tirto.id - Helen menghela napas.
Tekad bulat yang sudah dikumpulkan semenjak beberapa bulan lalu untuk resign alias mengundurkan dari kantornya, belum juga ia realisasikan.
Helen merasa terjebak di perusahaan tempatnya bekerja sekarang.
Kariernya mandek dengan pendapatan yang sudah sulit diajak berkompromi untuk menanggung biaya hidupnya sehari-hari.
Belum lagi, office politics yang semakin membuatnya jengah dan tidak betah berlama-lama berada di dalam lingkungan kantor.
Di tengah ketidaknyaman tersebut, Helen mustahil mengabaikan karut-marut situasi saat ini: ekonomi tidak menentu, fenomena PHK di berbagai sektor, dan membludaknya peserta di acara-acara job fair yang menyiratkan semakin sempitnya celah lapangan kerja.
Alhasil, meski kondisi di kantor tidak mengenakkan, Helen mengurungkan niatnya untuk resign dan tetap “bersyukur” dengan kesempatan yang sudah dimiliki sekarang.
"Cari kerja sekarang gak gampang, makin banyak persaingan. Sebenarnya pengennya ya segera dapat kerjaan baru dan gajinya cukup untuk support kebutuhan hidup," ujarnya lirih.
Artinya, dalam seumur hidup, seseorang mendedikasikan 90 ribu jam untuk segala urusan terkait pekerjaannya.
Bukan tidak mungkin, bagi beberapa pekerja, durasi untuk bekerja jauh lebih panjang daripada untuk membersamai keluarga atau orang terkasih.
Namun, dengan realitas yang ada, seperti halnya Helen, sudah tentu tidak ada orang yang benar-benar mencintai pekerjaan mereka seratus persen.

Berbagai ketidakpuasan dan perasaan tidak suka terhadap pekerjaan, menurut Ratna Yunita Setiyani Subardjo, S.Psi., M.Psi., Psikolog atau biasa disapa Nita, dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Demikian terang Nita yang juga dosen di Fakultas Psikologi UNISA Yogyakarta.
Sebenarnya, dari perilaku sehari-hari, terdapat beberapa tanda yang menunjukkan apakah kamu sedang melalui masa-masa sulit yang bersifat sementara di tempat kerja, atau kamu memang benar-benar sudah tidak suka dengan pekerjaanmu.
Melansir artikel yang terbit di situs milik aplikasi Calm, beberapa tanda tersebut di antaranya adalah perasaan takut terus-menerus menjelang hari Senin, tidak merasa termotivasi dan tidak bersemangat, mengeluh tentang pekerjaan sepanjang waktu, merasa lelah secara fisik atau emosional, dan tidak adanya lagi rasa pencapaian di tempat kerja atau sering melamun membayangkan tentang resign.
Jika kamu merasa relate dengan beberapa sinyal di atas, bisa jadi itu adalah indikator bahwa kamu sudah tidak lagi cocok berada di tempat kerja saat ini.
Meski begitu, memutuskan resign tentu tidak semudah membalikkan tangan.
Seperti cerita Helen dan beberapa orang lain di luar sana, ada banyak hal yang menjadi pertimbangan hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bertahan di kantor lebih lama dari yang mereka inginkan.
Setidaknya terdapat dua hal utama yang membuat seseorang bertahan di pekerjaan yang tidak dinikmatinya. Pertama adalah motif ekonomi.
Melansir tulisan dari founder platform pemberdayaan karier perempuan She Own Success, Antonette Oloo, meski kamu membenci pekerjaanmu, tidak bisa dimungkiri bahwa kamu masih harus memenuhi keperluan pangan sehari-hari, tak terkecuali beragam tagihan terkait urusan rumah dan gaya hidup.
Inilah sebabnya, salah satu alasan terbesar banyak orang merasa terjebak dalam pekerjaan yang mereka benci adalah rasa kekhawatiran .
Yang kedua adalah alasan keluarga.
Kemungkinan lain yang bisa membuatmu merasa terjebak dalam pekerjaan yang tidak kamu nikmati berkaitan dengan kemudahan yang sudah diberikan oleh pihak kantor, misalnya terkait work-life balance dan fleksibilitas.
Atas dasar latar belakang kompleksitas itu semua, menyarankan seseorang untuk meninggalkan sumber pendapatan utama mereka tidaklah realistis.
Bahkan menurut Kerri Smith-Osei, LMFT, terapis berlisensi dan pendiri Nuff Healing di Woodland Hills, California, saran demikian juga terkesan sangat meremehkan.
Menurut Smith-Osei, siapa pun yang terjebak dalam profesi yang tidak disukainya sudah pasti pernah berpikir atau bermimpi untuk berhenti.
Namun, Smith-Osei menuturkan, “orang-orang memiliki tanggung jawab”.
“Mereka punya tagihan, asuransi kesehatan yang biasanya terhubung dengan pekerjaan mereka. Dan bagi kelompok masyarakat yang terpinggirkan, ada sistem yang membuat mereka sulit untuk berhenti begitu saja,” katanya dikutip dari artikel di SELF.
Di sisi lain, berlama-lama membiarkan perasaan negatif berkembang dari tempat kerja menimbulkan efek buruk pada mental, bahkan berakumulasi menjadi stres kronis yang dapat berdampak pada kondisi fisik.
Lantas, apa yang dapat dilakukan untuk menghadapi situasi yang rasanya tidak mengenakkan ini?
"Bagi mereka yang belum bisa resign, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk bertahan secara mental dan emosional," ungkap Nita.
Meski cenderung sulit dilakukan, Nita menyarankan untuk melatih mindfulness dan meditasi.
Selain itu, Nita menganjurkan membuat jurnal untuk mengungkapkan perasaan sehingga perasaan negatif yang muncul dalam diri bisa dikelola.
Aktivitas journaling, melansir tulisan Madeline Miles di situs platform coachingBetter Up, memberikan kesempatan pada diri sendiri untuk mengambil jeda sejenak dari hiruk pikuk pekerjaan dan merenungkan lagi: apa saja yang sebenarnya membuat kita suka atau tidak suka pada pekerjaan saat ini?
Kemudian, cobalah cari dukungan dari orang lain, seperti teman atau keluarga untuk menguatkan diri menghadapi masa-masa sulit.
Terkait dengan langkah dalam menyikapi lingkungan kantor, Nita menyarankan untuk membuat perubahan-perubahan kecil dalam rutinitas pekerjaan yang nantinya berguna untuk meningkatkan kepuasanmu sendiri.
Misalnya, membangun koneksi dengan rekan kerja supaya pekerjaan menjadi lebih bermakna dan menyenangkan.
Ajaklah rekan kerja untuk makan siang atau bawakan mereka kopi dan camilan sebagai cara untuk memulai percakapan santai.
Momen-momen seperti itu mungkin akan membuatmu merasa memiliki sesuatu hal yang dinanti-nantikan di kantor, meskipun kamu sudah merasa tidak terpanggil oleh pekerjaan itu sendiri.
Koneksi dengan rekan kerja ternyata memengaruhi kesejahteraan emosional dan mental.
Data yang dihimpun dari riset Better Up menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki koneksi sosial rendah cenderung mengalami peningkatan stres, kecemasan, depresi, dan kelelahan.
"Hal lain yang bisa dilakukan adalah mencari kegiatan di luar pekerjaan yang bisa memberikan makna diri sendiri sekaligus membantu kita mengelola stres," ujar Nita.
Kembali melansir SELF, Tiffany Young, PhD, LPC, terapis berbasis di Texas, menyarankan untuk memilih hobi yang tidak menambah stres dan benar-benar menarik minat, seperti olahraga atau aktivitas seni.
Meluangkan waktu untuk kegiatan yang bikin relaks demikian, meski sebentar saja, dapat mengingatkan kita bahwa ada masih ada hal-hal lain yang menyenangkan di dalam hidup ini selain rutinitas bekerja.
Tak kalah penting, menurut Nita, adalah mulai menyusun rencana untuk mencari pekerjaan baru.
Memikirkan langkah-langkah selanjutnya dapat membuatmu kuat dan berdaya karena memberikan pengharapan bahwa kamu tidak akan terjebak selamanya di tempat yang tidak membuatmu nyaman.
Namun, Young menggarisbawahi, memikirkan langkah selanjutnya bukan berarti kamu harus langsung memulai pencarian karier yang agresif. Sebab, langkah tersebut justru dapat membuatmu merasa semakin terbebani.
Sebaliknya, cobalah mulai dengan sesederhana memperbarui resume atau profil LinkedIn.
Selain itu, di akhir pekan, pertimbangkan juga untuk melakukan evaluasi diri: apa yang kamu inginkan di tempat kerja selanjutnya?
Kelak, jika tiba waktu yang tepat untuk meninggalkan pekerjaan saat ini, kamu akan lebih siap. Setuju?
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































