Menuju konten utama

Kerugian Ekonomi Akibat Demo Mitra Ojol dan Akar Masalahnya

Mogok nasional ojol hari ini ditaksir rugikan ekonomi Rp188 miliar. Relasi timpang antara platform-pengemudi dan tuntutan regulasi adil kembali disorot.

Kerugian Ekonomi Akibat Demo Mitra Ojol dan Akar Masalahnya
Sejumlah pengemudi ojek daring berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/5/2025). ANTARA FOTO/Jasmine Nadhya Thanaya/rwa.

tirto.id - Aksi mogok nasional oleh pengemudi ojek online (ojol) hari ini, Selasa (30/5/2025), berpotensi mengganggu perputaran uang harian di sektor transportasi digital. Tak hanya itu, efek dominonya juga dirasakan oleh pedagang kuliner, pengusaha logistik mikro, hingga pekerja urban yang menggantungkan hidupnya pada layanan transportasi daring tersebut.

Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menaksir kerugian akibat off bid massal para mitra ojol hari ini mencapai Rp188 miliar. Estimasi ini berasal dari total Gross Transaction Value (GTV) industri ride-hailing sepanjang 2024 yang diperkirakan mencapai Rp135 triliun sepanjang 2024.

"Jika diasumsikan perputaran transaksi ini terjadi secara merata sepanjang tahun, maka estimasi perputaran uang harian mencapai sekitar Rp375,89 miliar. Bila terjadi penurunan aktivitas sebesar 50 persen dalam sehari akibat mogok, maka potensi nilai transaksi yang terdampak mencapai sekitar Rp187,95 miliar," ujar peneliti IDEAS Muhammad Anwar kepada Tirto.

Hitung-hitungan tersebut tak berlebihan. GTV layanan Gojek—mencakup GoRide, GoFood, dan GoSend—tahun lalu saja mencapai Rp63,04 triliun. Sementara Grab, yang mencatatkan GTV global sebesar 18,4 miliar dolar AS atau setara Rp293 triliun (asumsi kurs Rp16.000 per dolar AS), diperkirakan mencapai Rp58,75 triliun dengan anggapan kontribusi Indonesia terhadap total GTV-nya sebesar 20 persen.

Di luar dua pemain raksasa itu, aplikasi lain seperti Maxim, inDrive, Anterin, hingga Nujek juga mengambil bagian meski skalanya jauh lebih kecil. IDEAS memperkirakan kontribusi kolektif aplikasi-aplikasi ini mencapai sekitar 10 persen dari total pasar, yakni berkisar Rp13,53 triliun sepanjang 2024.

"Berdasarkan data tersebut, nilai total transaksi industri ride-hailing di Indonesia tahun 2024 diperkirakan mencapai sekitar Rp135,32 triliun," jelas Anwar.

Besarnya angka ini menggambarkan pentingnya peran para mitra ojol dalam kegiatan ekonomi sehari-hari, khususnya di daerah urban Jakarta dan sekitarnya. Itu sebabnya, Wakil Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Budi Primawan mendorong pemerintah untuk menghasilkan solusi yang adil dan berkelanjutan bagi mitra ojol maupun perusahaan aplikator.

"Menurut kami, hal ini tidak akan berdampak signifikan terhadap ekonomi digital secara keseluruhan, karena layanan masih berjalan di banyak wilayah lainnya. Tapi kami tetap mendorong dialog terbuka antara pemerintah, platform digital, dan perwakilan mitra pengemudi," ucapnya saat dihubungi Tirto.

Sementara itu, Next Policy, lembaga riset kebijakan dan ekonomi, memprediksi kerugian ekonomi di sisi pengemudi ojol berkisar antar Rp4-8 miliar. Taksiran tersebut mengacu pada hitung-hitungan pendapatan kotor pengemudi di Jabodetabek yang berada di kisaran Rp160.000 per hari.

Tentu angka itu belum mencerminkan realitas di lapangan. Sebab, setelah dikurangi bensin, makan, dan kebutuhan operasional lain yang sepenuhnya ditanggung sendiri, penghasilan bersih yang masuk ke kantong pengemudi bisa jadi lebih rendah, dan jauh dari kata layak untuk hidup di wilayah urban seperti Jakarta.

“Kalau dibagi dengan jam kerja yang panjang, pengemudi bisa bekerja 10 hingga 12 jam sehari hanya untuk mengejar penghasilan yang cukup buat bertahan,” kata peneliti Next Policy Dwi Raihan.

Butuh Penataan Ulang

Menurut Anwar, angka-angka kerugian tersebut sebenarnya hanya "puncak gunung es" dari persoalan aplikasi daring yang lebih dalam: relasi timpang antara perusahaan platform dan para mitranya. Apalagi, jika dirunut ke belakang, aksi para pengemudi ojol hari ini bukanlah yang pertama di 2025.

Sebelumnya, pada medio Februari lalu, demonstrasi serupa dilakukan para mitra yang tergabung dalam Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI). Salah satu tuntutan mereka saat itu adalah pembayaran tunjangan hari raya (THR) dari mitra aplikator, yang berujung dengan diumumkannya kebijakan bonus hari raya oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara.

Hari ini, para peserta aksi kembali membawa tuntutan serupa demonstrasi sebelumnya—yang tak kunjung terpenuhi—seperti penghapusan tarif hemat bagi penumpang, skema slot, aceng (goceng) di Gojek, dan tarif potongan lainnya.

Karena itulah, Anwar mendorong pemerintah untuk hadir bukan hanya sebagai penengah yang netral, tetapi sebagai pelindung kepentingan rakyat pekerja. Sebab, diperlukan regulasi spesifik untuk menjamin standar minimum upah, perlindungan sosial, dan transparansi algoritma yang menentukan penghasilan para mitra ojol.

Tanpa itu, digitalisasi hanya akan menjadi wajah baru dari eksploitasi ekonomi dan demonstrasi serupa akan terus berulang. "Ketika pengemudi berhenti bekerja serentak, dampaknya langsung terasa, baik pada mobilitas harian masyarakat maupun pada kelangsungan operasional sektor-sektor terkait," tutur Anwar.

Ia juga menjelaskan bahwa dampak mogok langsung para mitra ojol akan terasa pada empat sektor utama. Pertama, UMKM dan pedagang kuliner yang mengandalkan GoFood atau GrabFood untuk menjangkau pelanggan. Ketika layanan tersendat, omzet harian mereka ikut terdampak. "Ini sangat merugikan, terutama bagi warung kecil yang bergantung pada pemasukan harian," kata Anwar.

Kedua, masyarakat umum—terutama dari golongan berpenghasilan menengah ke bawah— yang menggantungkan mobilitas harian pada ojol untuk menjangkau tempat kerja, sekolah, hingga rumah sakit.

Ketiga, sektor logistik skala kecil yang bertumpu pada layanan pengiriman instan seperti GoSend atau GrabExpress. "Penurunan layanan menghambat pengiriman barang, termasuk kebutuhan mendesak seperti obat-obatan atau dokumen penting," tuturnya.

Keempat, dampak risiko reputasi dan kerugian langsung bagi perusahaan platform. Menurutnya, ketergantungan pada jaringan pengemudi yang luas seharusnya diimbangi dengan model kerja yang adil. Sebab, ketika mitra tidak merasa dihargai atau terlindungi, keberlanjutan platform juga ikut terancam.

"Platform digital tak bisa terus bergantung pada jaringan pekerja tanpa jaminan kesejahteraan. Ini alarm moral bagi industri dan regulator," imbuhnya.

Hal serupa disampaikan Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda. Memang, menurutnya, dampak aksi off bid massal terhadap ekonomi nasional tak akan terlalu signifikan. Sebab, sifatnya hanya temporer dan mobilitas masyarakat masih bisa ditopang transportasi umum atau kendaraan pribadi. Namun aksi mogok tersebut bukan soal menghentikan ekonomi, melainkan peringatan keras bahwa struktur pasar digital di Indonesia butuh penataan ulang.

Huda menjelaskan, untuk memahami persoalan ini, publik harus terlebih dahulu membedah apa saja komponen biaya dalam layanan transportasi online. “Kita sering kali menganggap biaya perjalanan hanyalah soal tarif per kilometer. Padahal, di balik itu ada sejumlah lapisan biaya tambahan yang dibayarkan konsumen dan pengemudi,” ujarnya.

Menurut Huda, komponen pertama yang dibayar konsumen adalah tarif perjalanan yang diatur melalui Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor 1001 Tahun 2022. Beleid menentukan batas bawah, atas, dan tarif minimum yang harus diterima pengemudi.

Di luar tarif pokok itu, konsumen juga membayar biaya platform—yang bervariasi tergantung promosi, jarak, atau waktu sibuk—dan biaya tambahan seperti asuransi. Tapi yang paling krusial adalah komponen biaya tak langsung yang ditanggung oleh pengemudi, dan inilah sumber keresahan yang meletup menjadi protes.

Dalam Kepmenhub tersebut, pengemudi seharusnya hanya dibebani biaya tidak langsung maksimal sebesar 20 persen dari tarif perjalanan. Komposisinya terdiri dari 15 persen sebagai biaya sewa aplikasi dan 5 persen untuk mendukung kesejahteraan pengemudi, seperti program asuransi atau bantuan sosial. Namun menurut Huda, praktik di lapangan tak sesederhana itu.

“Banyak pengemudi mengaku potongan yang mereka alami bisa melebihi 20 persen. Ini bisa terjadi karena ada komponen tambahan seperti biaya langganan fitur, penalti performa, atau potongan dari program-program tertentu yang tidak dijelaskan secara terbuka,” kata Huda.

Situasi ini membuat informasi antara platform dan mitra jadi tidak seimbang. Sebab, biaya tambahan tidak dijelaskan sejak awal sebagai bagian dari tarif, tapi tiba-tiba muncul sebagai potongan lain. Ini menimbulkan kebingungan dan rasa tidak percaya di kalangan mitra.

Meski begitu, Huda menilai tuntutan untuk memangkas biaya tak langsung dari 20 persen menjadi 10 persen perlu dibaca dengan hati-hati. Sebab, platform adalah perusahaan swasta yang punya struktur biaya sendiri: dari SDM, teknologi, hingga promosi. Jika potongan diturunkan, kemungkinan besar mereka akan mengalihkan beban ke konsumen lewat kenaikan biaya layanan.

"Tentu platform merupakan perusahaan swasta yang bertujuan memperoleh keuntungan dimana ada biaya sumber daya manusia, gedung, hingga teknologi yang harus dikeluarkan oleh platform setiap tahunnya," ungkap Huda.

Dampaknya, harga bisa semakin mahal dan justru berbalik merugikan pengemudi itu sendiri. Pasalnya, mayoritas konsumen transportasi online di Indonesia adalah price sensitive consumer, yakni pengguna yang sangat sensitif terhadap perubahan harga. Ketika tarif naik atau promosi berkurang, permintaan bisa menurun dan penghasilan pengemudi ikut terdampak.

"Dengan bentuk pasar multi-sided market, ketika harga semakin mahal dengan terbatasnya promo, pendapatan pengemudi juga akan berkurang. Pun ketika biaya tidak langsung ini berkurang, perusahaan juga pasti akan menaikkan platform fee untuk menutup kerugiannya," jelasnya.

Lantaran itu, hematnya, solusi permasalah tersebut bukan sekadar memangkas angka potongan, melainkan memperjelas komponen biaya dan memastikan tidak ada pungutan tersembunyi yang membebani pengemudi. Semua pengemudi harus diperlakukan setara dan program-program yang membuat pengemudi harus membayar biaya tambahan untuk bisa ‘bermain’ di platform perlu dihapuskan.

"Pengemudi satu dengan yang lainnya harus diperlakukan dengan setara. Yang menjadi pembeda hanya performa di medan transportasi saja, bukan dengan mengeluarkan biaya tambahan," jelasnya.

Lebih jauh, ia juga menekankan pentingnya tuntutan pengemudi diarahkan ke upaya memperluas akses terhadap perlindungan sosial. Seharusnya, kata Huda, komponen 5 persen biaya tidak langsung yang sudah dipungut dari pengemudi digunakan benar-benar untuk mendukung kesejahteraan mereka, termasuk akses terhadap layanan kesehatan dan perlindungan kerja.

"Tuntutan harus ditujukan kepada peningkatan kesejahteraan dari pengemudi dengan mendesak adanya peraturan yang mempermuda pengemudi mengakses jaring pengaman sosial seperti kesehatan," tandasnya.

Fokus Pemerintah

Menteri Ketenagakerjaan Yaasierli membenarkan bahwa perlindungan jaminan sosial menjadi hal yang mendesak bagi para mitra ojol. Pasalnya, berdasarkan data dari BPJS Ketenagakerjaan, hanya sebanyak 250.000 dari sekitar 2 juta pengemudi ojol yang terdaftar jamsostek. Dalam hal ini artinya, ada sekitar 1,7 juta pengemudi ojol yang belum mendapatkan perlindungan.

“Jaminan sosial ketenagakerjaan dan yang sangat mendesak itu adalah terkait tentang jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian.Jadi dan besarnya memang nanti ini akan berujung kepada satu regulasi yang memang itu kita masih on process disitu,” ucap Yassierli di Kantor Kemnaker, Jakarta, Selasa (20/5/2025).

Sementara itu, Dwi Raihan dari Next Policy menilai bahwa pemerintah kembali berada di posisi sulit dalam menanggapi aspirasi para mitra ojol. Sebab, di luar tekanan dari kelompok pengemudi, platform sebagai entitas swasta tentu memiliki kepentingan bisnis dan struktur biaya tersendiri.

“Tapi itulah kenapa negara perlu hadir secara aktif sebagai penengah. Tak cukup hanya lewat regulasi, tapi juga lewat forum dialog yang melibatkan semua pihak dengan posisi yang setara,” kata Dwi.

Namun demikian, ada beberapa langkah konkret yang dapat ditempuh. Pertama, pemerintah sebaiknya menetapkan tarif minimum yang dievaluasi setiap tahun sesuai dengan inflasi, harga BBM, dan kebutuhan hidup layak di tiap wilayah. Kedua, potongan dari platform perlu diturunkan agar pengemudi bisa memperoleh porsi pendapatan yang lebih besar.

“Perusahaan kan tidak menanggung biaya operasional harian pengemudi. Maka wajar kalau potongannya tidak boleh terlalu besar,” tambahnya.

Selain itu, aspek jaminan sosial juga perlu menjadi prioritas. Meski sudah ada wacana agar pengemudi bisa mengakses program perlindungan seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, realisasinya masih jauh dari ideal. Banyak pengemudi belum terdaftar, dan sebagian besar membayar iuran sendiri.

“Negara dan perusahaan bisa berbagi beban di sini. Setidaknya biaya jaminan sosial bisa ditanggung bersama melalui skema subsidi silang dari biaya platform,” pungkas Dwi.

Baca juga artikel terkait OJEK ONLINE atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News Plus
Reporter: Qonita Azzahra & Nabila Ramadhanty
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Hendra Friana