Menuju konten utama

Di Balik Menguatnya Intoleransi di Indonesia

Wacana tentang penggantian dasar negara dari Pancasila kepada yang lain bukanlah barang baru. Gejala ini punya akar historis panjang. Dalam penelitian yang dipimpin Bambang Pranowo, guru besar Sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, terungkap bahwa hampir 50 persen pelajar setuju tindakan kekerasan berdasarkan radikalisme Kelompok radikal yang membenarkan kekerasan ,anak muda Indonesia makin mengalami radikalisasi secara ideologis

Di Balik Menguatnya Intoleransi di Indonesia
Tragedi teror di kawasan Sarinah, Jakarta. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Apa yang terjadi dengan pengusiran terhadap kaum Syiah, Ahmadiyah, atau pembakaran gereja dan mesjid? Mengapa di Yogyakarta, pesantren tempat waria mendekatkan diri pada Tuhan diancam ditutup? Apa yang ada dalam pikiran warga tentang keberagaman dan keindonesiaan?

Baru-baru ini, ada temuan dari Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) tentang potensi radikalisme di Indonesia. Dalam penelitian yang dipimpin Bambang Pranowo, guru besar Sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, terungkap bahwa hampir 50 persen pelajar setuju tindakan kekerasan berdasarkan radikalisme.

Data itu juga menyebutkan 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tak relevan lagi. Yang lebih mencengangkan, ada 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju penerapan syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan demi solidaritas agama mencapai 52,3 persen siswa. Di antaranya, ada 14,2 persen yang membenarkan serangan bom.

Data ini menunjukkan dua hal. Pertama, ada kesadaran dan keinginan sebagian orang di Indonesia untuk mengganti ideologi negara dari Pancasila menjadi syariat Islam. Hal lain adalah tingginya potensi tindak kekerasan atas nama agama.

Wacana tentang penggantian dasar negara dari Pancasila kepada yang lain bukanlah barang baru.

Gejala ini punya akar historis panjang. Sejak menjelang republik ini didirikan, sudah ada perdebatan apakah negara ini akan didasari syariat Islam atau tidak. Dalam dasar negara menurut Piagam Jakarta yang ditandatangani pada 22 Juni 1945, sila pertamanya memuat "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Namun, setelah ada keberatan dari wakil-wakil agama Kristen, penggalan kalimat itu dihapus.

Setelah Orde Baru berkuasa, terjadi depolitisasi besar-besaran. Partai politik dan organisasi masyarakat diwajibkan berasaskan Pancasila saja. Oleh karenanya, saat reformasi bergulir dan keran kebebasan politik dibuka, Islam politik pun bersemi kembali. Ariel Heryanto, penulis buku State Terrorism and Political Identity in Indonesia (2006), mencatat bahwa re-Islamisasi itu sesungguhnya sudah terjadi sejak dekade 1990-an. Salah satu indikatornya adalah pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Penelitian LIPI pada 2011 juga menyebutkan bahwa kalangan anak muda Indonesia makin mengalami radikalisasi secara ideologis dan makin tak toleran, sementara perguruan tinggi banyak dikuasai oleh kelompok garis keras.

Untuk melihat gambaran bagaimana radikalisme menyusup ke dalam alam pikir pemuda, kita bisa menyimak Jihad Selfie, film dokumenter yang dibuat oleh Noor Huda Ismail. Di dalam film ini, tergambar sosok anak muda berusia 17 tahun yang tertarik dengan ide kekerasan atas nama agama. Film itu menunjukan bahwa pola rekruitmen ISIS menyasar anak-anak muda, dan pemuda tadi adalah salah satunya. Dalam rekaman itu beberapa anak muda menyatakan diri bergabung dengan ISIS. Ironisnya, pembaiatan dilakukan di masjid di dekat Kementerian Pertahanan.

Jika menilik data Pew Research Centre, gambaran yang ditunjukkan oleh film dokumenter itu amat relevan. Menurut data Pew, setidaknya ada 4 persen penduduk Indonesia yang mendukung ISIS. Jika data itu sahih, maka berarti ada setidaknya 10 juta orang Indonesia yang bersimpati terhadap kelompok pelaku kekerasan tersebut.

Dalam penelitian lain yang dilakukan LIPI di UGM, UI, IPB, Unair, dan Undip pada 2011, didapat kesimpulan bahwa ada peningkatan pemahaman konservatif atau fundamentalisme keagamaan. Gejala itu terjadi khususnya di kalangan mahasiswa kampus-kampus umum atau sekuler, yang tidak berlandaskan agama.

Selain di universitas, radikalisasi juga terjadi di pesantren-pesantren. Dalam pantauan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), setidaknya ada 19 pondok pesantren yang terindikasi menyebarkan kegiatan radikalisme. Pondok-pondok pesantren itu tersebar mulai dari Lampung, Serang, Jakarta, Ciamis, Cilacap, Magetan, Lamongan, Cilacap, Solo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Makassar, hingga Poso.

Terkait fenomena ini, peneliti LIPI, Endang Turmudi, menyatakan bahwa radikalisasi perlu diwaspadai. Meskipun tak semua mengerucut pada aksi teror, radikalisme berbahaya karena menjadi hal yang mendasari tindakan kekerasan. Oleh karenanya, pemerintah dan masyarakat harus waspada.

Endang juga mengajak masyarakat dan pemerintah agar melakukan pencegahan radikalisme. Deradikalisasi itu bisa dilakukan dengan mengkampanyekan kewaspadaan masyarakat, dekonstruksi ideologi, delegitimasi, serta membangun simpati masyarakat. Meningkatkan kewaspadaan masyarakat bisa dilakukan dengan memberi informasi bahwa radikalisme sedang meluas. Selain itu, dekonstruksi ideologi dapat dilakukan dengan bantuan para ulama.

“Para ulama juga harus tegas melegitimasi bahwa terorisme bertentangan dengan Islam. Dan, ketika ada teroris sudah taubat, maka langkah terakhir adalah membangun simpati masyarakat untuk mau menerima mantan teroris yang bertobat sebagai bagian dari mereka,” kata Endang, seperti dilansir situs resmi LIPI, lipi.go.id.

Kelompok radikal yang membenarkan kekerasan ini di Indonesia memang sudah banyak wujudnya. Dalam catatan The Wahid Institute, sepanjang 2015 setidaknya ada 190 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) terjadi di Indonesia. Angka itu meningkat 23 persen dibanding tahun lalu sebesar 158 peristiwa. Namun, aktor pelanggaran tersebut sebagian besar adalah negara, yaitu 52 persen atau sebanyak 130 tindakan. Sementara 48 persen sisanya atau 89 tindakan dilakukan oleh non-negara.

Selain perluasan kewenangan aparat negara seperti dalam rencana revisi UU Terorisme, dari data itu tergambar juga kewajiban negara yang lain. Di luar tuntutan untuk melakukan deradikalisasi, deideologisasi serta meningkatkan kewaspadaan masyarakat, aparat negara sendiri semestinya tidak membiarkan apalagi terlibat dalam pelanggaran kebebasan beragama itu.

Baca juga artikel terkait INTOLERANSI atau tulisan lainnya

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Arman Dhani