Menuju konten utama

Menyoal Aroma Kriminalisasi Pembuat Meme Prabowo-Jokowi Ciuman

Setiap individu sejatinya punya kebebasan untuk menerjemahkan apa yang ada dalam isi kepalanya dalam bentuk karya.

Menyoal Aroma Kriminalisasi Pembuat Meme Prabowo-Jokowi Ciuman
Ilustrasi penjahat diborgol. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Ruang berekspresi di negara demokrasi ini, ironisnya, kian hari kian terasa sempit. Bagaimana tidak, mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) pembuat meme viral Presiden, Prabowo Subianto berciuman dengan Presiden ke-7, Joko Widodo, langsung diamankan polisi.

Tak cuma ditangkap, mahasiswi tersebut ditetapkan tersangka dan melanggar Pasal 45 Ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 51 ayat (1) jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Atas jeratan pasal-pasal tersebut, SSS, alias korban, terancam kurungan 12 tahun dan denda Rp1 miliar.

Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 1/2024 sendiri berbunyi “setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah”.

Sementara melanggar kesusilaan ayat (1) mengatur soal penyebaran konten yang melanggar kesusilaan, lalu pasal 35 memuat aturan tentang manipulasi, penciptaan, perubahan, dan penghilangan dokumen elektronik, dengan tujuan agar dianggap seolah-olah otentik.

Ilustrasi soft censorship

Ilustrasi soft censorship. FOTO/iStockphoto

Meski pada Minggu (11/5/2025) penahanan SSS ditangguhkan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri atas permohonan dari kuasa hukum dan orang tua, tindakan sewenang-wenang aparat ini seolah memperlihatkan gambaran negara yang alergi terhadap kritik. Lagipula kasus ini seharusnya bukan hanya ditangguhkan, tapi dihentikan.

Terlebih pasal-pasal yang digunakan oleh pihak berwajib ini merupakan pasal karet. Sudah banyak warga yang dirugikan dari pasal ini, dari mulai korban kekerasan hingga aktivis lingkungan.

Pasal 27 ayat (1) UU ITE misalnya, pernah digunakan untuk menjerat mantan guru honorer SMAN 7 Mataram, Baiq Nuril Maknun, lantaran dinilai menyebarkan informasi elektronik yang mengandung muatan kesusilaan. Padahal, ia adalah korban pelecehan seksual oleh kepala sekolah di tempat kerjanya, sehingga ia merekam perbincangan mereka sebagai bukti.

Baiq baru resmi bebas dari pidana UU ITE setelah menerima Keputusan Presiden (Keppres) nomor 24 tahun 2019 tentang Pemberian Amnesti dari mantan Presiden Jokowi.

Kental Aroma Kriminalisasi

Sudah banyak elemen masyarakat sipil, hingga organisasi yang mengecam aroma kriminalisasi SSS. Hal ini lantaran dianggap melanggar hak berekspresi. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menilai, kritik yang dilontarkan oleh SSS lewat meme adalah bentuk satir politik, sebagai bagian dari ekspresi yang sah dan dijamin dalam berbagai instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) internasional.

Beberapa instrumen yang dimaksud yakni Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Prinsip-prinsip Siracusa, dan Komentar Umum Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) No. 34 tahun 2011.

“Menurut berbagai instrumen HAM internasional, pejabat publik memiliki tingkat perlindungan yang lebih rendah dibandingkan warga biasa ketika menjadi sasaran ekspresi-ekspresi ofensif dan provokatif. Hal ini wajib diterapkan demi menjamin perlindungan atas kritik warga terhadap negara,” tulis SAFEnet dalam rilisnya, Kamis (15/5/2025).

Selain itu, penggunaan pasal berlapis oleh kepolisian juga terkesan dipaksakan dan disebut tidak memenuhi unsur. Meski meme yang diunggah oleh SSS bukan foto asli dan dibuat dengan AI generatif, hal ini tidak memenuhi unsur “dianggap seolah-olah data yang otentik” dalam pasal 35 UU ITE.

Menurut SAFEnet, SSS telah gamblang menjelaskan bahwa meme tersebut ia buat dengan menggunakan AI, sebagai kritik atas kekosongan regulasi AI pula. Di sisi lain, revisi kedua UU ITE juga secara jelas membatasi definisi “melanggar kesusilaan” dalam Pasal 27 ayat 1.

Yang dianggap melanggar kesusilaan adalah melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan.

“Meme yang dibuat oleh SSS jelas tidak mempertontonkan ketelanjangan maupun alat kelamin. Menganggap ciuman bibir sebagai aktivitas seksual juga hal yang keliru. Pasalnya, ciuman bibir merupakan bentuk intim ekspresi kasih sayang, yang tidak serta merta dapat dianggap sebagai aktivitas seksual,” begitu bunyi keterangan SAFEnet.

Ilustrasi UU ITE

Ilustrasi UU ITE. Getty Images/iStockphoto

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Zainal Arifin, pun satu suara. Menurutnya, meme merupakan hasil karya, seperti halnya lukisan di mana orang bebas menuangkan apa yang ada dalam pikirannya dalam sebuah karya. Hal itu termasuk karya-karya yang mengkritik pemerintah.

“Kesusilaan, kesopanan itu kan sangat tipis batasnya ya. Sangat sumir itu, atau sangat karet. Siapa yang berhak untuk menentukan pantas atau tidak terhadap satu karya? Nah ini kan jadi pertanyaan penting. Pantas tidaknya satu karya itu berdasarkan apa gitu. Apakah berdasarkan agama, agamanya siapa? agama yang mana? Terus kemudian berdasarkan kepercayaan, kepercayaan siapa,” kata Zainal lewat sambungan telepon, Kamis (16/5/2025).

Menurutnya, jika didasarkan pada HAM, karya diinterpretasikan dalam bentuk apapun semestinya tak menjadi persoalan. Penerapan pasal-pasal UU ITE dalam kasus SSS disebut Zainal tidak sesuai dengan semangat putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan itu menyatakan bahwa kritik terhadap pejabat publik, kritik terhadap pemerintah dan konstitusi tidak bisa dipidana.

Pada penghujung April lalu, MK memang mengeluarkan putusan terhadap Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE, yang membuat warga negara seharusnya tak bisa dipidana ketika mengkritik pejabat publik atau institusi.

“Semangat itu yang seharusnya diambil dan ditangkap oleh kepolisian hari ini sebagai penegak hukum. Dengan dimasukkannya atau digunakannya pasal-pasal ITE oleh kepolisian terhadap mahasiswa ITB, maka kemungkinannya ada dua, satu karena kebodohan, dua karena ketidaktahuan, incapacity dari aparat penegak hukum, yang hari ini menjadi PR,” sambung Zainal.

Artinya, menjadi penting untuk meningkatkan kapasitas dan memastikan aparat penegak hukum (APH) memahami pasal-pasal undang-undang dan bentuk-bentuk HAM. Lebih jauh, kemungkinan kedua dikatakan Zainal bisa jadi APH masih menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan untuk melakukan represi terhadap kritik atau terhadap orang yang bersuara.

“Terlepas kemudian AI atau enggak kan, sebenarnya AI itu sendiri akan menerjemahkan, menerjemahkan kaitannya dengan isi kepala seseorang untuk diartikulasikan dalam bentuk gambar. Kita nggak pernah tahu apakah hasilnya akan seperti apa,” kata Zainal.

Dengan begitu, setiap individu juga memiliki kebebasan untuk menerjemahkan apa yang ada dalam isi kepalanya untuk dituangkan dalam bentuk karya apapun.

“Kita nggak bisa mengelak dari perkembangan teknologi, perlu ada pengaturan secara khusus iya, tapi saya rasa prinsip-prinsip asasi manusia itu tetap harus dijalankan. Dalam penerapannya atau dalam perumusan-perumusannya, sehingga kemudian tidak terjadi abuse of power,” lanjut Zainal.

Edukasi Sebelum Bicara Regulasi AI

Regulasi khusus terkait AI memang sedang digodok pemerintah dan disebut Kementerian Komunikasi dan Digital telah masuk dalam pembahasan. Tapi, pemerintah sebaiknya juga tak melupakan aspek yang lebih besar, yakni literasi.

Pakar Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia (UI), Firman Kurniawan, menyampaikan hal pertama yang yang sebetulnya dilakukan sebelum membangun undang-undang adalah memberi pemahaman kepada publik.

Pemerintah perlu mensosialisasikan AI bisa dipakai untuk apa dan risikonya untuk menciptakan realitas palsu yang tidak seluruhnya bisa menguntungkan dan bisa menyebabkan fitnah.

“Jadi seakan-akan warga ini sudah dianggap tahu tanpa diberitahu mana yang baik, mana yang berbahaya mana yang tidak baik. kemudian ketika muncul penyalahgunaan tiba-tiba dituntut. nah ini semua sebetulnya gagap terhadap produk-produk artificial intelligence. kalau menurut saya jangan mengemukakan dulu undang-undang pasal-pasal tapi dibangun literasinya dulu, maksudnya edukasi publiknya,” ucap Firman ketika dihubungi Tirto, Kamis (15/5/2025).

Namun begitu, dalam konteks penangkapan mahasiswi ITB, perlu dilihat kalau ini merupakan kritik atau menyampaikan sesuatu supaya didengar dengan cara menarik perhatian. Jika menarik perhatiannya mungkin dianggap berlebihan dan sebagainya, menurut Firman, harusnya hal itu bisa dibicarakan.

“Ini kan orang sedang euforia terhadap artificial intelligence, oh ternyata bisa dipakai ini, oh ternyata dipakai ini itu, semangat sekali. Kadang kadang saking semangatnya menabrak batas, merugikan orang lain bisa menipu dan sebagainya. Jadi ini tahap euforia, tapi kalau dalam kasus ini seharusnya memang maksudnya perlu dilihat juga ya konteks kebebasan ekspresinya bahwa itu kritik ya,” lanjutnya.

 AI untuk membuat flowchart

AI untuk membuat flowchart. foto/istockphoto

Kata Firman, garis tebal yang perlu disematkan adalah bahwa AI, sebagaimana teknologi informasi yang sebelumnya, bisa menciptakan sebuah realitas yang sebetulnya tidak ada acuannya. Selain edukasi publik, ia menekankan bahwa hukum yang dibuat nantinya harus bisa melindungi hak-hak yang melekat pada manusia.

Firman mencontohkan bagaimana dalam konteks algoritma di jagat maya, bisa menyuguhkan iklan tanpa pengguna memilih atau mempertimbangkan. Dengan kata lain pilihan manusia jadi ditiadakan oleh teknologi.

“Nah ini juga perlu ditunjukkan lagi, harus dinyatakan di dalam undang-undang. Penggunaan teknologi yang semacam itu harus disampaikan kepada audiens bahwa ini berbasis big data, berbasis artificial intelligence, itu harus dinyatakan. Sehingga hasrat asli manusia itu masih tetap mempunyai kebebasan,” katanya.

Menyoal penangkapan mahasiswi ITB, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, sebelumnya menyatakan bahwa mahasiswi yang ditangkap karena mengunggah meme yang memuat wajah Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Ke-7 RI Joko Widodo sebaiknya dibina.

"Ya, kalau ada pasal-pasalnya kita serahkan ke polisi. Tapi kalau dari Pemerintah, itu kalau anak muda, ya mungkin ada semangat-semangat yang terlanjur, ya mungkin lebih baik dibina ya," kata Hasan, dilaporkan Antara, Sabtu (10/5/2025).

Hasan bilang, mahasiswi tersebut masih sangat muda dan mungkin terlalu bersemangat dalam menyampaikan kritik. Menurutnya, dalam konteks demokrasi, ekspresi kritik seharusnya disikapi dengan pemahaman dan pembinaan agar bisa diperbaiki, bukan dengan hukuman.

Baca juga artikel terkait MEME atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang