tirto.id - Baik tanggal 25, tanggal 1, atau tanggal lainnya, momen gajian adalah rutinitas bulanan yang selalu ditunggu oleh jutaan pekerja. Setelah berhari-hari bergelut dengan target, tenggat, dan rapat, datangnya notifikasi transfer gaji membawa kelegaan tersendiri, sebuah penanda bahwa jerih payah selama sebulan penuh akhirnya terbayar.
Gaji adalah bentuk kompensasi finansial yang diberikan kepada seseorang sebagai imbalan atas tenaga, waktu, dan pikiran yang dicurahkan untuk sebuah organisasi atau perusahaan. Sistem pembayaran gaji bulanan yang kita kenal sekarang berakar pada evolusi panjang sistem kompensasi tenaga kerja.
Sebelum Gaji Bulanan Lahir
Jauh sebelumnya, tenaga kerja sering kali dihargai dalam bentuk pemenuhan kebutuhan dasar atau bahkan perbudakan. Di Babilonia, misalnya, saat Raja Rin-sin berkuasa sekitar 2300 SM, budak dijual dengan kontrak tertulis tanpa mendapat upah. Sementara di Mesir Kuno, sistem kerja lebih maju dengan adanya pembayaran upah, penyediaan perumahan, serta aturan cuti kerja.
Ibrahim Zulkarnain dalam studinya di majalah ilmiah Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya menyebut Mesir Kuno mencatat pemogokan buruh pertama dalam sejarah pada tahun 1170 SM, mengindikasikan kesadaran hak pekerja jauh sebelum zaman modern.
Memasuki abad pra-industri di Eropa, terutama di Inggris, sebelum abad ke-18, sistem kerja berubah dengan dominasi home industry atau kerajinan rumahan. Kota-kota seperti Liverpool, Birmingham, Mancester, dan London, berubah menjadi kota-kota industri rumahan yang melahirkan kelompok masyarakat kelas menengah.
Dalam sistem ini, para pekerja, sering kali satu keluarga, bekerja di rumah masing-masing menggunakan peralatan milik sendiri.Mereka mengambil bahan baku dari pengusaha dan menyetorkan barang jadi kepadanya.
Pekerja tidak menerima gaji berbasis waktu, tetapi upah borongan sesuai jumlah produk yang diselesaikan (piece-rate system). Ini memberi kepraktisan bagi para majikan, karena mereka hanya membayar berdasarkan hasil tanpa harus memikirkan jadwal tetap atau tunjangan tambahan.
Sistem pembayaran ini menciptakan ketidakpastian ekonomi bagi pekerja, karena penghasilan mereka bergantung pada volume produksi dan permintaan pasar. Tidak ada standar penggajian bulanan atau jadwal tetap seperti yang dikenal saat ini.
Evolusi sistem kerja menuju model gaji bulanan mulai terbentuk seiring munculnya Revolusi Industri. Kehadiran perusahaan besar dan standar tenaga kerja mendorong penciptaan jadwal pembayaran tetap, yang memberi stabilitas finansial bagi pekerja dan kemudahan administrasi bagi pengusaha.
Revolusi Industri sebagai Pemantik
Penemuan mesin uap dan teknologi manufaktur lainnya melahirkan Revolusi Industri pada abad ke-18. Hal ini memicu peralihan masif dari tenaga kerja manusia dan hewan ke tenaga mesin.
Pabrik-pabrik bermunculan, menggantikan sistem kerja rumahan dengan industri skala besar. Bersamaan dengan Revolusi Agraria yang mendorong perubahan di perdesaan. Urbanisasi meningkat drastis, mengubah kota-kota menjadi pusat produksi yang ramai dan penuh sesak.
Di dalam pabrik, lahir kelas sosial baru: kelas buruh atau proletariat, yang menjual tenaga kerjanya, dan kelas pengusaha atau borjuis/kapitalis, yang memiliki alat-alat produksi.
Para pekerja menghadapi ritme kerja yang ditentukan oleh mesin, dengan jam kerja panjang dan kondisi yang sering kali tidak manusiawi.
Di awal Revolusi Industri, buruh bekerja hingga 16 jam sehari dengan upah minim, tanpa perlindungan hukum atau jaminan keselamatan. Perempuan dan anak-anak juga bekerja dengan bayaran rendah, sementara kemiskinan dan penyakit merebak di lingkungan pekerja.
Struktur sosial pun berubah, membentuk jurang antara kelas pekerja yang mengandalkan upah untuk bertahan hidup dan pemilik modal yang mengendalikan produksi.
Dalam sistem kerja rumahan sebelumnya, pembayaran berbasis hasil lebih fleksibel. Namun, pabrik menuntut keteraturan, sehingga sistem upah berbasis waktu mulai diterapkan. Awalnya harian atau mingguan, lalu bulanan demi efisiensi administrasi.
Sistem gaji bulanan kemudian semakin mapan, memberikan stabilitas bagi pekerja sekaligus kemudahan bagi industri dalam mengelola keuangan. Sistem ini terus berkembang seiring perubahan ekonomi dan sosial, tetapi tantangan memastikan kesejahteraan pekerja masih menjadi bagian dari perdebatan hingga hari ini.
Pasca-Revolusi Industri, pengelolaan upah ribuan pekerja setiap hari atau minggu menjadi semakin sulit. Siklus pembayaran bulanan muncul sebagai solusi praktis bagi perusahaan, menyederhanakan pencatatan dan memastikan keberlanjutan produksi.
Bagi pekerja, sistem ini menawarkan stabilitas dibandingkan upah harian atau borongan yang sering fluktuatif. Meski jumlahnya kerap tak mencukupi, kepastian menerima gaji setiap bulan membantu dalam perencanaan keuangan pekerja.
Sistem Penggajian di Indonesia
Sistem penggajian di Indonesia dipengaruhi oleh masa kolonial Belanda, ketika muncul kerja paksa, dikenal sebagai rodi atau heerendiensten, khususnya untuk proyek-proyek infrastruktur.
Di sektor perkebunan swasta yang berkembang pesat setelah Reforma Agraria (1870), pemerintah kolonial mengeluarkan Koeli Ordonantie (Ordonansi Kuli) pada tahun 1880. Peraturan ini mengikat buruh kontrak (kuli), terutama dari Jawa, Tiongkok, dan India Selatan, untuk bekerja di perkebunan-perkebunan di luar Jawa, seperti Deli di Sumatra Timur.
Meskipun secara hukum mengatur hubungan kerja, ordonansi ini sering kali menjadi alat legitimasi praktik kerja paksa dengan upah sangat minim, jam kerja panjang, dan kondisi hidup yang buruk. Pelanggaran kontrak oleh kuli dapat dikenai poenale sanctie, yaitu hukuman fisik atau denda yang berat.
Menurut Zainal C. Airlangga, peneliti dan penulis sejarah di Museum Bank Indonesia, seperti dikutip Kompas TV, kuli laki-laki mendapat upah 42 sen perhari, sedangkan kuli perempuan 36 sen per hari. Sedangkan "pekerja bule" digaji 250 gulden hingga 1.000 gulden per bulan.
Di beberapa perkebunan, sistem pembayaran menggunakan "uang kebon" atau token perkebunan menjadi metode kompensasi yang membatasi kebebasan buruh dalam menggunakan pendapatan.
Token yang hanya berlaku di dalam area perkebunan, kerap dipakai untuk membeli kebutuhan di toko-toko milik perusahaan dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan pasar umum. Dengan sistem ini, perusahaan dapat memastikan bahwa uang yang dibayarkan kepada pekerja kembali masuk ke kantong mereka.
Sistem tersebut mulai menghilang setelah pemerintah kolonial mampu menyediakan uang pecahan kecil yang cukup sekitar tahun 1911.
Setelah kemerdekaan, Indonesia mewarisi banyak regulasi kolonial. Konsep upah minimum mulai dikenalkan pada tahun 1956 dan berkembang menjadi sistem formal pada 1969.
Seiring waktu, kebijakan ini mengalami perubahan, termasuk desentralisasi penetapan upah dan formula berbasis inflasi serta pertumbuhan ekonomi.
Selain upah minimum, Indonesia memiliki sistem kompensasi unik seperti Tunjangan Hari Raya (THR), yang berawal sebagai bantuan kepada PNS, serta Gaji ke-13 yang berkembang sejak era Soeharto.
Di tengah dinamika kebijakan upah minimum, sistem pembayaran gaji bulanan telah menjadi kebiasaan bagi mayoritas pekerja formal di Indonesia. Praktik ini dipengaruhi oleh kombinasi warisan sistem administrasi dari masa kolonial dan praktik yang diadopsi oleh perusahaan-perusahaan besar serta instansi pemerintah pasca-kemerdekaan.
Beda Negara, Beda Tanggal Gajian
Jika di Indonesia gaji bulanan sudah menjadi norma, di berbagai negara lain praktik penggajian menunjukkan variasi yang cukup beragam. Meskipun banyak negara menerapkan pembayaran bulanan, ada juga yang memilih sistem dua mingguan, mingguan, bahkan semi-bulanan.
Sistem pembayaran bulanan umum ditemukan di negara-negara Eropa seperti Jerman, Prancis, Italia, Belanda, serta sebagian besar negara Amerika Latin dan Asia, termasuk Jepang dan Indonesia. Di Inggris, gaji bulanan juga menjadi standar, biasanya dibayarkan pada hari kerja terakhir setiap bulan.
Sementara itu, Amerika Serikat lebih sering menggunakan sistem gaji dua mingguan (bi-weekly), karyawan menerima gaji setiap dua minggu sekali dan biasanya pada hari yang sama.
Ada juga pembayaran mingguan, yang masih populer terutama di sektor tertentu, serta sistem semi-bulanan, di mana gaji dibayarkan dua kali sebulan, misalnya tanggal 15 dan 30.
Selain frekuensi pembayaran, beberapa negara memiliki aturan tambahan berupa gaji ke-13 atau ke-14.
Di Amerika Latin, praktik Aguinaldo mengharuskan perusahaan memberikan gaji ekstra menjelang akhir tahun, sementara negara-negara Eropa seperti Spanyol dan Austria memiliki kebiasaan membayar hingga 14 kali setahun. Jepang juga menerapkan bonus musim panas dan akhir tahun, sementara Indonesia memiliki THR sebagai kewajiban hukum.
Perbedaan periode pembayaran gaji tersebut menunjukkan bahwa sistem pembayaran gaji bukan hanya soal efisiensi administrasi, tetapi juga dipengaruhi oleh regulasi, tradisi, dan kekuatan sosial.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi