Menuju konten utama
GWS

Dering Panggilan Telepon dari Atasan Melahirkan Kecemasan

Meski sekilas tampak sepele, panggilan telepon mendadak dari atasan bisa berdampak pada psikologis pekerja. Fokus terpecah, emosionalnya terguncang.

Dering Panggilan Telepon dari Atasan Melahirkan Kecemasan
Ilustrasi telephobia. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Ponsel tiba-tiba berdering saat sedang fokus mengerjakan sesuatu yang lebih penting. Jantung berdegup kencang ketika nama bos atau klien muncul di layar panggilan masuk. Otak langsung berpikir, “Apa lagi ini? Deadline baru? Revisi lagi kah?”

Nyatanya, ia bicara panjang lebar hanya untuk bertanya, “Eh, file itu dikirim ke email yang mana, ya?” atau “Meeting besok bawa kopi apa enggak?”. Rasanya seperti balon harapan yang dikira penuh drama tiba-tiba kempis.

Ada desahan kecil, lalu senyum miring muncul di wajah, sambil bergumam dalam hati, “Bisa WA aja kali, Bro.”

Begitulah, dalam dinamika kerja modern, terutama dengan maraknya model kerja hibrida dan jarak jauh, efektivitas sering kali diuji oleh hal-hal sepele. Fenomena ini, meski terkesan kecil, sejatinya mencerminkan aspek krusial dan berdampak signifikan terhadap produktivitas kerja.

Dering Interupsi Panggilan Telepon "Receh"

Dalam konteks organisasi atau perusahaan, panggilan telepon mendadak dari pimpinan, tanpa pemberitahuan maupun kejelasan konteks, bukanlah sekadar gangguan sesaat dalam rutinitas kerja. Lebih dari itu, tindakan yang tampak remeh ini menyimpan konsekuensi, terutama dalam dinamika hubungan kerja dan kesehatan mental karyawan.

Reaksi spontan yang digambarkan seperti “jantung berdegup kencang” mengindikasikan adanya aktivasi respons stres. Karyawan secara inheren menginterpretasikan interupsi semacam itu sebagai indikasi urgensi atau bahkan masalah krusial.

Mereka terpaksa menghentikan alur kerja, mengalihkan fokus secara instan, dan bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Ironisnya, esensi panggilan tersebut sering kali berkutat pada informasi yang sebenarnya dapat disampaikan melalui medium komunikasi yang lebih efisien, seperti pesan singkat atau catatan suara.

Kecemasan dan ketegangan bisa terbentuk secara mendadak karenanya. Stesor mikro ini, meskipun tampak sepele dan terbatas di level individu, dapat terakumulasi dan berkontribusi pada peningkatan stres kerja secara keseluruhan. Parahnya, hal itu dapat memperlebar risiko terjadinya kelelahan (burnout), apalagi jika ditambah dengan tekanan kerja lainnya.

Ilustrasi telephobia

Ilustrasi telephobia. FOTO/iStockphoto

Karena dianggap “receh”, masalah tersebut justru menjadi kian berbahaya karena cenderung diabaikan dan tidak dinilai sebagai isu substansial yang memerlukan perbaikan.

Gangguan telepon mendadak secara subtil menggerogoti “modal atensi” tim. Setiap interupsi, terutama yang memaksa peralihan kognitif dari tugas di depan mata menuju topik yang tidak terprediksi, membuat energi dan waktu terkuras.

Implikasinya jelas: efektivitas kepemimpinan tidak hanya diukur berdasarkan visi strategis, tetapi juga dari hal-hal fundamental seperti cara berkomunikasi. Panggilan telepon mendadak tanpa konteks adalah contoh nyata bahwa tindakan "sepele" dapat memunculkan dampak yang jauh lebih besar terhadap produktivitas, kesejahteraan, dan keterlibatan tim.

Denyut Cemas, Dampak Psikologis Panggilan Tak Terduga

Kecemasan yang menyelimuti aktivitas panggilan telepon di lingkungan kerja bukan lagi sekadar keluhan individual. Data dari Face for Business (2024) menunjukkan, mayoritas (65 persen) pekerja di Inggris mengalami kecemasan saat menerima panggilan telepon di tempat kerja. Fenomena itu disebut sebagai gejala “phone anxiety”.

Tak hanya itu, hampir dua pertiga buruh kantoran mengaku pernah menghindari panggilan kerja karena cemas. Lebih mencengangkan lagi, pekerja usia muda (18-34 tahun), generasi yang notabene paling fasih berkomunikasi digital asinkron, justru lebih rentan mengalaminya.

Lantas, mengapa panggilan telepon mendadak dan tanpa konteks mampu memicu kecemasan yang begitu kuat? Menurut ilmu psikologi, ada beberapa faktor yang berperan. Otak manusia cenderung membentuk “jalan pintas” psikologis berupa kecemasan. Panggilan telepon mendadak itu menjadi sinyal potensi masalah, terlepas dari isi pesan yang akan disampaikan.

Phone anxiety sering kali berakar pada ketakutan akan penilaian, salah ucap, ketidakpastian ekspektasi, serta kekhawatiran lain. Relasi kuasa yang tidak sehat memperparahnya. Karyawan mungkin khawatir dinilai negatif oleh atasan apabila kurang cakap merespons panggilan.

Panggilan dadakan juga merampas kendali pekerja atas alokasi waktu dan fokusnya. Hal ini bisa sangat disruptif bagi individu yang telah menyusun rencana kerja secara cermat untuk tugas-tugas yang membutuhkan konsentrasi tinggi.

Fenomena ini beririsan dengan konsep telephobia atau fobia telepon. Meskipun tidak identik, prinsip psikologis pekerjaan “on-call” juga relevan di sini. Penelitian dari Central Queensland University menunjukkan, potensi panggilan mendadak serta kekhawatiran adanya tugas tambahan berkontribusi terhadap peningkatan kecemasan, penurunan kualitas tidur, serta kinerja kognitif. Perasaan antisipatif seperti “mungkin saya akan ditelepon” atau “panggilan ini tentang apa” menciptakan tekanan psikologis serupa.

Model kerja hibrida dan jarak jauh makin memperparah dampak negatif ini. Minimnya isyarat non-verbal dalam komunikasi virtual mempersulit interpretasi, meningkatkan ambiguitas, dan potensi terjadinya salah tafsir.

Berkurangnya frekuensi interaksi tatap muka membuat panggilan telepon terasa lebih formal dan berisiko tinggi. Ketika menghadapi panggilan semacam itu, para pekerja menjadi tidak leluasa meminta klarifikasi atau dukungan dari rekan kerja di sekitarnya.

Kaburnya batasan antara kehidupan profesional dan personal membuat panggilan tak terduga bak intrusi. Ia menyerobot begitu saja di tengah-tengah fokus, bahkan tak jarang di waktu pribadi.

Leonard Reinecke dkk. dalam jurnalnya menggarisbawahi, mentalitas “selalu aktif” dapat memicu peningkatan stres digital. Gejala fisik dan mentalnya amat nyata, meliputi gemetar, berkeringat, jantung berdebar, mual, kesulitan bernapas atau berbicara, hingga rasa takut yang ekstrem.

Panggilan tak terduga tidak hanya berdampak secara emosional, melainkan juga menambah beban kognitif. Bayangkan jika seorang buruh muda harus meladeni telepon dari atasan boomers. Kekurangtepatan penggunaan bahasa atau bahkan kegagapan teknologi dapat menambah beban si buruh.

Biang Kerok Interupsi dan Erosi Produktivitas

Panggilan telepon tak terjadwal dari atasan adalah bentuk interupsi di tempat kerja. Berbeda dengan pesan singkat yang fleksibel, dering telepon menuntut perhatian instan.

Ilmu kognitif menjelaskan dampaknya: peralihan perhatian, beban kognitif tambahan, dan resumption lag yang signifikan, memerlukan waktu rata-rata 23 menit 15 detik untuk kembali fokus. Interupsi singkat pun melipatgandakan tingkat kesalahan. Secara kumulatif, gangguan tersebut menyebabkan kerugian produktivitas setara 11,5 minggu per tahun.

Interupsi sangat merugikan deep work, tugas kognitif yang butuh konsentrasi tinggi. Survei yang dilakukan oleh Crucial Learning menunjukkan, kurang dari 61 persen buruh mampu menjalani deep work tanpa gangguan. Panggilan tak mendesak dari pimpinan merusaknya, menghambat memori kerja dan fokus, menurunkan kinerja serta kepuasan kerja.

Ilustrasi telephobia

Ilustrasi telephobia. FOTO/iStockphoto

Lingkungan kerja dengan interupsi tinggi menciptakan tekanan dan budaya terburu-buru, mengorbankan kualitas pekerjaan. Tugas yang terputus juga memicu ruminasi dan menghambat pemulihan stres. Dampak negatif pada produktivitas lebih besar dibanding interupsi rekan kerja karena adanya lapisan kecemasan.

Namun, kebiasaan yang dilakukan oleh pemimpin seperti itu akan menciptakan normalisasi perilaku interupsi di tim. Ini menciptakan budaya gangguan terus-menerus, mengikis fokus dan produktivitas kolektif, serta berpotensi meningkatkan stres bersama.

Gangguan rutin juga berdampak pada efektivitas komunikasi yang terhambat oleh kesenjangan persepsi transparansi antara pimpinan dan karyawan. Data Slack Future Forum pada 2021 menyoroti disparitas ini. Mayoritas eksekutif merasa dirinya sangat transparan (66 persen), sementara hanya 42 persen karyawan yang setuju dengan pernyataan tersebut. Persepsi serupa terjadi pada pembagian perkembangan baru perusahaan (81 persen vs 58 persen).

Jurang itu muncul akibat asimetri informasi, dinamika kekuasaan yang menghambat umpan balik kejujuran, fokus kepemimpinan satu arah, dan perbedaan pengalaman sehari-hari antara eksekutif dan karyawan.

Masalah komunikasi “receh” seperti panggilan dadakan berpotensi terus ada. Akan lebih parah jika terus-menerus dianggap sebagai isu tidak penting oleh pemimpin yang kurang peka terhadap realitas di lapangan.

Membangun Kewarasan Komunikasi

Keamanan psikologis anggota tim sangat bergantung pada komunikasi yang terbuka, rasa hormat, dan kepercayaan. Konsep ini, sebagaimana dijelaskan oleh Amy Edmondson, memungkinkan mereka merasa aman dalam mengambil risiko tanpa takut konsekuensi negatif.

Cara paling sederhana menangani masalah seperti itu adalah dengan memberikan konteks sebelum menelepon. Ini membantu karyawan mempersiapkan diri, mengurangi kecemasan, dan membangun pola komunikasi yang lebih konsisten.

Pemimpin yang transparan dan menghargai waktu pekerjanya akan menciptakan lingkungan kerja lebih stabil. Gaya kepemimpinan autentik dan transformasional berkontribusi pada rasa aman, terutama jika disertai dengan kesediaan menerima umpan balik.

Sebaliknya, komunikasi yang tidak mempertimbangkan kondisi psikologis dapat merusak kepercayaan dan menciptakan siklus negatif.

Komunikasi efektif yang dimaksud di sini bukan sekadar soal transparansi. Penting juga untuk menyesuaikan media komunikasi yang dipakai dengan konteks dan urgensi pesan. Perihal ini dijelaskan melalui konsep yang disebut Media Richness Theory. Media komunikasi seperti telepon video cocok untuk membicarakan isu kompleks. Sementara itu, media ramping seperti surel dan pesan singkat lebih efektif untuk informasi sederhana dan dokumentasi.

Atasan perlu memahami kapan menggunakan komunikasi sinkron (real-time) atau asinkron (tertunda). Memberikan konteks sebelum panggilan juga penting untuk menjaga keseimbangan kerja dan menghormati waktu serta ruang aman secara mental.

Kepemimpinan bukan soal bisa bicara kapan saja, tapi tahu kapan harus kasih ruang dan kapan cukup bilang: “Aku chat aja, ya!”.

Baca juga artikel terkait KETENAGAKERJAAN atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mild report
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin