tirto.id - Di masa Kabinet Amir Sjarifuddin II (Juni 1947—Januari 1948), buruh merupakan istilah yang jamak digunakan sebagai labelisasi pangkat terhormat, termasuk gelar jabatan untuk menteri jajaran kabinet.
Surastri Karma Trimurti, istri Sayuti Melik, dilantik oleh Presiden Sukarno sebagai Menteri Perburuhan pada Oktober 1947. Dia, yang berjulukan Mak Ompreng, dikenal sebagai salah satu menteri perempuan pertama di Kabinet Amir Sjarifuddin.
Namun, mandataris “perburuhan” seakan raib dilahap gelap ketika memasuki lorong Orde Soeharto. Portofolio kerja dengan labelisasi “buruh” ditampik sebelah tangan. Soeharto alergi menggunakan istilah buruh, dan lebih memilih menyukai penggunaan kata karyawan dan tenaga kerja.
Istilah karyawan berasal dari kata karya 'kerja' dan wan 'orang'. Definisi ini berpotensi mengintervensi deskripsi general buruh perusahaan atau kantor. Bahkan, sebelum menduduki takhta kepresidenan, Soeharto lewat proyek TNI AD bertajuk “Operasi Karya” pada 1960 telah dianggap meminggirkan subjek buruh.
Sebagaimana ditulis oleh David Reeve dalam Golkar: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran & Dinamika (1987), tentara dilibatkan dalam proyek pembangunan pemerintah di bidang produksi dan distribusi. Aparat bersenjata itu masuk dalam semua tingkatan struktural, baik rehabilitasi maupun pembangunan perdesaan.
Sebagai perpanjangan tangan proyek ini, TNI AD mensponsori Serikat Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI) yang berdiri pada 1963. SOKSI merupakan organisasi yang diproyeksikan mampu mengeliminasi keberadaan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), konfederasi serikat buruh terbesar di Indonesia pada periode yang sama. Namun, setelah G30S meletus, SOBSI dibubarkan paksa lantaran dicap mengangkangi Pancasila sebab afiliasinya sebagai onderbouw PKI.
Pada 27 Maret 1966, rezim yang baru seumur jagung itu segera mengganti nama Departemen Perburuhan menjadi Departemen Tenaga Kerja. Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa Soeharto betul-betul serius menggeser term buruh menjadi karyawan dan tenaga kerja. Dia tampak alergi mendengar kata tersebut di kabinetnya. Karenanya, dia tidak hanya mengubah nama departemen, tetapi juga konotasi dan simbolisme bahasa.
“Departemen ini memang termasuk departemen hitam,” tulis Awaloedin Djamin, Menteri Tenaga Kerja periode 1966-1968, dalam autobiografinya, Pengalaman Seorang Perwira Polri: Awaloedin Djamin (1995: 93).
Usai mengubah nama departemen, Orde Soeharto tidak berhenti menajamkan penetrasinya kepada buruh. Barang tentu pergeseran konotasi kata sekaligus pemilihan langkah semacam itu jadi sungut politik tertentu.
Orde Soeharto dicap tak hanya meninggalkan borok bernanah pada tragedi Marsinah, tetapi sekaligus mendiskriminasi perayaan serta gerakan buruh. Soeharto lewat Awaloedin Djamin meniadakan peringatan Hari Buruh ‘May Day’ setiap 1 Mei sejak 1967. Dia tidak hanya berusaha menghapus, tetapi juga melarang.
Menggeser dan Menekan Lewat Peyorasi dan Eufemisme
Dalam linguistik sehari-hari yang lebih terkini, buruh makin mengalami kemerosotan nilai. Maknanya dikucilkan sebagai sesuatu yang kerdil dan sembarangan.
Buruh tidak cukup dimaknai hanya sebagai pekerja yang bertujuan memperoleh imbalan, tetapi lebih spesifik lagi, dianggap pekerja “kelas rendah” yang cenderung mengandalkan otot fisik ketimbang intelektualitas. Begitulah cara kerja eufemisme yang menodong rasionalitas bahasa di masa Soeharto.
Sederet organisasi turut mengalami transisi nama menjadi serikat pekerja, alih-alih tetap bergeming sebagai serikat buruh. Misalnya, Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI), yang berdiri pada 20 Februari 1973, mengubah anggaran dasarnya dari bentuk federasi menjadi unitarisme (kesatuan). Ia juga bertransisi menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) pada kongres kedua FBSI 23-30 November 1985.
Organisasi berlabel buruh yang masih eksis di masa awal Orde Soeharto—kendatipun tak berafiliasi dengan komunisme—mendulang getah pahitnya sendiri. Mereka dianaktirikan. Di sisi lain, term tenaga kerja, bahasa kacung yang dianggap penurut dalam propaganda militerisme Soeharto, diangkat derajatnya.
“[Sarekat Buruh Muslimin Indonesia] Sarbumusi, [Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia] Gasbiindo, [Serikat Organisasi Buruh] SOB Pancasila, tidak dilarang, tetapi sulit menyelenggarakan aktivitas .... Tidak demikian halnya dengan SOKSI, seiring dengan menguatnya posisi AD dalam politik secara nasional, SOKSI memiliki peran besar di perusahaan-perusahaan,” tulis AF. Sigit Rochadi, dalam Gerakan Buruh Indonesia: Perlawanan dan Fragmentasi (2021: 93).
Realitas politik demikian membuat banyak serikat buruh mempertimbangkan eufemisme, mengganti nama organisasinya sehingga memuat kata pekerja atau karyawan. Buruh sudah mengalami peyorasi. Konotasinya dipelintir dan citranya buruk di mata Orde Soeharto.
Sekalipun dua terminologi buruh dan pekerja dipakai berdampingan (setara) dalam beberapa undang-undang, konotasi keduanya tetap berlainan.
Man power, embrio linguistik tenaga kerja, bermakna dahsyat. Dia bertanda simbolik yang menolok kaitan representasi objek oleh kognisi manusia. Apabila dimaknai dengan teori semiosis ala Charles Sanders Peirce (dalam Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya [2014]), pemaknaan kognitif bahasa dalam cara ini ditafsirkan sebagai interpretant.
Tenaga kerja, dalam istilah semiosis, mafhum diinterpretasikan sebagai “seseorang yang bekerja pastilah berdaya”. Karena itu, dalam strata struktural bahasa, term tenaga kerja akan dianggap sedikit lebih tinggi dibanding buruh.
Lihat pengertian yang termuat di KBBI dan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kata buruh secara etimologi ditafsirkan sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah (pasal 1 butir 3). Sementara itu, makna tenaga kerja lebih tendensius, yakni orang yang mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (pasal 1 butir 2).
Bahkan dalam urusan etimologi bahasa, buruh dianggap suatu metafora yang transaksional dan industrial. Sementara itu, tenaga kerja disiratkan sebagai sebuah kemampuan cipta karya manusia yang budiman.
Pemilihan kata tidak pernah bebas nilai. Diksi tidak bisa lepas dari campur tangan kekuasaan.
Dalam Gerakan Buruh Indonesia: Perlawanan di era transisi Demokrasi terhadap Neoliberalisme (2022: 113) karya Yudi Rachman, pergeseran term buruh menuju pekerja dilakukan lewat tekanan yang kuat. SPSI di masa Orde Soeharto menjadi organisasi sentral yang bertugas sebagai pengawas buruh.
Lewat militerisme dan ancaman, Orde Soeharto memutus revolusi dan patriotisme gerakan buruh. Karakter radikal, yang kerap dijumpai dalam gelombang protes demonstrasi buruh, dijinakkan. Mereka mencuci otak buruh dengan ideologi “harmoni” yang disebarkan oleh SPSI. Doktrin tersebut dianggap memiliki mentalitas “damai dan landai”, sebagaimana laju eufemisme.
Serikat Pekerja dan Karyawan: Tunggangan Politik Orde Soeharto
Dalam salah satu fragmen tulisan A.F. Sigit Rochadi, dimuat pula beberapa pengakuan penting dari Suhardiman, sosok yang mendalangi pembentukan SOKSI.
Demi usahanya menggeser term buruh, Suhardiman memaksa beberapa buruh yang tergabung dalam serikat buruh untuk melepaskan keanggotaannya. Lantas, ia menyeret mereka masuk ke Persatuan Karyawan Perusahaan Negara (PKPN) yang diketuai oleh dirinya sendiri.
Kelak, PKPN menjelma SOKSI yang tergabung dalam Front Nasional. Serikat ini tancap gas mengusung Pemilu 1963 sebagai faksi sayap onderbouw tentara.
Yoga K., dalam Maju terus pantang mundur! (2004: 125), menyebut kaki tangan Suhardiman, Adolf Rachman, yang mendukung tabiat politik SOKSI, memperoleh mandataris sebagai ketua Konsentrasi Golongan Karya Buruh (Kongkarbu). Tujuannya, meraup suara pemilu sebanyak mungkin untuk memenangkan orang-orang kepercayaan Soeharto ke dalam pemerintahan.
Namun, langkah tersebut menjadi aneh ketika buruh justru digunakan sebagai alat dan perkakas untuk memodali surat suara. Konsep ini jelas bertentangan dengan friksi karyawan yang semula dikedepankan untuk menolak konsep buruh yang dicap antagonistis. Di sini, TNI AD benar-benar memainkan peran picik dan licik. Mereka menunggangi politik lewat popor dan sangkur senjata, mengancam buruh untuk “memilih” calon yang mereka usung.
Suhardiman juga mengaku bahwa SOKSI selalu terlibat dalam proses penyeleksian buruh-buruh di perusahaan: mana yang mesti dipertahankan dan mesti dipecat. Kebanyakan mereka yang dipecat dituduh terlibat dalam gerakan “kiri”.
Seturut catatan Jafar Suryomenggolo, dalam Serikat Buruh 1945-1948 (2024), peyorasi kata buruh merupakan upaya depolitisasi buruh di masa Orde Soeharto. Kata ini begitu jarang digunakan dan cenderung dihindari. Alasannya, buruh mengandung konotasi kiri, marxis, komunis, dan sebagainya.
Soeharto, yang alergi terhadap kata buruh, memilih menggunakan kata karyawan/karyawati. Konotasi ini dianggap jauh lebih “layak” dibandingkan dengan buruh, yang dinilai menentang kekuasaan dan anti-pemerintah.
Refleksi Friksi Buruh, Tenaga Kerja, dan Karyawan
Sah-sah saja apabila terdapat kecurigaan yang menilai bahwa pemilahan terminologi buruh, tenaga kerja, dan karyawan, sengaja digunakan untuk memecah konsolidasi kekuatan kelompok tersebut. Massa buruh yang besar menjadi catatan Orde Soeharto, entah sebagai potensi pendongkrak suara atau justru menggoyang stabilitas politiknya.
Peyorasi ini pula yang menyebabkan, pada masa sekarang, tiga istilah tersebut berkonotasi berbeda. Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh, bukan Hari Tenaga Kerja, Hari Pegawai, ataupun Hari Karyawan. Akibatnya, perayaan May Day cenderung eksklusif mengerucut pada profesi yang berkenaan dengan tenaga kasar.
Dalam istilah beken, konotasi buruh di Indonesia didominasi oleh kerah biru yang sebagian besar bekerja di pabrik. Sementara itu, buruh yang dikonotasikan sebagai tenaga kerja dan karyawan kantoran dikenal sebagai kerah putih. Mayoritas dari mereka bekerja di sektor perbankan, administrasi, dan pariwisata.
Kedua istilah tersebut perdana digunakan oleh novelis Upton Sinclair pada 1920 dan menjadi frasa yang digandrungi pekerja untuk mengklasifikasi jenis pekerjaan tertentu. Namun, frasa tersebut membawa beban stigma yang ditampang, kerah biru dianggap lebih rendah daripada kerah putih.
Tak ayal bila di momen May Day, profesi yang bersentuhan dengan pekerjaan manual atau divisi manufaktur kerap dibenturkan dengan mereka yang bekerja di belakang meja dan menghadap komputer. Acap kali mereka yang mengklaim sebagai kerah putih tak mau disejajarkan dengan kerah biru lantaran menganggap perangainya lebih tinggi.
Bahasa realitas dan friksi politik hari ini menyebabkan keduanya berkonotasi berbeda. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dua terminologi ini mendapat perlakuan setara. Jumlah jam kerja, cuti hari libur, PHK, pesangon, dan sebagainya, diatur lewat payung hukum yang sama.
Lebih dari sekadar buruh maupun karyawan general, tenaga pendidik macam guru dan dosen juga diatur dalam undang-undang yang mengait buruh pula. Artinya, pegawai negeri sekalipun sebenarnya diklasifikasikan sebagai buruh.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin