Menuju konten utama

Menjamurnya Gereja-Gereja Raksasa

Joel Osteen, pemimpin gereja raksasa Lakewood di Houston dikecam karena tidak membukakan pintu gereja bagi para pengungsi badai Harvey.

Gereja Katedral Mesias. Sumber foto: grii.org

tirto.id - Akhir Agustus lalu, negara bagian Texas Amerika Serikat berduka karena dihantam bencana badai Harvey. Sekitar 2.000 orang terpaksa harus diungsikan di sekitar Houston. Beberapa tempat bahkan dilanda banjir dahsyat karena badai Harvey juga mengakibatkan hujan yang lebat.

Di Port Aransas, kecepatan badai bahkan menembus 200km/jam hingga memporak porandakan seisi kota. Rumah, mobil dan fasilitas umum lainnya porak-poranda.

Pelbagai tempat penampungan tumbuh menjamur mulai dari pertokoan, gereja, hingga rumah ibadah seperti masjid.

Namun sebuah gereja raksasa bernama Lakewood menutup rapat-rapat pintunya. Padahal dengan bangunan nyaris sebesar stadion, Lakewood akan sangat membantu pengungsi untuk berlindung.

Baca juga: Pindah Agama Karena Tragedi 1965

Joel Osteen adalah pastor pemimpin gereja Lakewood bersama sang istri Victoria Osteen. Joel menjadi bulan-bulanan kritik karena lambat mengulurkan tangan.

“Gereja seperti ini dengan cara khotbahnya, seharunya menjadi salah satu (tempat) yang pertama dibuka” kata Andy Osawe di dekat pintu masuk gereja. Rumah Osawe sendiri terendam banjir. Ia tetap bertahan di dalam rumah bersama seorang kawan, berharap bisa mengumpulkan barang-barang yang tersisa.

Osawe juga bertanya-tanya apakah gereja mewah tersebut enggan mengizinkan masuk kerumunan massa yang tengah basah kuyup karena banjir ke dalam bangunan gedung yang rapi dan indah ini.

Gereja Lakewood yang terletak di Houston, Texas ini memang dikenal sebagai sebuah gereja raksasa, megah dan ramai. Tiap hari minggu, rata-rata jemaat yang hadir bisa mencapai 52.000 orang. Tak heran Lakewood masih jadi gereja terbesar di Amerika Serikat meski banyak gereja raksasa lainnya berdiri.

Chruch Grow Today, sebuah pusat penelitian yang dipimpin oleh John N. Vaughan sejak 1980 turut mencatat bahwa Gereja Lakewood pimpinan Joel Osteen ini telah mengalami pertumbuhan sebanyak 7.200 orang sejak tahun 2010.

Sosok pastor Joel Osteen terkenal bak selebritis di Amerika Serikat. Khotbahnya memikat puluhan ribu jemaat. Di TV dan kanal-kanal online, khotbah Osteen mampu menyedot lebih dari 7 juta orang viewers.

Baca juga: Khalifah yang Membangun Gereja Suci & Makam Yesus

Menurut laporan The Guardian, para jemaat Osteen diperkirakan adalah orang-orang kaya yang tinggal hunian elit Beverly Hills. Tidak heran pendapatan gereja juga turut terdongkarak hingga mencapai lebih dari $70 juta per bulan. Meski begitu Osteen mengatakan bahwa gajinya bersumber dari hanya dari penjualan buku.

Buku-buku Osteen selalu terpajang di rak best seller. Isinya seputar motivasi, yang tidak jarang dikritik karena menghindari topik-topik seperti dosa, setan, dan neraka.

Sejumlah situs seperti Rich But Broke yang mengevaluasi keuangan para selebritis berdasarkan pendapatan dan pengeluaran, memperkirakan kekayaan Osteen mencapai lebih dari 67 juta dollar pada 2012. Sementara Net Worth menyebut kekayaan bersih Osteen senilai $40 juta.

Setelah mendapat banyak serangan terkait badai Harvey, Joel Osteen akhirnya buka suara dengan mengatakan kini gerejanya di Houston sudah menampung ratusan orang yang terlantar akibat banjir.

Baca juga: Minoritas Kristen dalam Kancah Pergerakan Nasional

Berbeda dengan Joel Osteen yang dikritik karena lambat bertindak, Pastor Mark Driscoll yang mendirikan gereja raksasa Mars Hill pernah tersandung masalah transfer uang kepada sebuah perusahaan konsultan di California guna memasukkan bukunya berjudul Real Marriage ke dalam rak best seller. Driscoll membayar setidaknya sekitar $210.000.

Leadership Network and Vanderbloemen pada tahun 2014 meneliti 727 gereja raksasa di Amerika Serikat dan menyatakan hampir 50 persen gereja raksasa menghabiskan antara 39 sampai 52 persen dari anggaran tahunan untuk biaya pegawai dan staf. Gaji para pendeta senior hanya 3,4 persen dari total anggaran gereja.

Menjamurnya Konsep Gereja Raksasa

Gereja raksasa (megachurch) dapat didefinisikan berdasarkan tingkat kehadiran jemaat pada hari Minggu yang mencapai 2.000 orang atau lebih. Sebuah gereja raksasa juga bukan bagian dari kongregasi Katolik. Umumnya mereka berdenominasi Evangelis, Pentakosta dan gerakan pembaruan (reform) lainnya.

Suasana dalam gereja raksasa ramai dengan hiruk-pikuk musik pujian dan seruan khotbah yang menggebu-gebu. Hal ini kontras dengan sajian liturgi dan tata ibadah di gereja konvensional, baik pada beberapa denominasi Protestan maupun Katolik.

Sementara banyak gereja konvensional sepi jemaat, pertumbuhan gereja raksasa sangat subur khususnya setelah 1955. Seakan-akan mereka mengambil alih jemaat di gereja-gereja konvensional dengan menawarkan pendekatan agama yang lebih modern.

Amerika Serikat adalah gudangnya gereja raksasa. Ada lebih dari seribu gereja raksasa dan dihidupi oleh komunitas Kristen evangelis. Perkembangan model gereja raksasa beserta kultur jemaat evangelis ini pun menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Gereja raksasa tumbuh subur di kota-kota besar dunia. Di Birmingham, Alabama, Amerika Serikat ada Church of the Highlands yang menampung 38.000 jemaat, di Manila, Filipina berdiri Christ's Commission Fellowship dengan 25.000 jemaat. Di Mumbai, India terdapat New Life Fellowship Association yang menampung hingga 70.000 jemaat.

“Ini bukan gereja biasa,” kata seorang pendeta gereja raksasa. “Kami coba menciptakan lingkungan yang khas di sini, sehingga orang yang tidak bergabung dengan gereja mana pun dapat masuk dan mengatakan ‘Ini gereja yang belum pernah saya saksikan’.”

Baca juga: Orang-Orang yang Mengaku Juru Selamat

Sebelum memulai proyek gereja raksasa ini, beberapa pemimpin kongregasi gereja telah melakukan riset dengan menyelenggarakan jajak pendapat di masyarakat tentang apa yang mereka inginkan di gereja. Hingga akhirnya terlahir konsep gereja raksasa dengan segala pola ritualnya.

Kepopuleran model gereja raksasa di seluruh Amerika Serikat yang beranggotakan belasan hingga puluhan ribu jemaat juga turut mendongkrak sektor keuangan hingga jutaan dolar. Scott Thumma, profesor sosiologi dan agama di Hartford Seminary mengatakan pada 2010 silam bahwa gereja raksasa rata-rata mampu mengantongi $6,5 juta per tahun.

Di Korea Selatan misalnya, Yoido Full Gospel yang terletak di ibukota Seoul dihadiri oleh sekitar 21.000 jemaat tiap minggunya. Sementara ada tujuh sesi ibadah yang diselenggarakan, total gereja raksasa itu mampu melayani sekitar 200.000 jemaat pada tahun 2012 lalu.

Baca juga: Cara Pengikut Yesus Merayakan Ramadan src="//mmc.tirto.id/image/2017/09/26/gereja-bintang-lima--MILD-Quita.jpg" width="860" alt="Infografik gereja-gereja raksasa" /

Fenomena gereja raksasa pun eksis di Indonesia. Di Surabaya, sebuah gereja raksasa bernama Graha Bethany Nginden mampu menampung sekitar 50.000 jemaat. Sedangkan di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat, sebuah gereja raksasa bernilai jutaan dolar bernama Katedral Mesias resmi dibuka pada 2008 silam. Gereja ini adalah bagian dari Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII). Sekitar 4.000 jemaat hadir, melantunkan pujian dan membaca Alkitab.

Katedral Mesias ini digagas Stephen Tong, pastur pemimpin gereja tersebut. Menurut Stephen, keberhasilan membangun sebuah gereja raksasa di negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia mampu menghilangkan kesalahpahaman bahwa Indonesia adalah negara yang tidak toleran terhadap agama minoritas.

"Ini membuktikan bahwa tidak ada batasan dari pemerintah Indonesia untuk membangun pusat-pusat keagamaan," kata Stephen, seorang pengkhotbah reformis yang mendirikan Gereja Injili Reformasi Indonesia pada tahun 1989

Baca juga: Di Balik Menguatnya Intoleransi di Indonesia

Stephen Tong berkhotbah dalam dua bahasa, bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia. Ia mengklaim Katedral Mesias sebagai satu-satunya gereja nasional, karena anggaran dan bahan baku bangunannya berasal dari dalam negeri.

Baca juga artikel terkait AGAMA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf