Menuju konten utama

Perang Argumen Anti-vaksin dan Pro-vaksin

Bagi sebagian orang di dunia, vaksin adalah temuan penting dalam sejarah kesehatan yang telah mencegah beragam penyakit, tapi bagi sebagian yang lain vaksin adalah sumber celaka.

Perang Argumen Anti-vaksin dan Pro-vaksin
Dokter menyuntikkan imunisasi ke tangan anak. FOTO/iStock

tirto.id - Perbincangan soal vaksin kembali mengemuka setelah dua putri pemeran film Oki Setiana Dewi mengalami demam tinggi karena terinfeksi virus campak, yang bisa dicegah dengan vaksin. Warganet bersilang pendapat setelah screenshot komentar dokter anak Dr. Piprim Basarah menjadi viral, yang intinya ia menyayangkan sikap Oki yang ia sebut anti-vaksin.

Terlepas dari sikap Oki yang sesungguhnya, topik vaksin atau imunisasi sejak lama memang kontroversial. Ada rupa-rupa alasan orang tak mau memvaksin anaknya. Salah satunya terkait isu agama, tatkala ada bahan vaksin yang disebut-sebut mengandung lemak babi.

Selain alasan religius, ada pula alasan yang didukung argumen dan bukti yang beragam dan kompleks. Mulai dari argumen yang menyatakan bahwa terdapat efek samping negatif akibat vaksinasi, peningkatan tingkat disabilitas pada anak terkait imunisasi. Ada pula anggapan vaksin sebagai racun dan bahan yang tidak diperlukan tubuh, sampai dengan anggapan vaksin sebagai bagian dari konspirasi dunia.

Dalam skala global gerakan anti-vaksin ini juga punya akar sejarah yang panjang. Heidi J. Larson, PhD dari London School of Hygiene and Tropical Medicine menyatakan bahwa gerakan anti-vaksin pertama dibentuk pada 1866 yang bertajuk anti-compulsory vaccination league, sebuah gerakan menolak vaksin cacar.

Namun, tercatat sepanjang abad ke-20, cacar telah membunuh sekitar 300 sampai 500 juta orang. Organisasi kesehatan dunia (WHO) bahkan baru menyatakan cacar sebagai penyakit yang telah berhasil dituntaskan oleh imunisasi sejak tahun 1980 pada kampanye imunisasi global oleh WHO.

Selain itu, sejak tahun 1988, kasus polio telah menurun lebih dari 99 persen di seluruh dunia, dan hanya Afganistan, Nigeria dan Pakistan yang terus berjuang melawan penyakit menular yang dapat menyebabkan atrofi dan kelainan otot tersebut.

"Sekarang ini, misi utama mereka [gerakan anti-vaksin] didedikasikan untuk mempertanyakan atau menolak vaksinasi," jelas Larson. "Hal lain yang mereka lakukan adalah dengan berkutat mengurusi isu seperti: anti-vaksin sebagai bentuk kebebasan dari kontrol pemerintah; Anti-bisnis besar; Naturopati dan homeopati—memasukkan vaksin ke daftar zat non-alami yang harus dihindari, seperti vaksin yang dirasakan oleh beberapa orang karena mengandung bahan kimia dan racun yang berlebihan—dan kelompok anti-transgenik yang sentimental," jelas Larson.

Argumen-Argumen Anti-vaksin

Bagi banyak orang, aktris Amerika Jenny McCarthy adalah sosok ibu dari gerakan anti-vaksin. Sikapnya yang sangat vokal terhadap vaksin campak, gondok, dan rubela (MMR). Dia percaya vaksin itulah yang memicu Evan, anaknya mengalami autisme. Anggapan McCarthy dipicu oleh penelitian Dr. Andrew Wakefield yang diterbitkan di jurnal medis Inggris, The Lancet.

Penelitian itu kemudian dibantah dan ditarik kembali, setelah dilaporkan bahwa data Wakefield ternyata palsu. Menurut Brian Deer, jurnalis investigatif untuk London’s Sunday Times, Wakefield dibayar lebih dari £400.000 ($665.000) oleh seorang pengacara yang bertujuan untuk membuktikan bahwa vaksin tersebut tidak aman.

Dari faktor religius, bukan hanya umat muslim saja yang memperdebatkan kehadiran vaksin. Seorang warga Amerika Serikat dalam catatannya menyatakan keyakinannya bahwa manusia diciptakan sudah sebagaimana seharusnya. Campur tangan eksternal seperti vaksin, menurutnya, adalah hal yang tidak diperlukan.

"Tubuhku dirancang oleh Tuhan untuk menyembuhkan diri sendiri dan mengatur diri sendiri dan tidak ada orang yang bisa melakukannya untuk melakukan lebih baik dari pada Tuhan," tulisnya. Pengguna lain dari Amerika Serikat menyatakan, "[...] apapun yang melibatkan zat yang seharusnya tidak pernah masuk dalam tubuh manusia, seharusnya tidak disuntikkan atau dikonsumsi tanpa persetujuan individu itu."

UNICEF dalam catatannya soal gerakan anti-vaksin di Eropa Barat menuliskan bahwa ketidakpercayaan yang kuat terhadap pemerintah dan industri farmasi dalam komunitas anti-vaksinasi. Di Polandia, imunisasi dipandang sebagai lahan keuntungan perusahaan farmasi. Mereka menyebut perusahaan farmasi di sana sebagai ‘mesin pasar yang korup’.

Terkait teori konspirasi dalam vaksin, pendapat lain menyatakan bahwa industri vaksin adalah perusahaan yang disetir oleh tujuan mendapat laba, dengan dalih menyelamatkan nyawa dan melindungi manusia. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah juga besar. Ada anggapan bahwa imunisasi digunakan untuk mengendalikan dan mengurangi populasi dunia.

Bantahan dari Pro-vaksin

Namun, Heidi J. Larson dari London School of Hygiene and Tropical Medicine menyatakan vaksin untuk anak-anak adalah kewajiban, bukan pilihan. Setiap orangtua menurutnya bertugas merawat semua anak di lingkungannya. Kesehatan masyarakat tidak akan tercapai jika di satu lingkungan ada satu orang anak saja yang tidak diberikan vaksin, dan kemudian ia sakit.

“Anda merawat semua anak untuk melindungi masyarakat luas. Keluarga yang menerima subsidi pemerintah atau asuransi kesehatan seharusnya tidak diizinkan untuk tidak ikut vaksinasi. Seharusnya tidak ada pengecualian agama untuk vaksin,” tambah Larson.

Larson juga menyatakan bahwa gerakan anti-vaksin sangat berbahaya, karena kebanyakan mereka melulu percaya bahwa dokter menghasilkan uang dengan memberikan vaksin. “Yang benar adalah biaya untuk dokter dan organisasi kesehatan sangat besar,” katanya.

Vaksin, menurut Larson, adalah salah satu penemuan kesehatan terbaik sepanjang sejarah yang telah menyelamatkan jutaan nyawa.

"Mereka [vaksin] tidaklah sempurna, dan mereka tidak akan pernah sempurna. Tapi, seperti semua intervensi sains dan kesehatan, kita harus terus bercita-cita untuk memperbaiki apa yang harus kita lakukan dengan lebih baik. Sementara itu, gunakan alat terbaik untuk hal yang harus kita lakukan dalam mencegah penyakit dan menyelamatkan nyawa.

infografik pro vs vaksin

Manfaat Vaksin

Kepala Laboratorium Protein Terapeutik dan Vaksin, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Adi Santoso, kepada Tirto menjelaskan bahwa vaksin adalah zat yang berasal dari virus atau bakteria yang telah dilemahkan atau dimatikan melalui mekanisme ilmiah. Vaksin, kata Adi, dapat digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif pada tubuh terhadap suatu penyakit tertentu.

“Selain menimbulkan terjadinya proses kekebalan tubuh secara aktif dalam tubuh manusia, keberadaan vaksin dalam masyarakat dapat memberikan efek kebaikan-kebaikan lain,” katanya.

Adi merinci manfaat-manfaat vaksin, salah satunya adalah penghematan biaya dalam jangka panjang. Menurut dia, vaksinasi memang membutuhkan biaya sangat besar tetapi dalam jangka panjang penghematan biaya yang berkaitan dengan penyakit tentunya akan lebih besar lagi manfaatnya.

Manfaat kedua, kata Adi, vaksin mencegah perkembangan resistensi terhadap antibiotik. “Orang yang telah divaksin tentunya mempunyai kekebalan tubuh yang lebih baik sehingga secara teori akan dapat mengurangi penggunaan antibiotik,” kata dia.

Keuntungan ketiga vaksin, lanjut Adi, adalah peningkatan harapan hidup. Menurut data WHO, vaksin juga dapat meningkatkan harapan hidup dengan melindungi terhadap penyakit yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Adi mencontohkan studi di Amerika serikat: orang yang diberi vaksin influenza memiliki sekitar 20 persen risiko lebih rendah menderita penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, dan risiko kematian 50 persen lebih rendah dari semua penyebab, dibandingkan dengan mereka yang tidak divaksinasi.

Manfaat keempat, jelas Adi lagi, adanya vaksinasi membuat perjalanan akan semakin aman dan dapat menekan kekhawatiran atas suatu penyakit tertentu. “Dapat dibayangkan betapa sulitnya kita akan bepergian apabila suatu daerah tertentu terserang suatu penyakit,” jelas Adi.

Baca juga artikel terkait VAKSIN atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani