Menuju konten utama

Menimbang Model Bisnis Langganan Aplikasi Ojol Bagi Pengemudi

Wacana skema langganan aplikasi ojek online dinilai tak serta-merta selesaikan masalah kemitraan antara pengemudi dan aplikator.

Menimbang Model Bisnis Langganan Aplikasi Ojol Bagi Pengemudi
Sejumlah pengemudi ojek daring (ojol) melakukan aksi demonstrasi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/5/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.

tirto.id - Rapat Komisi V DPR RI pada Rabu, 21 Mei 2025, mendadak riuh setelah Adian Napitupulu menyampaikan pandangannya mengenai skema kemitraan antara pengemudi ojek online dan perusahaan aplikator. Tepuk tangan dan sorakan menyambut pernyataan politisi Fraksi PDI Perjuangan itu, seolah mengamini sekaligus memberi dukungan penuh.

Salah satu poin yang ia soroti adalah potensi pergeseran model kemitraan menuju sistem berbasis langganan—sebuah skema yang disebutnya sebagai masa depan transportasi daring di Indonesia. Ia menekankan bahwa perkembangan ini perlu dicermati secara lebih luas, tidak hanya dari konteks dalam negeri, tetapi juga di tingkat global.

Adian kemudian mencontohkan India sebagai negara yang mengalami dinamika sosial ekonomi yang memengaruhi model bisnis transportasi online. Di sana, sejumlah aplikator mulai meninggalkan skema potongan komisi akibat protes berulang dari pengemudi terkait transparansi tarif serta adanya perubahan regulasi pajak barang dan jasa.

Beberapa perusahaan seperti Uber, Rapido, dan Namma Yatri kini menerapkan sistem berlangganan bagi mitra pengemudi mereka, khususnya untuk layanan bajaj (auto rickshaw). “Potongan langganan ini berlaku tetap. Nah, itu lah nanti masa depan driver online hubungannya dengan aplikasi,” kata Adian.

Meski begitu, perubahan model bisnis dari potongan komisi menjadi langganan aplikasi belum tentu mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang selama ini membelit hubungan antara pengemudi dan aplikator.

Pakar Ketenagakerjaan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Tidar, Arif Novianto, menjelaskan pada umumnya model langganan aplikasi disebut sebagai model pasar digital murni (pure digital) seperti halnya marketplace model.

Dalam teori hubungan kerja, bentuk ini mendorong relasi kerja menjadi tidak langsung (non-standard) dan makin menjauh dari relasi kerja konvensional. Karena itu, perusahaan ride hailing akan mengeklaim bahwa mereka tidak memiliki relasi kerja dengan pengemudi. Sebab, pengemudi hanya menyewa akses platform seperti pelanggan.

"Ini semacam transformasi posisi pengemudi menjadi pelanggan platform alih alih mitra kerja, seperti halnya pedagang penyewa kios di mall yang membayar biaya langganan atau sewa untuk berdagang di sana,” jelas Arif kepada Tirto, Senin (16/6/2025).

Yang jadi masalah, kata dia, adalah jika relasi subordinasi dan kontrol tetap terjadi di mana platform bisa mengatur tarif dasar, menentukan jumlah pengemudi sesukanya, menetapkan algoritma distribusi order, memberi insentif atau sanksi hingga memutus akun sepihak.

Artinya, dari perspektif hukum ketenagakerjaan kritis, ada relasi kerja antara perusahaan ride hailing dengan pengemudi, meskipun dibungkus model bisnis baru. “Relasi ini bisa disebut sebagai relasi kerja tersembunyi (disguised employment relationship),” tambahnya.

Bagi pengemudi transportasi online, skema langganan aplikasi mungkin saja akan terlihat menguntungkan. Apalagi jika aturan terkait potongan komisi hingga 20 persen dihapuskan. Namun, Arif mengingatkan adanya beberapa risiko struktural terhadap para pengemudi.

Pertama, seluruh risiko pendapatan yang berpotensi sepenuhnya ditanggung oleh pengemudi. Ia mencotohkan, misalnya, ketika kondisi cuaca buruk dan jumlah permintaan pelanggan menurun. Ini akan sangat mungkin membuat pendapatan pengemudi merosot tak peduli mereka mereka sudah membayar biaya langganan dalam jumlah tertentu.

“Karena sistem kerja tetap dikendalikan algoritma platform, pengemudi tidak bisa betul-betul ‘mandiri’. Mereka tidak tahu bagaimana order dibagikan, bagaimana performa diukur, atau bagaimana sistem penalti bekerja,” papar Arif.

Di sisi lain, platform tetap bisa mengambil untung besar dari biaya langganan dan potongan biaya layanan tambahan, tanpa harus memberikan perlindungan sosial atau jaminan kerja apa pun kepada para pengemudi. Dus, model langganan seperti yang diterapkan di India justru berpotensi memperdalam ketidakpastian kerja bagi pengemudi.

Apalagi, secara hukum, model ini mengaburkan relasi kerja formal dan secara ekonomi memindahkan seluruh risiko ke pengemudi tanpa memberi jaminan perlindungan kepada mereka.

"Ide model langganan ini adalah bagian dari perusahaan platform untuk mengelak dari tekanan yang semakin kuat. Agar persentase potongan platform diturunkan menjadi maksimal 10 persen, untuk menciptakan kondisi kerja adil, guna menghindar dari tekanan tersebut, maka ide langganan muncul," tegas dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Tidar itu.

Sementara itu, mantan anggota divisi hukum Perkumpulan Angkutan Daring Indonesia (PADI), Ivan Robert Kairupan, menilai skema langganan aplikasi untuk pengemudi transportasi online sebenarnya tak jauh berbeda dengan dengan biaya sewa aplikasi maupun potongan komisi.

Hanya saja, dengan skema potongan komisi, platform membebankan biaya sewa aplikasi kepada para pengemudi dengan 'baju' mitra. "Kalau mitra, bagi hasil di Undang-Undang UMKM dilarang bagi pengusaha (untuk) membebankan biaya kepada mitra. Apa beda sewa aplikasi dengan berlangganan sewa aplikasi? Sama saja, cuma terminnya dibedakan yang satu sewa per transaksi penggunaan, yang lainnya langganan periode,” jelas Ivan, saat dihubungi Tirto, Senin (16/6/2025).

Dengan hanya 'ganti baju' ini, tak penting apakah nanti akan ada aturan baru atau tidak jika skema langganan aplikasi diterapkan untuk menggantikan potongan komisi. Yang lebih mendesak, menurutnya, adalah ketegasan dari pemerintah agar perusahaan ride hailing tak mengenakan biaya yang terlampau tinggibaik dalam model bisnis potongan komisi, biaya sewa aplikasi, maupun langganan aplikasi.

Bahkan, jika pemangku kepentingan dan aplikator mengikuti regulasi yang ada, tidak seharusnya pengemudi dikenakan aturan yang merugikan. “Revenue aplikator semata mata hanya dari core bisnis dia yaitu sewa aplikasi antara aplikator dengan konsumen, bukan driver atau mitra driver. Aplikator tidak boleh menerima pembagian hasil dari jasa transportasi karena dia bukan perusahan transportasi. Prinsip ini jelas,” tegas Ivan.

Pandangan senada disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia, Igun Wicaksono. Menurutnya, ada kekhawatiran bahwa para pengemudi transportasi online akan semakin dirugikan jika skema berubah menjadi model langganan aplikasi.

Dengan skema potongan komisi saat ini saja, sudah ada platform yang menawarkan model berbayar agar pengemudi bisa mendapat order prioritas.

"Dari potongan komisi saja pihak perusahaan aplikasi ini sudah melanggar. Nah, apalagi dengan metode kalau mau menjadi driver-nya, harus menjadi member atau berbayar. Ini kan tidak ada di aturan yang sudah dibuat oleh Kementerian Perhubungan," tutur Igun saat dihubungi Tirto, Senin (16/6/2025).

Lagi pula, menurutnya, langganan aplikasi juga sama saja dengan skema biaya potongan aplikasi yang saat ini sudah diterapkan. Keduanya, sama-sama membebani pengemudi transportasi online karena harus membayar biaya sewa aplikasi dengan biaya yang dipatok melebihi aturan pemerintah. "Jadi, skema ini hanya akal-akalan dari perusahaan aplikasi untuk menghindari pelanggaran biaya potongan aplikasi," tukas Igun.

Alih-alih dengan menerapkan potongan komisi tinggi maupun langganan aplikasi, Ketua Umum Asosiasi Driver Online (ADO), Taha Syafaril, menilai akan lebih baik bagi platform menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dengan para pengemudi dan menghilangkan kemitraan dalam model bisnis ride-hailing nasional.

Tak hanya itu, ia juga berharap agar perusahaan penyedia jasa transportasi daring tak lagi menghindari tanggung jawabnya sebagai pemberi kerja.

"Bagaimana pun tidak akan menjadi lebih baik jika Grab dan (perusahaan) aplikasi lain tidak punya keinginan untuk pengemudi platform-nya mendapatkan penghasilan yang cukup. Dan menurut saya langkah ini adalah langkah untuk menghindari tuntutan hukum sebagai penyedia layanan yang harus menganggap pengemudi platform adalah pekerja," ujar Taha saat dihubungi terpisah, Senin (16/6/2025).

Dari sisi aplikator, Grab Indonesia menyatakan tetap membuka peluang atas berubahnya skema kemitraan dari yang saat ini menggunakan sistem potongan komisi menjadi langganan aplikasi.

Meski begitu, Country Managing Director Grab Indonesia, Neneng Goenadi, tak bisa memastikan apakah langkah tersebut akan diambil di masa depan.

“Jadi saya tidak mengatakan itu tidak mungkin, tapi saya juga tidak mengatakan itu pasti bisa. Karena itu semuanya berdasarkan inovasi. Dan kita juga melihat bagaimana kemajuan teknologi ke depan. Kita terbiasa menggunakan teknologi," kata Neneng dalam diskusi bersama media di Kembang Goela, Jakarta Selatan, Jumat malam (13/6/2025).

Selain itu, Neneng juga memastikan bahwa inovasi model bisnis Grab akan tetap ditujukan untuk memberikan layanan terbaik bagi pelanggan maupun mitra. "Karena begini, kita inovasi terus. Saya juga kadang-kadang enggak tahu apa yang akan terjadi karena perubahan itu cepat sekali. Tapi yang pasti kita akan selalu memberikan yang terbaik. Baik untuk mitra kami, maupun para konsumen kami," jelasnya.

Sementara Gojek, sampai berita ini ditulis, belum menanggapi pertanyaan Tirto terkait apakah perusahaan ride hailing di bawah PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) tersebut juga membuka peluang untuk menerapkan kebijakan langganan aplikasi bagi para mitra pengemudi.

Baca juga artikel terkait OJEK ONLINE atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Insider
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana