Menuju konten utama
Periksa Data

Mengapa Pasal Karet 27 Ayat 1 UU ITE Sebaiknya Dihapus?

Frasa “kesusilaan” dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE sama sekali tidak didefinisikan dalam UU ITE Tahun 2008 maupun revisi UU ITE tahun 2016.

Mengapa Pasal Karet 27 Ayat 1 UU ITE Sebaiknya Dihapus?
HEADER Periksa Data UU ITE dan Kekerasan Berbasis Gender Online. tirto.id/Gery

tirto.id - Pasal 27 ayat (1) mengenai kesusilaan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang telah diperbarui menjadi UU No. 19/2016, kerap jadi batu sandungan bagi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) sebelum lapor ke polisi.

Isinya, yang merupakan bagian dari Bab VII, "Perbuatan yang Dilarang", adalah, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."

Menukil UU yang sama, di pasal 45, disebut bahwa pelanggar pasal tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Hal ini membuat korban enggan melapor. Patricia Cindy Andriani, yang sempat mendampingi korban penyebaran konten intim tanpa persetujuan (non-consensual dissemination of intimate image/NCII), juga menceritakan pengalamannya terkait pasal tersebut.

Sebagai pendamping hukum untuk korban KBGO dari TaskForce KBGO—sebuah kolektif untuk meretas kasus-kasus KBGO, ia menuturkan, korban yang didampinginya memilih untuk somasi dan urung lapor ke polisi lantaran khawatir dikriminalisasi.

Cindy sendiri memang mengajukan sejumlah pertanyaan untuk “menaksir risiko” sebelum korban menempuh jalur litigasi. Isi pertanyaan itu seputar jenis konten yang tersebar.

“Kita juga biasanya bakal tanya dulu ke korban yang soal kontennya itu tadi, apakah ada yang dia ambil sendiri, misalnya dia selfie terus dia kirim ke pelaku atau semuanya kontennya itu screenshot yang diambil sama si pelaku misalnya waktu video call,” ujar Cindy saat dihubungi Tirto, Rabu (30/8/2023).

Jikalau korban tak membuat konten sendiri, Cindy bilang, dirinya akan lebih yakin untuk menyarankan lapor ke polisi.

”Jadi, kalau misalnya korban mau ambil jalur litigasi itu bisa lebih disarankan gitu, karena potensi buat backlash-nya lebih minim lah gitu,” sambung Cindy.

Sebagai pendamping, Cindy merasa ganjal harus mempertanyakan hal itu. Padahal, membuat konten intim berbasis pilihan personal seharusnya tak jadi masalah.

“Itu sesuatu yang nggak proper [pantas] juga gitu lho buat kita tanyakan ke korban, atau kayak menjadi sesuatu yang akhirnya berisiko buat mereka. Karena ya intinya bukan merekanya bikin konten itu, merekanya ngasih konten itu atas persetujuan mereka, kan sebenernya bukan di situ ya fokusnya, tapi di penyebarannya,” ujar Cindy.

Tumpang Tindih dengan UU Lain dan Memuat Frasa Ambigu

Pertanyaan yang dilontarkan Cindy kepada korban tentu bukan tanpa alasan, mengingat substansi pasal 27 ayat (1) UU ITE mengandung frasa “asusila” yang ambigu dan multitafsir. Frasa “kesusilaan” tersebut sama sekali tidak didefinisikan dalam UU ITE Tahun 2008 maupun revisi UU ITE tahun 2016.

Merujuk kajian The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) tahun 2021, jika yang dimaksud “melanggar kesusilaan” adalah sebagai unsur tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), maka unsur melanggar kesusilaan hanya dapat terjadi dalam konteks terbuka, di muka umum, kepada orang yang belum dewasa, dan di tempat yang terlihat dari jalan umum.

Infografik Periksa Data UU ITE dan Kekerasan

Infografik Periksa Data UU ITE dan Kekerasan. tirto.id/Parkodi

Menurut ICJR, orientasi penerapan pasal 27 ayat (1) UU ITE pada akhirnya hanya fokus pada konten kesusilaan, bukan pada bagaimana distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik tersebut. Dengan begitu, rumusannya bisa menjerat korespondensi privat, dalam hal ini korban NCII, lantaran mereka telah mengirimkan foto intim ke orang lain. Padahal, pengiriman foto ini dilakukan secara konsensual.

Adapun mengenai definisi “menyebarkan”, “mentransmisikan”, dan “membuat dapat diaksesnya” dirinci dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Pada intinya, ketiga frasa tersebut berarti individu yang menyebarkan atau mengirimkan informasi atau dokumen elektronik kepada satu pihak maupun berbagai pihak melalui sistem elektronik.

Lebih jauh, ICJR menilai, pasal 27 ayat (1) UU ITE ini tumpang tindih dengan UU Pornografi dan KUHP. Pasal ini bahkan pernah digunakan pelaku untuk mengkriminalisasi korban kekerasan.

Apabila melongok pada tahun 2018, mantan guru honorer SMAN 7 Mataram, Baiq Nuril Maknun, sempat divonis 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta sebab dinilai menyebarkan informasi elektronik yang mengandung muatan kesusilaan.

Padahal, Nuril adalah korban pelecehan seksual oleh kepala sekolah di tempat kerjanya (M) sehingga ia merekam perbincangan mereka sebagai bukti. Tidak terima, M malah melaporkan Nuril ke polisi atas dasar pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU ITE.

BAIQ NURIL

Baiq Nuril (kiri) saat hadir di Gedung DPR didampingi politikus PDIP Rieke Diah Pitaloka, Selasa (16/7/2019). tirto.id/Bayu Septianto

Setelah kurang lebih dua tahun sejak laporan itu diproses polisi, Pengadilan Negeri Kota Mataram memutuskan Nuril tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota. Nuril dianggap tidak memenuhi unsur “mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi yang mengandung kesusilaan".

Sayang, Jaksa Penuntut Umum justru mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung tanpa melalui banding di Pengadilan Tinggi. Singkat cerita, pada 2019, Baiq akhirnya resmi bebas dari pidana UU ITE setelah menerima Keputusan Presiden (Keppres) nomor 24 tahun 2019 tentang Pemberian Amnesti dari Presiden Jokowi.

Kominfo Pastikan Tak Kriminalisasi Korban KBGO?

Perlu diketahui bahwa pada awal April lalu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah sepakat untuk membahas revisi kedua UU ITE. Kendati begitu, banyak rapat diselenggarakan secara tertutup.

Melansir laman Amnesty International Indonesia, catatan Indonesian Parliamentary Center (IPC) menunjukkan, per 7 Juli 2023, panitia kerja (Panja) Komisi I DPR RI setidaknya telah menggelar 12 rapat terkait revisi kedua UU ITE, di antaranya hanya 5 rapat yang diumumkan secara resmi di laman DPR.

Masih dari Amnesty International Indonesia, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama perwakilan masyarakat sipil juga disebut hanya digelar dua kali tanpa penjelasan sejauh mana masukan diakomodasi dalam revisi kedua UU ITE.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari berdalih, beberapa rapat yang dilakukan tertutup bukan dalam rangka mempertahankan sejumlah aturan yang dinilai karet, melainkan semata karena bernuansa sensitif dan menyinggung kasus sejumlah pihak.

"Beberapa kali rapat kita memang kita buat secara tertutup untuk keleluasaan kami membahas, meng-exercise [menguji] dengan isu-isu yang sensitif, yang kiranya kalau misalnya terekam segala macam tidak membuat masalah," kata Kharis dalam RDPU Komisi I dalam rangka melanjutkan pembahasan RUU ITE bersama sejumlah lembaga non pemerintah di Ruang Komisi I DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (23/8/2023).

Komisi I DPR RI memang sempat menyelenggarakan RDPU pada 23 Agustus 2023 bersama dengan Indonesian E-Commerce Association (idEA), Lembaga Kajian Hukum Teknologi, Asosiasi Digital Trust Indonesia, dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media). Sehari sebelumnya mereka juga menggelar rapat kerja bersama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Berselang satu bulan, yakni pada Selasa (26/9/2023), rapat pembahasan revisi UU ITE kembali digelar, antara panja Komisi I DPR RI dengan tim panja pemerintah. Menurut pantauan Tirto di lapangan, rapat tersebut dilaksanakan secara tertutup dan berlangsung sekira 2 jam.

Tirto berusaha mengonfirmasi pembahasan rapat kepada Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Semuel Abrijani Pangarapen. Semuel bilang, rapat itu mendiskusikan tentang kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk memastikan konten-konten negatif khususnya judi dan pornografi agar tidak muncul di platformnya.

Pure PSE. Kan selama ini [Kominfo] blokar blokir [konten judi dan pornografi], harusnya bisa dilakukan moderasi mandiri. Nantinya akan ditetapkan moderasi mandiri apabila teknologinya memungkinkan,” kata Semuel di gedung DPR RI, Selasa (26/9/2023).

Lebih spesifik pada pasal 27 ayat (1), Semuel berkomentar akan diselaraskan dengan KUHP baru alias dilakukan duplikasi pasal. Ketika KUHP berlaku pada 2026 mendatang, maka pasal 27 ayat (1) tidak akan berlaku. Semuel pun mengaku, keterkaitan kasus kekerasan dengan pasal ini telah dibahas dan pihaknya memastikan pasal ini tak akan mengkriminalisasi korban kekerasan.

“Sudah [dibahas] di awal-awal [tentang] kesusilaan, tadi yang diselaraskan, ditambahkan bahwa korban tidak bisa dipidanakan dalam [hal] dia mengungkapkan [kasusnya],” sambungnya.

Jika menilik Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terakhir versi Juli 2023, yang diterima Tirto dari Koalisi Serius untuk revisi UU ITE, yang yang terdiri atas 28 organisasi masyarakat sipil, beberapa fraksi nampak mengusulkan pasal 27 ayat (1) dihapus, termasuk Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Namun, satu fraksi lain seperti Partai NasDem memilih masih mempertahankan pasal itu.

“Pasal 27 Ayat (1) Sebaiknya Dihapuskan”

Selaras dengan masukan sejumlah partai, Cindy dari TaskForce KBGO berpendapat bahwa pasal 27 ayat (1) dalam UU ITE sebaiknya dihapuskan. Ia berujar, konteks kasus KBGO termasuk NCII merupakan kekerasan yang mengandung elemen ketidaksetaraan gender, sehingga sebaiknya tak diselesaikan dengan UU ITE.

In the first place tuh udah gak proper sebenernya di-adress pake UU ITE. Jadi kalo menurut aku sih pasal 27 ayat (1) spesifik ini lebih baik tidak ada, dan di-refer-nya ya dibalikin ke UU TPKS. Karena kan di UU TPKS sendiri udah jelas tuh, dari awal pembukaan aja udah jelas memang ini untuk mengatasi spesifik kekerasan seksual kan,” kata Cindy, di ujung telepon, Rabu (30/8/2023).

Senada, Koalisi Serius lewat rilisnya juga menegaskan untuk mencabut pasal 27 ayat (1) Jo. Pasal 45 UU ITE karena sudah diatur dalam Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Isi dari pasal ini, di antaranya adalah bahwa setiap orang yang tanpa hal melakukan perekaman dan atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman, juga orang yang mentransmisikan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik bermuatan seksual di luar kehendak penerima, atau melakukan penguntitan, bisa dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan atau denda paling banyak Rp200 juta.

Jika perbuatan tersebut dilakukan dengan maksud untuk pemerasan atau pengancaman, misalnya, pidananya paling lama enam tahun penjara dan atau denda Rp300 juta.

Alternatif lainnya yakni menyesuaikan dengan Pasal 14 UU TPKS atau menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 407 UU No. 1/2023 (UU KUHP Baru), apabila revisi UU ITE akan disahkan sebelum KUHP baru berlaku.

Menurut Koalisi Serius, perbuatan yang dimuat di dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE telah diatur di dalam Pasal 407 KUHP Baru tentang pornografi. Ketentuan pasal tersebut beserta penjelasannya pun dinilai telah mengakomodasi penyebaran konten seksual tanpa persetujuan.

Pasal 407 dalam KUHP baru sendiri berbunyi “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling sedikit kategori IV dan pidana denda paling banyak kategori VI”.

Hukuman tersebut dikecualikan untuk kepentingan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan atau ilmu pengetahuan. Sementara penafsiran pengertian pornografi disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu (contemporary community standard).

Adapun membuat pornografi dalam ketentuan ini tidak termasuk untuk diri sendiri atau kepentingan sendiri.

Artikel ini didukung oleh Koalisi Serius untuk revisi UU ITE

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Hukum
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty