Menuju konten utama

Mega Church di Indonesia: Menjual Mukjizat dan Klaim Kesuksesan

Gereja raksasa tumbuh pesat di perkotaan. Menggaet anak muda dan kaum urban yang haus sentuhan rohani dan mukjizat.

Mega Church di Indonesia: Menjual Mukjizat dan Klaim Kesuksesan
Ilustrasi: Mega Church tumbuh pesat di kalangan kelas menengah dan perkotaan. Menawarkan mukjizat dan cara sukses lewat ibadah secara instan. tirto.id/Lugas

tirto.id - “Angin Roh Kudus berembus! Angin Roh Kudus berembus!”

Teriakan Pastor Garren Lumoindong seketika membuat sederet jemaatnya bergelimpangan seakan jatuh pingsan. Dua orang yang berdiri di depan saya, satu perempuan dan satu laki-laki, juga turut terjengkang. Saya kaget dan refleks menahan tubuh mereka, lalu pelan-pelan merebahkan mereka ke lantai.

Seisi ruangan lantas ditingkali suara “silaba labalala labalaba”, yang diucapkan jemaatnya berulang-ulang. Itu bahasa Roh, lazim diucapkan umat Kristen Karismatik saat ibadah. Sementara ucapan itu semakin seru berkumandang, dua orang yang jatuh di depan saya mulai kejang-kejang hingga pakaian mereka terangkat. Seorang petugas gereja segera menutupi badan mereka dengan kain hitam.

“Berdiri semua!” kata Pastor Garren.

Mereka yang jatuh dan kejang-kejang seketika tersadar, merapikan pakaian, lalu berdiri lagi.

Peristiwa itu saya saksikan ketika menghadiri ibadah mukjizat kesembuhan Gereja Bethel Indonesia Glow di Thamrin Residences, suatu kawasan permukiman kelas menengah di Jakarta Pusat, pada Jumat kedua bulan ini. Pastor Garren Lumoindong, yang memimpin ibadah, adalah putra dari Pastor Gilbert Lumoindong yang terkenal dalam aliran Karismatik Indonesia.

Malam itu ada ratusan orang yang hadir demi mendapatkan mukjizat kesembuhan. Beberapa di antaranya ada yang lumpuh dan punya masalah dengan kakinya, mengalami gangguan penglihatan, pendengaran, dan bisu. Beberapa dari mereka mengklaim sembuh malam itu juga.

“Itu bukan karena saya," seru Pastor Garren. "Itu karena kuasa Yesus!"

Ibadah dengan tujuan mendapatkan kesembuhan itu salah satu tawaran dari beberapa mega church—alias gereja raksasa—beraliran Karismatik untuk menggaet jemaat. Bahkan tak jarang ada orang yang beragama selain Kristen yang turut menghadiri ibadah macam itu.

Sewaktu saya hadir di sana ada pasangan suami-istri membawa anaknya. Ada benjolan besar di bawah telinga si anak. Mereka berkata benjolan itu sudah dioperasi tapi setelah itu muncul lagi di bagian tubuh yang lain. Mereka berkata kasihan jika anaknya yang baru berusia setahun harus menjalani operasi lagi. Mereka berharap ada mukjizat untuk anak mereka meski agama mereka bukan dari keluarga Kristen.

“Kalau untuk anak, kami mau usahakan semua,” kata si bapak.

Memikat jemaat dengan ibadah kesembuhan agaknya menjadi resep manjur demi menggaet banyak orang tertarik ikut beribadah bersama Pastor Lumoindong. Hampir semua gereja raksasa, yang dicirikan dengan ribuan jemaat dan berlangsung di aula serta suasana khotbah yang atraktif selama ibadah, melakukan hal serupa.

Di antaranya Gereja Mawar Sharon besutan Pastor Philip Mantofa dan Gereja Tiberias Indonesia yang dipimpin Pendeta Yesaya Pariadji. Meski medium mereka berbeda, tapi hal ini sudah semacam ciri khas mega church Karismatik.

Gereja Tiberias Indonesia menjanjikan kesembuhan atas nama Yesus dengan medium minyak urapan dan anggur perjamuan saat ibadah. Bahkan menyuarakan keyakinan “tolak pisau operasi” secara berulang-ulang dalam ibadahnya dan diimani oleh para jemaat.

Salah satu jemaat yang saya temui adalah pasangan suami-istri John dan Yohana yang mengklaim mengalami mukjizat. Pada 2016, Yohana divonis tumor rahim dan harus menjalani operasi. Tapi karena meyakini keimanannya atas mukjizat melalui Pastor Yesaya Pariadji, ia memilih menolak operasi.

Alih-alih operasi, ia rajin ibadah dan mengikuti perjamuan kudus dan menggunakan minyak urapan dari Gereja Tiberias. Sampai suatu hari ia bermimpi didatangi Pendeta Pariadji dan Yesus. Saat Yesus datang dalam mimpinya, Yesus membedah dan mengangkat tumor dari perutnya.

“Begitu saya bangun, sudah tidak ada lagi benjolan di perut saya. Saya sembuh,” kata Yohana setelah memberikan kesaksian dalam Kebaktian Kebangunan Rohani Kesembuhan dan penghapusan resesi ekonomi di Gereja Tiberias Gading Nias pada 10 Juli 2019.

Doktrin dan Mukjizat

Doktrin "tolak pisau operasi" yang digaungkan oleh gereja raksasa Tiberias boleh jadi merupakan wujud keimanan. Fenomena ini sebangun keyakinan dari segelintir kelompok dari kalangan Kristen maupun Islam yang menolak vaksin. Bila gerakan menolak vaksin memakai dalih bahwa vaksin bisa membuat tubuh mereka semakin lemah atau "mengandung babi" sehingga dianggap "haram", doktrin menolak pisau operasi berangkat dari keimanan terhadap mukjizat.

Bila kita mengamini keyakinan Yohana yang sembuh dari tumor rahim berkat mukjizat, jemaat lain yang mengharapkan mukjizat tidak seberuntung dia.

Andi, bukan nama sebenarnya, menyaksikan pamannya berumur 50 tahun meninggal selama menunggu mukjizat. Sang paman adalah warga jemaat dari salah satu mega church di Bandung yang mengimani kesembuhan lewat ibadah. Ia mengalami patah tulang kaki pada 2013 tapi menolak operasi. Sang paman meninggal akibat peradangan pada kakinya yang patah, enam bulan kemudian.

“Saya datang ke rumah duka waktu itu, Pak Pendetanya juga datang melayat karena memang cukup dekat dengan paman saya,” kata Andi.

Junifrius Gultom, Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Bethel Indonesia, menilai bahwa dogma semacam itu seharusnya tidak bisa dibenarkan. Sepengetahuan dia juga Pendeta Pariadji dari Gereja Tiberias sudah dilarang melakukan ibadah yang menjual kesembuhan setelah "diprotes banyak orang".

Sementara Denny Harseno, salah satu pastor di Gereja Tiberias, menolak berkomentar mengenai dogma "tolak pisau operasi". Lewat pesan singkat, ia menjawab ia bukan orang yang tepat untuk ditanyai soal dogma tersebut. Saat saya bertanya lagi, Harseno memblokir nomor telepon saya.

Infografik HL Indepth Megachurch

Infografik Megachurch Jakarta dan Sekitarnya. tirto/Lugas

Klaim-Klaim Kebenaran

Kemunculan doktrin agama yang mengabaikan sains tidak lepas dari klaim-klaim pewahyuan oleh tokoh gereja dan diduplikasi terus-menerus oleh pendeta lain.

Misalnya, klaim Yesaya Pariadji yang bombastis bahwa ia sudah bolak-balik pergi ke surga. Terlepas kebenaran cerita Pariadji, klaim itu terbukti membuat jemaat makin terpikat.

Klaim ini semakin dikuatkan dengan testimoni sejumlah jemaat yang mengalami mukjizat lewat perantara Pariadji. Bahkan, pada 2017, pengusaha-cum-politikus Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, pernah memberi kesaksian bagaimana mukjizat lewat Pendeta Pariadji bisa membebaskannya dari lilitan utang dan kepailitan bisnis.

Kesaksian macam itu bikin pengusaha, khususnya yang bisnisnya bermasalah, lebih rajin ke gereja. Dalam satu ibadah Kebaktian Kebangunan Rohani Kesembuhan dan penghapusan resesi ekonomi di Gereja Tiberias Indonesia, saya duduk di sebelah pengusaha yang mengalami masalah bisnis.

Dalam kertas doanya ia menulis masalah modal usaha yang tak kunjung kembali dan permohonan dijauhkan dari penundaan pembayaran proyek. Pengusaha yang enggan menyebutkan namanya ini berharap bisa mendapatkan mukjizat dengan medium minyak urapan dan anggur perjamuan lewat Pendeta Pariadji.

Klaim seperti yang diucapkan Pendeta Pariadji juga menjadi isi khotbah Philip Mantofa dari Gereja Mawar Sharon di Surabaya. Dalam satu kesaksiannya, Philip pernah bermimpi diajak Yesus ke surga untuk melihat Taman Eden. Di sana ia melihat ada pohon kehidupan dengan daun-daun berisi firman Tuhan. Meski itu hanya mimpi, tapi bagi Philip, kejadian itu seakan nyata.

Klaim-klaim ini kerap membikin perseteruan antara gereja dan pendeta karena saling tuding sesat. Perseteruan ini terlihat dari pecahnya sejumlah mega church dari induknya atau sinodenya.

Gereja Tiberias Indonesia pimpinan Pendeta Pariadji, Mawar Sharon pimpinan Pastor Philip Mantofa dan Rehobot Ministri yang didirikan oleh Erastus Sabdono semula bagian dari Gereja Bethel Indonesia. Namun, tiga mega church itu memilih keluar dan mendirikan sinode sendiri.

Menurut Junifrius Gultom, klaim-klaim dari gereja raksasa menjadi dilema dalam kehidupan gereja, khususnya Karismatik. Mereka lahir sebagai gerakan pembaharu yang menghargai perjumpaan dan pengalaman rohani seseorang, yang seiring waktu harus berhadapan dengan klaim-klaim yang kian lama tak terkontrol lagi.

“Salah satu kelemahan dari Gereja Karismatik adalah seringkali tidak memiliki payung organisasi, sehingga suka-suka tokoh itu omong apa, tetapi [kemudian] jadi problem," ujar Gultom.

"Karena memang sifatnya yang otonom sehingga sifat otonom itu membuat sinode menjadi dilema. Dilemanya justru kita lahir dari spirit antitesis cara bergereja dari arus utama, baik dari cara ibadahnya dan lain sebagainya,” tambah dia.

Meski demikian, tidak semua mega church mengobral janji dan mukjizat untuk mendapatkan ribuan jemaat. Beberapa dari mereka ada yang berfokus pada penyembahan ketimbang jualan mukjizat. Salah satunya Jakarta Praise Community Church yang lebih fokus pada praise and worship. GBI Mawar Saron juga demikian, mereka memikat jemaat lewat khotbah yang dekat dengan jemaatnya.

“Memang ada trademark Karismatik untuk penyembuhan, mukjizat, tumpang tangan dan lainnya. Tapi masing-masing gereja sebenarnya punya ciri sendiri. Di GBI Mawar Saron, orang merasa lebih cocok dengan khotbahnya,” ujar Yohanes Nahuway, pendeta GBI Mawar Saron.

Tentu tidak ada yang salah dari mukjizat kesembuhan dengan dasar keimanan. Namun, bagaimana jika kesembuhan itu tidak terjadi?

Saat saya mendatangi ibadah mukjizat Pastor Garren Lumoindong dari GBI Glow di Thamrin Residences, 12 Juli, menjelang akhir ibadahnya sang pastor berkata dalam dua minggu benjolan di bawah telinga anak yang dibawa ke sana malam itu akan sembuh. Namun, sampai 24 Juli, saat saya menghubungi orangtua si anak kecil itu untuk menanyakan kondisinya, mukjizat itu belum tergenapi.

Lewat pesan singkat, sang bapak menjawab benjolan itu masih ada. “Alhamdulillah sehat," katanya. "Tapi kalau benjolannya kadang besar, kadang kecil.”

Baca juga artikel terkait GEREJA atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Humaniora
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam