tirto.id - Sejak pertama kali disahkan keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) seolah tak henti menimbulkan perdebatan dan polemik.
Keberadaan pasal-pasal yang dianggap ‘karet’ dan frasa-frasa yang menimbulkan multi tafsir dalam aturan hukum ini seringkali dijadikan senjata untuk melakukan kriminalisasi oleh sejumlah pihak.
Belum hilang di ingatan kita nasib Septia Dwi Pertiwi, mantan karyawan PT Hive Five yang disangkakan melakukan pencemaran nama baik usai membocorkan pengalaman tidak mengenakkan saat bekerja di perusahaan tersebut.
Septia dalam akun resminya di X mengungkap banyak pelanggaran hak pegawai selama bekerja di perusahaan milik influencer Jhon LBF tersebut. John LBF kemudian tidak terima dan memecat Septia. Septia kemudian dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan tindak pidana pencemaran nama baik dan dijerat dengan pasal karet yaitu pasal 27 UU ITE.
Ada juga kasus yang menjerat dua aktivis HAM yaitu Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, atas video di kanal Youtube berjudul "Ada lord Luhut di balik relasi ekonomi-ops militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada1! >NgeHAMtam."
Atas perbuatan tersebut, Haris dan Fatia didakwa Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Ayat 3 UU ITE, Pasal 14 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, dan Pasal 310 KUHP tentang Penghinaan.
'Kerusuhan' di Media Sosial Tak Bisa Dijerat UU ITE
Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengabulkan sebagian permohonan judicial review terkait Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik. MK menyatakan mengubah sebagian pasal dalam UU tersebut. Terdapat dua putusan atas gugatan terkait UU ITE yang dibacakan oleh MK hari ini.
Kedua gugatan tersebut dilayangkan oleh Jovi Andrea Bachtiar dengan nomor perkara 155/PUU-XXII/2024 dan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan dengan nomor perkara 105/PUU-XXII/2024. Sebagai informasi, Jovi adalah seorang mantan jaksa fungsional di Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan.
Pada 2024 lalu Nama Jovi ramai dibicarakan warganet usai dituntut penjara dua tahun karena mengunggah narasi di media sosial yang menuduh rekan kerjanya, Nella Marsella, menggunakan mobil dinas untuk perbuatan asusila.
Jovi diancam dijerat Pasal 27 ayat (1) UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan terhadap Nella Marsella.
Dalam gugatannya, Jovi meminta MK untuk mengubah sejumlah pasal dalam UU ITE dan KUHP. Pasal-pasal yang dimaksud adalah Pasal 310 Ayat 3 KUHP, Pasal 27 Ayat 1 UU ITE 2024, Pasal 28 Ayat 3, Pasal 45 Ayat 1 dan Ayat 2 Huruf a, Pasal 45 Ayat 7, dan Pasal 45A Ayat 3.
Jovi dalam permohonannya menyebut bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Ayat 3, Pasal 28D Ayat 1, Pasal 28E Ayat 2 dan Ayat 3, serta Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945.

MK dalam putusannya mengabulkan sebagian permohonan dari Jovi tersebut, yaitu terkait dengan Pasal 28 Ayat 3 dan Pasal 45A Ayat 3 UU ITE yang semula berbunyi sebagai berikut.
Pasal 28:
(3) Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.
Pasal 45A:
"Setiap Orang yang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
Putusan MK menyatakan bahwa kata 'kerusuhan' dalam kedua pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber."
Lalu, MK menyatakan bahwa permohonan Jovi sepanjang frasa "dilakukan demi kepentingan umum" dalam Pasal 45 Ayat 2 Huruf a UU ITE 2024 serta frasa "melanggar kesusilaan" dalam Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE 2024 tidak dapat diterima.
Putusan MK tersebut berarti bahwa setiap orang yang melakukan penyebaran informasi elektronik dikenakan pidana jika menimbulkan kerusuhan di masyarakat dalam ruang fisik, bukan pada ruang digital. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa penerapan batasan kerusuhan tersebut ditentukan agar penegakan hukum bisa dilakukan dengan jelas.
Pencemaran Nama dalam UU ITE Tak Berlaku bagi Pemerintah
Selain gugatan yang diajukan Jovi, MK juga mengabulkan gugatan nomor 105/PUU-XXII/2024 yang diajukan warga bernama Daniel Frits Maurits Tangkilisan. Dalam petitumnya, Daniel meminta MK untuk mengubah Pasal 27A, Pasal 45 Ayat 4, Pasal 28 Ayat 2, hingga pasal 45A Ayat 2 UU ITE.
Hal-hal yang digugat oleh Daniel khususnya adalah frasa "orang lain" dan "suatu hal" dalam Pasal 27A jo. Pasal 45 Ayat 4; serta frasa "tanpa hak" dan "mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu" dalam Pasal 28 Ayat 2 jo. Pasal 45A Ayat 2 UU ITE 2024.
Putusan MK atas gugatan Daniel itu menyatakan bahwa frasa "orang lain" dalam Pasal 27A dan Pasal 45 Ayat 4 UU ITE 2024 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan".
Lalu, MK menyatakan bahwa frasa "suatu hal" dalam Pasal 27A dan Pasal 45 Ayat 4 UU ITE 2024 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang".
Lalu, MK menyatakan bahwa frasa "mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu" dalam Pasal 28 Ayat 2 dan Pasal 45A Ayat 2 UU ITE 2024 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "hanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang secara substantif memuat tindakan/penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu yang dilakukan secara sengaja dan di depan umum, yang menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan".
MK mengabulkan sebagian permohonan Daniel tersebut dengan pertimbangan harus ada kejelasan hukum terkait pelanggaran yang bisa dipidanakan.
Putusan MK Beri Sinyal Positif Namun Masih Ada Tantangan
Dosen departemen hukum tata negara, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang P Wiratraman, menilai langkah MK yang mengabulkan beberapa poin gugatan terkait UU ITE ini patut untuk diapresiasi.
“Ada beberapa sinyal positif terkait perkembangan penafsiran yang menegaskan bahwa yang disebut pencemaran nama baik itu sesuai dengan prinsip-prinsip hukum hak asasi manusia yakni menyasar pada individu bukan jabatan, bukan profesi, bukan juga lembaga pemerintahan, bukan juga korporasi dan seterusnya,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (30/4/2025).
Herlambang yang juga hadir untuk memberikan keterangan ahli dalam permohonan ini menilai langkah tersebut merupakan satu langkah positif untuk meminimalisir sejumlah kasus kriminalisasi menggunakan UU ITE yang selama ini terjadi. Menurutnya, selama ini kasus-kasus itu seringkali bertaut misalnya dengan perusahaan yang semena-mena terhadap buruh atau kasus-kasus pengaduan yang dilakukan aparat maupun pejabat terhadap rakyat sipil biasa.
Dengan adanya putusan MK terbaru ini, ia berharap, institusi penegakan hukum khususnya kepolisian, kejaksaan dan juga hakim-hakim di pengadilan segera mempelajari konsekuensi dari putusan ini. Lebih lanjut, karena gugatan ini hanya dikabulkan sebagian oleh MK, Herlambang melihat masih ada sejumlah tantangan yang menyertai. Misalnya, kualifikasi figur publik atau tokoh publik yang tidak masuk dalam putusan ini.
Herlambang selaku ahli menganjurkan, figur publik atau tokoh publik harusnya juga dikecualikan untuk menggunakan undang-undang ITE atau memidanakan dengan undang-undang ITE. Hal ini disebabkan, figur ataupun tokoh publik merupakan bagian yang legitimate untuk dikritisi.
“Misalnya sekarang kalau kita melihat posisi Jokowi yang dikritisi, nah Jokowi memang bukan pejabat negara tapi dia menjadi figur publik sebenarnya tetap legitimate untuk dikritisi. Atau siapapun lah yang di luar pemerintahan di luar korporasi bisa juga siapapun yang menjadi tokoh publik itu bisa dikritisi seharusnya begitu,” ujarnya.
Akademisi FH UGM tersebut menambahkan, tantangan lain dari putusan MK ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku pada 2026 memungkinkan basis pemidanaan adalah jabatan ataupun lembaga pemerintah. Hal ini jelas bertentangan dengan putusan MK terbaru itu.
Soal ini, Herlambang menyarankan kepada pihak pemerintah dan DPR untuk mengambil inisiatif berdasarkan putusan MK ini untuk mendorong dan menghapus pasal-pasal yang sebenarnya lex certa.
“Kalau toh tidak ada inisiatif itu dari pemerintah maupun dari DPR maka tentu berharap ada uji materi terkait dengan pasal-pasal yang sebenarnya bertolak belakang dengan putusan MK ini sesegera mungkin. Agar tidak menimbulkan korban di kemudian hari dan harapannya MK juga konsisten di dalam mengambil putusan,” ujarnya menambahkan.

Herlambang menilai putusan ini memberikan refleksi ke arah yang lebih baik, konsisten dengan kerangka hukum hak asasi manusia.
“Tetapi dalam prakteknya dikhawatirkan masih ada kendala yang seringkali tidak dipahami oleh aparat atau institusi penegak hukum. Juga seringkali dihadapkan pada politisasi di dalam proses penegakan hukum ini yang saya kira harus dicegah supaya tidak menimbulkan korban atau melanggar hak asasi manusia khususnya kebebasan ekspresi di ranah) digital,” tutup Herlambang.
Terpisah, pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai adanya putusan MK terbaru ini seolah memberikan angin segar terhadap aktivitas digital warga negara.
Pria yang akrab disapa Castro tersebut menilai putusan MK ini telah memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk berpendapat atau memberikan ruang untuk menyampaikan ekspresi dan pendapat di ruang digital. Hal ini terkait dengan tafsir frasa ‘kerusuhan’ yang baru saja diputuskan MK.
Castro menjelaskan, hal yang dikualifikasikan MK sebagai hal yang menyangkut kerusuhan itu hanya dalam konteks fisik. Sementara dalam konteks ruang digital, memancing kontroversi dan perdebatan tidak bisa dikualifikasikan sebagai hal yang menimbulkan kerusuhan.
“Jadi tidak masuk di dalam musuh delik dalam ketentuan pasal 45A undang-undang itu. Yang dijadikan sebagai dasar hanya kerusuhan dalam konteks fisik gitu ya. Fisik, saya pikir tafsirnya sederhana yaitu semua yang berkaitan dengan aktivitas fisik bukan dalam aktivitas ruang sosial atau ruang digital,” ujarnya.
Sementara itu, Polri memastikan akan beradaptasi dengan aturan baru yang diputuskan oleh MK atas Undang-Undang ITE. Pasalnya, terdapat beberapa perubahan dalam UU tersebut yang dikabulkan oleh MK. Salah satunya mengenai penjeratan kepada pelaku penyebaran berita bohong berujung keributan.
“Tentu Polri akan beradaptasi atau menyesuaikan,” kata Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, saat dikonfirmasi, Rabu (30/4/2025).
Trunoyudo memastikan, Polri akan tunduk kepada setiap aturan yang berlaku di Indonesia. Pengkajian atas perubahan baru itu pun akan dilakukan segera. “Polri tunduk pada putusan MK yang merupakan aturan berlaku untuk memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat,” ucap dia.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id


































