Menuju konten utama

Menyoal Risiko Gagal Bayar Rp85,96 Triliun Kopdes Merah Putih

Mitigasi gagal bayar Koperasi Merah-Putih dinilai perlu diperkuat dan melibatkan publik.

Menyoal Risiko Gagal Bayar Rp85,96 Triliun Kopdes Merah Putih
Presiden Prabowo Subianto (tengah) didampingi (dari kiri) Mendagri Tito Karnavian, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi, Ketua Komisi IV DPR Titiek Soeharto, Ketua DPR Puan Maharani, Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto, Ketua DPD Sultan Bachtiar Najamudin, Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi menekan tombol untuk meresmikan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di Desa Bentangan, Klaten, Jawa Tengah, Senin (21/7/2025). Presiden Prabowo Subianto meresmikan kelembagaan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang dipusat kan di Klaten. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU

tirto.id - Keraguan sempat terlintas di benak Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Agusman, ketika menerima surat edaran yang diterbitkan Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi. Alasannya sederhana: dalam surat tersebut, OJK tidak masuk sebagai salah satu lembaga yang ditugaskan untuk mengawasi atau mengevaluasi Koperasi Merah Putih.

Tak mau keliru, Ia pun meminta jajarannya untuk menelaah kembali isi surat tersebut guna memastikan posisi dan kewenangan lembaganya dalam program yang resmi diluncurkan pada 21 Juli 2025 itu. "Saya baca-baca satu-satu. Saya mula-mula enggak yakin. Saya minta staf saya baca lagi. Iya, 'Pak, enggak ada OJK-nya di situ'," ungkapnya dalam sebuah forum bersama sejumlah redaktur media di Jakarta.

Agusman menyampaikan hal tersebut untuk memberikan konteks mengenai ada tidaknya arahan khusus dari pemerintah kepada OJK terkait Koperasi Merah Putih. Pasalnya, dalam sesi tanya-jawab, sejumlah redaktur mempertanyakan bagaimana mekanisme pengawasan terhadap koperasi yang didanai oleh pinjaman bank-bank BUMN alias Himbara tersebut.

Apalagi, ada risiko kredit macet apabila koperasi yang didanai tidak mampu menghasilkan pendapatan sesuai target. Center of Economic and Law Studies (CELIOS), misalnya, memprediksi risiko bayar tersebut mencapai Rp85,96 triliun selama enam tahun masa pinjaman.

Menurut Agusman, Koperasi Merah Putih bersifat close loop, sehingga tidak perlu berada di bawah pengawasan OJK. Artinya, meskipun memiliki unit usaha simpan-pinjam, hanya anggota koperasi yang bisa mengakses dana tersebut. Ini berbeda dengan model koperasi open loop yang sumber dananya bisa berasal dari pihak luar atau non-anggota.

"Karena di Undang-undang P2SK, yang masuk ke kami itu kan hanya yang open loop. Bahwa bank melakukan (pendanaan), nanti [Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan] Pak Dian pasti mengawasi," tuturnya, sembari menegaskan bahwa OJK tetap akan mendukung penuh program yang dijalankan pemerintah.

Jauh sebelum forum tersebut, risiko gagal bayar Koperasi Merah-Putih memang dipertanyakan banyak pihak kepada OJK. Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, juga menyampaikan pihaknya masih meninjau skema mitigasi risiko kredit koperasi tersebut, mengingat program pemerintah ini masih dalam tahap piloting.

OJK, tegas Mahendra, siap memberikan dukungan agar pembiayaan atau dukungan fasilitas lainnya dari lembaga jasa keuangan dijalankan secara prudent dengan tata kelola yang baik (good governance). Sebab, inisiatif ini dinilai membuka peluang bagi penguatan dan pertumbuhan ekonomi di desa-desa, yang pada gilirannya dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.

"Justru ini (masa piloting) kesempatan untuk saling melengkapi, saling mengisi, saling interaksi agar model bisnis yang sedang disusun dan dicontohkan ini benar-benar bisa menghasilkan yang baik dan pada gilirannya berkelanjutan," kata Mahendra, di Bursa Efek Indonesia, Rabu (9/7/2025).

Meski demikian, Peneliti CELIOS, Dyah Ayu, mengatakan bahwa sejauh ini, mitigasi atas gagal bayar yang disampaikan oleh pemerintah kurang meyakinkan. Sebab, berdasarkan pernyataan Kementerian Koperasi, salah satu caranya adalah pengajuan proposal rencana bisnis sebagai syarat mendapatkan kucuran pinjaman Himbara.

“Padahal, rencana bisnis yang prudent seharusnya mengikuti mekanisme sektor privat atau swasta, sedangkan KopDes Merah Putih ini di endorse oleh pemerintah,” ujarnya kepada Tirto.

Ia pun mengingatkan bahwa dampak gagal bayar Rp85,96 triliun yang diperkirakan lembaganya tak hanya akan membebani keuangan desa–yang menjadikan dana desa sebagai jaminan atas modal dari Himbara–, tetapi juga menimbulkan opportunity cost bagi sektor perbankan yang bisa mencapai Rp76,51 triliun. Kerugian ini berasal dari hilangnya potensi keuntungan jika dana bank dialihkan ke proyek atau investasi yang lebih produktif.

Hitung-hitungan future value dalam kerugian ini menggunakan asumsi faktor diskonto tingkat suku bunga surat berharga negara (SBN) sebesar 7,10 persen–berdasarkan asumsi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

“Ada opportunity cost sebesar Rp 76 triliun yang ditanggung oleh perbankan himbara karena memilih mendanai koperasi merah putih alih-alih menempatkan dana di SBN. Terlihat bahwa potensi kerugian terus membesar dari Rp10,06 triliun pada tahun pertama hingga mencapai Rp15,17 triliun pada tahun keenam,” tulis CELIOS dalam kajian Dampak Ekonomi Koperasi Merah Putih.

Sebagai informasi, perbankan mendapatkan mandat untuk menyalurkan modal bagi Koperasi Merah Putih sebesar Rp3 miliar per koperasi dengan jangka waktu selama enam tahun. Dana ini, harus dikembalikan dengan bunga pinjaman sebesar 3 persen per tahun. Padahal, jika dana ini dialokasikan untuk sektor-sektor dengan tingkat pengembalian tinggi maka opportunity cost tersebut bisa berkurang

“Kecenderungan meningkatnya opportunity cost ini menjadi sinyal, bahwa intervensi terhadap program koperasi melalui skema pembiayaan perbankan tanpa melalui perhitungan keekonomian yang matang dapat menjadi beban skal tersembunyi dan berpotensi mengganggu stabilitas pembiayaan jangka panjang sektor perbankan,” lanjut riset tersebut.

Dari sisi kapasitas koperasi sendiri, Peneliti CELIOS Rani Septyarini mengingatkan bahwa mayoritas koperasi di Indonesia masih tergolong ultra mikro. “Sebesar 59,42 persen koperasi kita memiliki omzet di bawah Rp300 juta per tahun,” ujarnya. Dengan kapasitas seperti itu, ekspansi koperasi idealnya bertumpu pada kualitas portofolio serta likuiditas yang sehat—bukan pada suntikan dana besar yang belum disertai kajian risiko memadai.

Rani juga mencatat bahwa penurunan laba dan aset pada Lembaga Keuangan Mikro (LKM) koperasi konvensional sepanjang 2024 seharusnya menjadi lampu kuning. “Jangan sampai dorongan ekspansi koperasi yang berbasis sentimen nasionalisme justru melemahkan ketahanan lembaga keuangan,” katanya.

Karena itu lah, menurutnya, sebelum memaksakan skema baru, pemerintah seharusnya mengevaluasi dulu efektivitas dan kelayakan koperasi yang sudah berjalan.

Hal senada disampaikan ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin. Dalam hematnya, pemberian kredit oleh bank Himbara pun perlu memperhatikan kelayakan bisnis tersebut.

Wijayanto juga menekankan bahwa unsur politis harus dihindari dalam rencana bisnis kopdes. Sementara dalam piloting, pemerintah disarankan berfokus pada 100-1.000 kopdes sebagai percontohan.

Dengan begitu, akan lebih mudah bagi para stakeholder untuk mengevaluasi aspek yang perlu diperbaiki dari kopdes merah putih, sehingga diperoleh model kopdes yang tepat sebelum dilipatgandakan secara masif.

"Kopdes adalah program besar yang mahal dan berisiko, sehingga pemerintah perlu test the water dengan melakukan piloting," tuturnya seperti dikutip Antara.

Wijayanto juga berpendapat bahwa koperasi desa merah putih perlu menciptakan lini bisnis baru demi dampak yang lebih optimal. Sebab, jika kopdes merah putih mengambil alih bisnis eksisting, dampak pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja akan minimal atau menimbulkan inefisiensi.

"Perputaran uang memang akan terjadi, tetapi jika bisnis kopdes tidak berkembang, perputaran uang tersebut akan berakhir dan meninggalkan kredit macet," ujarnya, sembari menambahkan bahwa rencana bisnis kopdes juga harus dijaga agar jelas dan terukur.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), menjelaskan bahwa pemerintah telah meresmikan badan hukum 80.081 Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih merah putih per 21 Juli 2025. Namun demikian, hanya 182 koperasi yang telah beroperasi.

Pemerintah sendiri mematok target untuk bisa memulai operasi seluruh koperasi tersebut dalam empat bulan ke depan sambil melakukan evaluasi terhadap koperasi-koperasi yang sudah berjalan. Mulai 22 Juli 2025, koperasi percontohan yang sudah berjalan mulai dapat mengakses pembiayaan melalui skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus dari bank-bank Himbara.

Peneliti dari Centre of Reform on Economics (CORE) Eliza Mardian menekankan, pentingnya transparansi laporan keuangan Koperasi Desa Merah Putih demi menghindari berbagai potensi risiko.

Apalagi, dana yang dikelola ribuan koperasi tersebut kelak tak sedikit. "Dana yang dikelola ini amat sangat besar, perlu ada dashboard untuk monitoring dan evaluasi (monev)," ujar Eliza. "Publik pun harus mendapatkan laporan berkala laporan keuangan setiap koperasi sehingga mereka bisa ikut memantau," sambungnya.

Ia mengingatkan, tanpa pengelolaan yang baik dan transparan, risiko besar berupa gagal bayar dan peningkatan angka kredit macet (NPL) bukan tak mungkin akan terjadi. Jika demikan, kinerja Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dipertaruhkan,.

"Jadi koperasi ini harus dikelola secara profesional. Biarlah petani, peternak, nelayan, dan warga menjadi anggota. Namun, pengurus itu harus kompeten, punya kemampuan dan pengetahuan bisnis yang baik," tegasnya.

Baca juga artikel terkait KOPERASI MERAH PUTIH atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dwi Aditya Putra