Menuju konten utama

Membidik Celah Ekspor di Balik Tirai Perang Dagang

Perang dagang membuka peluang perluasan pasar ekspor Indonesia. Peningkatan kualitas produk, penguatan diplomasi  hingga dukungan pembiayaan jadi kunci.

Membidik Celah Ekspor di Balik Tirai Perang Dagang
Foto udara suasana dermaga TPI Higienis Sodoha di Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (16/4/2025).ANTARA FOTO/Andry Denisah/rwa.

tirto.id -

Ketegangan antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan Cina, kembali memuncak usai keduanya gagal mencapai kesepakatan mengenai tarif perdagangan. Friksi yang tak kunjung reda ini bukan hanya akan mengancam stabilitas rantai pasok global, tetapi juga menciptakan gelombang baru dalam dinamika perdagangan internasional—memaksa banyak negara untuk mengkaji ulang strategi ekspor-impor mereka.

Namun, di balik tirai ketidakpastian tersebut, terbuka ruang bagi banyak negara untuk memperluas jejaknya di pasar ekspor. Mereka yang mampu merespons secara adaptif dan cepat bisa memosisikan diri sebagai mitra dagang alternatif jangka pendek, sekaligus memperkuat daya saing produknya di kancah global.

Sebabnya jelas: ketika dua raksasa ekonomi dunia saling memberlakukan tarif tinggi, para produsen dan pembeli global akan mencari alternatif pasokan yang lebih stabil, efisien dan kompetitif. Dalam konteks ini, Indonesia punya peluang untuk menawarkan produk-produk bernilai tambah yang tak hanya bersaing dari sisi harga, tapi juga berkualitas tinggi dan berasal dari sumber yang andal.

“Indonesia memiliki peluang strategis untuk memanfaatkan situasi ini secara cerdas,” ujar Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, kepada Tirto, Rabu (30/4/2025) malam.

Pandangan serupa disampaikan Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rizal Taufikurahman. Menurutnya, dinamika yang terjadi saat ini membuka ruang bagi Indonesia untuk dapat memanfatkan pergeseran rantai pasok global dengan mendorong diversifikasi pasar ekspor. Khususnya, bagi produk-produk manufaktur, komoditas pertanian dan bahan mentah.

"Banyak negara mitra dagang akan mencari alternatif sumber barang yang lebih kompetitif, dan Indonesia dapat masuk sebagai pemasok pengganti bagi barang-barang yang sebelumnya diimpor dari Cina atau AS," ungkapnya saat dihubungi Tirto, Rabu (30/4/2025) malam.

Tak hanya itu, Rizal juga menyoroti potensi limpahan investasi asing akibat relokasi industri dari Cina ke kawasan Asia Tenggara sebagai respons terhadap ketegangan geopolitik dan meningkatnya beban tarif. Pada akhirnya, kata dia, ini akan memperkuat kapasitas produksi domestik dan memperluas basis ekspor.

Potensi BRICS dan D8

Hemat Syafruddin, pemerintah perlu mengambil langkah proaktif dengan membidik pasar-pasar baru. Perluasan ekspor ke pasar non-tradisional seperti negara-negara BRICS dan D8 bisa menjadi strategi kunci untuk mengurangi ketergantungan pada pasar konvensional dan membuka jalur baru pertumbuhan ekonomi.

Kelompok BRICS, sebagai kekuatan ekonomi berkembang,menawarkan pasar yang luas dengan kebutuhan yang terus tumbuh, mulai dari energi, pangan hingga barang-barang manufaktur. Di saat yang sama, negara-negara D8—yang mencakup Turki, Mesir, Iran, Bangladesh, Pakistan, Malaysia, Nigeria, dan Indonesia—juga menyimpan potensi besar dalam kerja sama perdagangan, terutama karena kesamaan karakteristik pasar dan potensi ekonomi yang belum tergarap maksimal.

“Sebagai ketua D8 saat ini, Indonesia berada dalam posisi sangat strategis untuk memimpin inisiatif perluasan akses pasar, fasilitasi dagang, dan integrasi pelaku usaha antarnegara,” kata Syafruddin.

Jika Indonesia berhasil memanfaatkan momentum ini secara efektif, maka kepemimpinan Indonesia di D8 berpotensi membuka akses yang lebih lebar menuju negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang berjumlah lebih dari 50 negara dengan populasi yang sangat besar dan permintaan yang terus berkembang.

“Saatnya Indonesia melihat BRICS dan D8 sebagai mesin pertumbuhan ekspor baru,” jelas dia.

Menurutnya, dalam dunia yang makin terfragmentasi, memperluas pasar ke negara-negara mitra strategis yang memiliki semangat kerja sama Selatan-Selatan adalah langkah yang tepat. Dengan kepemimpinan yang visioner dan dukungan penuh dari pelaku usaha, Indonesia dapat menjadikan perluasan pasar ekspor ini sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi jangka menengah dan panjang.

INDEF sendiri tak menampik bahwa megara-negara BRICS menawarkan peluang besar bagi ekspor Indonesia karena memiliki pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, populasi besar, serta permintaan yang tinggi terhadap bahan mentah dan produk konsumsi yang menjadi andalan Indonesia, seperti batu bara, minyak sawit mentah, karet, makanan olahan, dan produk perikanan.

Selain itu, inisiatif de-dolarisasi yang didorong oleh BRICS juga sejalan dengan upaya Indonesia untuk memperluas transaksi perdagangan dalam mata uang lokal (local currency settlement), yang dapat mengurangi tekanan terhadap nilai tukar dan membuat perdagangan lebih efisien.

Namun demikian, kata Rizal Taufikurahman, peluang ekspor ke pasar ke BRICS juga diiringi sejumlah tantangan yang tak bisa diabaikan, seperti hambatan non-tarif berupa regulasi teknis, standar mutu yang ketat, sertifikasi lingkungan, serta keterbatasan logistik ke negara seperti Brasil dan Afrika Selatan yang bisa menurunkan daya saing produk Indonesia.

Belum lagi, risiko geopolitik seperti sanksi terhadap Rusia atau ketidakstabilan ekonomi di Afrika Selatan juga menambah kompleksitas dalam membangun hubungan dagang jangka panjang.

Oleh karena itu, strategi ekspor Indonesia ke BRICS menurutnya harus lebih dari sekadar menjual komoditas primer. Dibutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh, mulai dari penguatan diplomasi ekonomi, perjanjian dagang bilateral yang lebih agresif, dukungan pembiayaan ekspor, serta peningkatan kualitas dan daya saing produk untuk menjangkau pasar yang terus berkembang namun penuh persaingan ini.

Pun untuk memanfaatkan peluang ekspor tersebut, timpal Syafruddin Karimi, pemerintah perlu memperkuat posisi Indonesia sebagai eksportir terpercaya dengan memastikan bahwa rantai pasok domestik berjalan efisien, kebijakan ekspor bebas hambatan, dan fasilitas logistik mendukung kecepatan dan keandalan pengiriman—sembari memperkuat sektor-sektor unggulan seperti tekstil, elektronik, otomotif, furnitur, produk perikanan, serta makanan dan minuman olahan yang sangat dibutuhkan oleh pasar global.

Selain itu, pemerintah juga perlu memperluas perjanjian perdagangan bilateral dan regional untuk memastikan produk Indonesia mendapat perlakuan preferensial di pasar ekspor utama. Diplomasi dagang, menurutnya harus menjadi senjata utama untuk membuka akses, menyelesaikan hambatan teknis, dan menciptakan iklim yang kondusif bagi pengusaha ekspor nasional.

“Dalam situasi global yang tidak stabil, kecepatan bertindak, kejelian membaca pasar, dan konsistensi kebijakan akan menentukan apakah Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini sebagai loncatan atau justru tertinggal,” jelas dia.

Dukungan Ekspor

Di sisi lain, Market Intelligence & Leads Management Chief Specialist Indonesia Eximbank, Rini Satriani, mengatakan sebagai kepanjangan tangan pemerintah, pihaknya terus mendukung pelaku ekspor nasional untuk memanfaatkan peluang di tengah kondisi ketidakpastian ini.

Dukungan ini dilakukan tidak hanya melalui penyediaan fasilitas keuangan saja, melainkan juga melalui layanan non-keuangan seperti penyediaan informasi pasar, identifikasi prospek buyer, analisis kondisi pasar tujuan, serta pendampingan berbasis keahlian guna meningkatkan kapabilitas dan pengetahuan strategis (knowledge asset) para eksportir Indonesia.

Rini menyampaikan diversifikasi pasar saat ini menjadi langkah strategis yang perlu ditempuh untuk memperluas akses ekspor. Salah satunya dengan memanfaatkan kerja sama ekonomi seperti Trans-Pacific Partnership (TPP), BRICS, dan berbagai peluang dari negara-negara mitra dagang strategis lainnya.

“Memang tidak mudah untuk mengalihkan pasar ekspor, namun hal ini dapat dicapai jika eksportir mampu mengidentifikasi buyer yang kredibel serta memiliki akses pasar yang tepat. Selama kualitas produk terus dijaga, maka loyalitas buyer akan tumbuh dan mendorong terjadinya repeat order secara berkelanjutan,” katanya.

Kendati penuh tantangan, Indonesia harus tetap optimis menatap prospek ekspor jangka menengah dan panjang. Di tengah tensi perdagangan global yang belum sepenuhnya mereda, kewaspadaan terhadap kebijakan tarif dan proteksionisme tetap diperlukan.

Namun, peluang pasar baru melalui skema kerja sama internasional dan perluasan akses ke negara mitra dagang non-tradisional menjadi ruang tumbuh yang perlu dimaksimalkan oleh pelaku ekspor nasional.

Sejauh ini ekspor Indonesia sendiri menunjukkan pertumbuhan positif di tengah tantangan global yang dihadapi. Secara kumulatif, ekspor nasional pada periode Januari hingga Maret 2025 tumbuh sebesar 6,9 persen. Pertumbuhan ini ditopang oleh komoditas utama seperti CPO (Crude Palm Oil), besi dan baja, serta mesin dan perlengkapan elektrik.

Sekitar 60,5 persen dari total ekspor Indonesia pada periode Januari hingga Maret 2025 tersebar ke sejumlah komoditas utama, antara lain lemak dan minyak nabati (12,8 persen), bahan bakar mineral (12,8 persen), besi dan baja (10,3 persen), mesin dan perlengkapan elektrik (6,7 persen), serta kendaraan dan bagiannya (6,4 persen).

Eksportir Indonesia saat ini juga telah berhasil memasarkan produknya ke-192 negara di seluruh dunia, dengan 65,8 persen dari total ekspor terkonsentrasi pada 10 negara tujuan utama seperti Cina, AS, India, Jepang, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Thailand, Taiwan, dan Belanda.

“Tiongkok dan Amerika Serikat menjadi mitra dagang terbesar, menyumbang 33,9 persen dari total ekspor. Mitra dagang seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand juga menunjukkan pertumbuhan positif, dan Indonesia juga mampu menahan penurunan ekspor ke India, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan,” tambah Rini.

Untuk lebih meningkatkan diversifikasi produk dan pasar ekspor, eksportir Indonesia didorong untuk lebih aktif menggali informasi dan memanfaatkan program yang disediakan pemerintah melalui kementerian/lembaga terkait. Salah satunya adalah Penugasan Khusus Ekspor (PKE) Kawasan yang disediakan oleh Indonesia Eximbank. Program ini bertujuan menyediakan pembiayaan ekspor bagi pelaku usaha yang menargetkan negara di kawasan Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah.

“Dengan memanfaatkan peluang pasar baru dan kerja sama internasional, maka Indonesia optimis dapat terus meningkatkan ekspor dan memperkuat posisinya di pasar global,” tutup Rini.

Baca juga artikel terkait PERANG DAGANG CINA-AS atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Insider
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas