Menuju konten utama

Sejarah Orde Baru Melarang Peringatan Hari Buruh

Sebagai Menteri Tenaga Kerja, Awaloeddin Djamin melarang peringatan Hari Buruh Internasional setiap tanggal 1 Mei.

Sejarah Orde Baru Melarang Peringatan Hari Buruh
Sejumlah buruh dari berbagai serikat buruh melakukan aksi pada saat peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di kawasan Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta, Rabu (1/5/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama.

tirto.id - Orde Baru adalah mimpi buruk bagi kaum buruh. Rezim ini tak hanya meninggalkan luka hebat pada tragedi Marsinah, tapi juga memberangus setiap gerakan dan perayaan yang dilakukan buruh. Orde Baru melarang peringatan Hari Buruh Sedunia setiap tanggal 1 Mei, dan mencoba menghapus istilah "buruh" dengan "karyawan".

Sejak Maret 1966, yakni sejak kekuatan politiknya mulai naik, Soeharto sudah membidik kaum buruh yang jumlahnya sangat banyak, jauh lebih banyak dari seluruh tentara yang berada di bawah kuasanya.

Menurut Robert Edward Elson dalam The Idea of Indonesia (2009:370) yang ia kutip dari Kompas (02/05/1966), pada tanggal 1 Mei 1966, Letnan Jenderal Soeharto mengeluarkan pernyataan, “Rakyat Indonesia tidak tahu mengenai kelas, dan perjuangan kelompok pekerja bukanlah perjuangan kelas.”

Setelah resmi menjadi pesiden, Soeharto kemudian mengangkat Awaloedin Djamin--perwira menengah polisi yang baru berpangkat Komisaris Besar Polisi (setara kolonel)--untuk memimpin Departemen Perburuhan.

“Departemen ini memang termasuk departemen hitam,” ujar Awaloedin Djamin dalam autobiografinya, Pengalaman Seorang Perwira Polri: Awaloeddin Djamin (1995:93).

Pada 27 Maret 1966, Orde Baru mengganti nama Departemen Perburuhan menjadi Departemen Tenaga Kerja. Seperti dikisahkan dalam autobiografinya, Awaloedin Djamin dengan cepat memilih para pejabat di jajaran kementeriannya. Sekretaris Jenderal diisi oleh Chairul Basri, Dirjen Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja dijabat oleh Sutarto, Tatang Mahmud sebagai Dirjen Pembinaan dan Penggunaan Tenaga Kerja. Selain itu, ia juga mengangkat Kakung Gunardi sebagai Staf Ahli Menteri. Awaloedin Djamin juga pernah mengangkat Emil Salim, Sumantri Brojonegoro, dan M. Makagiansiar sebagai stafnya.

Belum lama menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja, Awaloedin Djamin dihadapkan pada tantangan baru, yaitu soal peringatan Hari Buruh.

“Indonesia baru saja ditimpa bencana G30S/PKI. Seluruh rakyat Indonesia pun mengetahui, pada tahun-tahun berdarah itu, perayaan hari buruh selalu didominasi oleh SOBSI/PKI,” ujarnya.

Meski PKI dengan cepat digulung, namun ia masih menyimpan kekhawatiran terhadap salah satu organisasi sayap PKI. Ia membiarkan Hari Buruh 1 Mei 1966 diperingati, namun setelah itu ia menekankan bahwa Hari Buruh tidak cocok bagi bangsa Indonesia. Alasannya sangat politis: PKI dan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) bisa menungganginya.

“Ketentuan pemerintah untuk mencabut tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh akhirnya dikeluarkan,” tulis Awaloeddin Djamin.

Di Departemen Tenaga Kerja, Awaloeddin Djamin bertugas sampai tahun 1968, dan sepuluh tahun kemudian ia menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Ia digantikan oleh Laksamana Madya Mursalin Daeng Mamangung yang berasal dari Angkatan Laut.

Infografik Pelanggaran Hari Buruh 1 Mei di Indonesia

Infografik Pelanggaran Hari Buruh 1 Mei di Indonesia. tirto.id/Quita

FBSI dan SOKSI

Ketika Menteri Tenaga Kerja dijabat oleh Subroto, Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) didirikan pada 20 Februari 1973 dan dihadiri oleh presiden daripada Soeharto. Dalam sambutannya ia menekankan bahwa FBSI merupakan kebangkitan baru daripada buruh di Indonesia.

“Saya setuju sepenuhnya usul dari FBSI untuk menjadikan tanggal 20 Februari sebagai Hari Buruh Indonesia,” ujar Soeharto dalam Suara Karya (21/02/1977) seperti dikutip juga di buku Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita, Buku IV 1976-1978 (2008).

Dalam acara tersebut Soeharto memberikan semangat dan mengingatkan bahwa lahirnya FBSI bukan akhir perjuangan kaum buruh yang ia sebut karyawan. Soeharto menegaskan bahwa ia akan melindungi kaum buruh demi kesejahteraan masyarakat pekerja.

Sementara SOBSI, organisasi sayap PKI itu telah disikat Orde Baru. Sebagai penggantinya, Orde Baru mendirikan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI). Para buruh yang sebutannya telah berubah menjadi karyawan itu kemudian menjadi salah satu pilar penting dalam keberlangsungan rezim Orde Baru.

Dalam setiap pemilu, jumlah anggota SOKSI yang besar menjadi salah satu penyumbang suara Golkar, yang jumlah mereka melebihi sumbangan suara Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia).

Baca juga artikel terkait HARI BURUH 1 MEI atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh