama pengiriman produk-produk yang mengandalkan efisiensi waktu dan biaya seperti tekstil, elektronik, serta produk pertanian,” jelas dia.
Syafruddin mengatakan, jika wilayah udara Pakistan atau perairan di Laut Arab menjadi zona eksklusi, pengiriman barang ke dan dari Timur Tengah, Afrika, serta Eropa bisa tertunda. Biaya logistik pun meningkat, dan pelaku usaha ekspor-impor di Indonesia akan menanggung beban tersebut.
Dalam situasi ini, pemerintah harus sigap memperkuat koordinasi pelabuhan, mengamankan jalur alternatif, dan memastikan logistik nasional tetap kompetitif. Konflik di satu kawasan seharusnya tidak melumpuhkan perdagangan regional, dan Indonesia perlu hadir sebagai suara kuat untuk stabilitas dan keterbukaan jalur logistik internasional.
India sendiri merupakan salah satu pasar utama ekspor Indonesia, terutama untuk komoditas nonmigas seperti batu bara, minyak sawit, gambier, produk kimia, dan logam. Ketika India terlibat konflik bersenjata dengan Pakistan, prioritas pemerintah India akan bergeser dari perdagangan ke pertahanan. Ini memicu gangguan permintaan domestik, hambatan logistik, hingga perubahan kebijakan impor secara tiba-tiba.
“Importir India bisa menunda kontrak dagang baru, dan sektor swasta mereka akan menahan ekspansi karena meningkatnya risiko politik,” jelas dia.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan neraca perdagangan Indonesia dengan India pada 2024 lalu surplus sebesar 14,67 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Nilai ekspor Indonesia pada 2024 mencapai 20,33 miliar dolar AS sedangkan impor sebesar 5,66 miliar dolar AS. Ekspor Indonesia ke India berupa batu bara, minyak kelapa sawit, baja, biji tembaga dan perhiasan.
“Dampak terhadap Indonesia bisa sangat terasa, terutama jika ekspor ke India mulai melambat. Pelaku usaha akan menghadapi ketidakpastian pasar dan potensi penurunan volume perdagangan,” jelas dia.
Tak hanya dengan India saja sebenarnya, neraca perdagangan Indonesia dengan Pakistan juga tercatat masih surplus pada 2024 lalu sebesar 2,9 miliar AS. Data BPS menunjukkan, nilai ekspor Indonesia ke Pakistan pada 2023 sebesar 3,5 miliar dolar AS. Sedangkan nilai impor Indonesia dari Pakistan sebesar 621 juta dolar AS.
“Terkait dengan dampak konflik India dan Pakistan, itu yang perlu diwaspadai satu adalah dampak tidak langsungnya terhadap prospek perekonomian di Asia Selatan. Itu bisa berpengaruh terhadap kinerja ekspor Indonesia, terutama India dan Pakistan merupakan mitra yang cukup strategis, terutama soal minyak kelapa sawit dan berbagai barang-barang komoditas lainnya,” ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, kepada Tirto, Sabtu (10/5/2025).Selain menganggu kinerja perdagangan, dampak lainnya yakni adanya kekhawatiran stabilitas kurs nilai tukar melemah akibat risiko global meningkat. Ini membuat investor hati-hati masuk ke kawasan Asia Selatan hingga ke Asia Tenggara.
"Jadi kalau Asia Selatannya kemudian performanya kurang baik, akan mempengaruhi sentimen juga ke negara-negara Asia Tenggara dalam memutuskan investasi," ujarnya. "Jika pengaruh tersebut nanti ke stabilitas, maka nilai tukar rupiah bisa melemah," ujar Bhima menambahkan.
Meski akan berdampak, namun Bhima melihat konflik Pakistan-India ini bisa juga memberikan harapan Indonesia untuk bisa melakukan diversifikasi ekspor ke Asia Selatan. Namun, bila ketegangan kedua negara tersebut berlangsung lama, tetap lebih banyak merugikan posisi Indonesia daripada keuntungannya.
"Mungkin Indonesia bisa mendapatkan peluang sedikit dengan relokasi industri India itu ke Indonesia. Meskipun itu bukan hal yang cukup mudah karena India banyak industri yang sudah berteknologi tinggi, sementara Indonesia masih pengolahan komoditas basisnya. Jadi perlu kerja ekstra untuk menarik peluang relokasi dari India," pungkas dia.
Jalur Perdagangan RI Aman?
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menilai ketegangan yang meningkat di perbatasan India dan Pakistan belum memberikan dampak signifikan terhadap kegiatan ekspor Indonesia. Hingga saat ini, jalur perdagangan laut yang menjadi rute utama ekspor Indonesia menuju kawasan tersebut masih berjalan normal.
"Sejauh ini belum ada hambatan di jalur perdagangan laut. Konflik ketegangan di wilayah perbatasan. Tujuan ekspor kita ke daerah pelabuhan,” ujar dia kepada Tirto, Sabtu (10/5/2025).
Meski begitu, para pelaku eksportir tetap memantau situasi dengan cermat. Eskalasi konflik yang belum dapat diprediksi ini menjadi perhatian utama dalam menjaga stabilitas perdagangan luar negeri Indonesia. “Sejauh ini kita belum tahu eskalasi konflik,” imbuhnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, sebelumnya juga memastikan bahwa konflik antara India dengan Pakistan tidak mengganggu kinerja perdagangan, terutama ekspor batu bara Indonesia. India sendiri diketahui sebagai pembeli terbesar batu bara RI dalam beberapa tahun terakhir.
“Nggak ada masalah (konflik India-Pakistan),” ucap Bahlil ketika ditemui di Kementerian ESDM seperti dilansir Antara, Kamis (8/5/2025).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Cina, Amerika Serikat, dan India merupakan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia, dan batu bara merupakan produk unggulan ekspor Indonesia.
Nilai ekspor batu bara Indonesia pada 2023 berada di angka 34,5 miliar dolar AS. India menempati urutan pertama dalam daftar pasar batu bara RI dengan volume menembus 108,07 juta ton atau melandai 0,79 persen. Pun secara nilai, ekspor batu bara ke India menembus 6,25 miliar dolar AS pada 2024 atau setara dengan Rp102,34 triliun atau jeblok 13,93 persen.
“Nah, pasti mereka (India) butuh batu bara kita, kan? Nggak ada masalah,” tutur Bahlil.
Selain tidak menemukan kemungkinan terganggunya ekspor batu bara Indonesia, konflik India dengan Pakistan juga diyakini tidak akan mengganggu pengiriman minyak mentah. “Nggak ada masalah. Kalau kami melihat dari sini, belum ada terganggu apa-apa,” kata dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































