Menuju konten utama
Analisis

Mengapa Publik (Terpaksa) Harus Menerima Paket Jokowi-Ma'ruf Amin?

Sentimen "Islam" memengaruhi pilihan Jokowi menggandeng Ma'ruf Amin.

Mengapa Publik (Terpaksa) Harus Menerima Paket Jokowi-Ma'ruf Amin?
Ilustrasi Indepth Pilpres 2019: Jokowi-Ma'ruf. tirto.id/Lugas

tirto.id - Kamis sore, 20 September 2018. Komisi Pemilihan Umum mengetuk palu: Pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin resmi berlaga melawan pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Laga pilpres akan digelar pada 17 April 2019. Walau kedua nama pasangan itu sudah diketahui sejak lebih dari satu bulan lalu, tapi masih ada yang bertanya-tanya: mengapa mereka?

Artikel analisis ini untuk menjawab pertanyaan tersebut. Artikel terbagi dua tulisan, masing-masing menjelaskan kedua kandidat capres-cawapres tersebut.

====

Mengapa Jokowi-Ma'ruf Amin?

Ada tiga hal yang bergegas dikerjakan Jokowi begitu memenangkan Pilpres 2014:

  1. Mengurangi pengaruh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terhadap Jokowi;
  2. Memotong pos-pos ekonomi/logistik yang mungkin bisa digunakan oleh lawan politik;
  3. Melipatgandakan pembangunan infrastruktur sebagai pencapaian kinerja yang monumental yang secara politik bisa menjadi modal pada 2019.
Langkah-langkah politik dalam dua tahun pertama pemerintahan Jokowi dipusatkan untuk menyelesaikan tiga proyek besar tersebut. Dan orang yang bertindak sebagai dirijen proyek ini adalah Luhut Binsar Panjaitan.

Luhut adalah jenderal lapangan dalam kampanye Pilpres Jokowi-Jusuf Kalla pada 2014. Pria 71 tahun ini adalah purnawirawan jenderal bintang empat (kehormatan) yang pernah menjadi menteri perindustrian dan perdagangan era Presiden Abdurrahman Wahid. Karier militernya lebih berkutat pada kesatuan pasukan khusus.

Luhut mengenal Jokowi pertama kali pada 2008. Dalam pengakuannya, ketika itu sebagai pengusaha pemegang hak penguasaan hutan, Luhut menilai perlu mendiversikan kayu produksi dalam bentuk olahan furnitur. Oleh salah seorang direkturnya, ia diperkenalkan dengan Jokowi, yang memiliki perusahaan mebel bernama PT Rakabu.

Jokowi saat itu adalah Wali Kota Solo. Dan tengah panen pujian—di antaranya disebut kepala daerah bersahaja yang tangkas membenahi kota. Singkat kata, Luhut dan Jokowi merasa cocok bekerjasama membentuk PT Rakabu Sejahtera. (Nama “Sejahtera” diambil dari grup bisnis yang dimiliki Luhut, Toba Sejahtera.) Sejak saat itu keduanya dekat.

Jokowi kemudian berhasil menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada 2012. Tahun 2014, Jokowi berniat maju sebagai capres, dan sudah mendapatkan tiket dari PDIP. Pada momentum inilah, Luhut membuat manuver politik. Ia menanggalkan posisinya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Golongan Karya (Golkar) untuk berpaling menjadi Tim Sukses Jokowi-JK. Itu membuatnya berseberangan dari pilihan Golkar yang mendukung Prabowo-Hatta.

Buah ‘pembelotan’ Luhut ternyata manis. Jokowi-Jusuf Kalla menang. Luhut pun segera mengambil peran strategis di pemerintahan. Ia penasihat politik, juru taktik, pelobi investasi, sekaligus pemadam kebakaran dari kasus-kasus pelik pemerintahanan Jokowi. Itu dilakukannya dalam posisi apa pun, entah sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Menkopolkam, atau hingga kini, Menko Kemaritiman. Tak heran, ia dijuluki superminister.

Kisruh KPK dan Ujian PDIP

13 Januari 2015. Baru tiga bulan menjabat presiden, Jokowi sudah mendapat cobaan berat. Bom itu datang dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka atas kepemilikan rekening jumbo.

Itu bukan tuduhan sepele. Budi adalah kandidat kuat Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dan dikenal dekat dengan Ketum PDIP, Megawati Sukarnoputri. Budi adalah mantan ajudan Mega saat putri Sukarno itu menjabat presiden (2001-2004).

Polri ketika itu menyerang balik. Polisi ganti menetapkan dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, sebagai tersangka. Samad dituding memalsukan dokumen kartu keluarga, sementara Bambang dituduh memalsukan keterangan persidangan Pilkada.

Budi Gunawan juga melawan. Ia mengajukan gugatan praperadilan dan berhasil memenangkannya berkat putusan kontroversial Hakim Sarpin Rizaldi. Namun ia tak bisa memenangkan semuanya. Targetnya untuk menjadi Kapolri gagal. Jokowi di tengah sorotan publik, di luar dugaan, berani mencoret namanya dan ganti mengajukan Badrodin Haiti sebagai satu-satunya calon Kapolri ke Dewan Perwakilan Rakyat. Publik mulai percaya, Jokowi tak melulu bertindak sebagai “petugas partai” PDIP (baca: Megawati).

Perseteruan KPK dan Polri berakhir setelah Luhut Panjaitan, saat itu Kepala Staf Kepresidenan dan kemudian Menkopolkam, turun tangan. Budi pada akhirnya tetap diakomodasi dengan ditempatkan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara dan dinaikkan pangkatnya menjadi jenderal penuh.

Memutar Suara Golkar

Pada Pilpres 2014, suara Golkar sudah jelas untuk Prabowo. Bahkan hampir 2 tahun setelah pilpres, Golkar masih setia pada “Koalisi Merah Putih”-nya kubu Prabowo. Padahal Jokowi membutuhkan kendaraan baru yang kekuatannya tak beda jauh dari PDIP. Momentum itu datang saat Golkar menggelar Munaslub pada Mei 2016.

Pada 17 Mei 2016, Setya Novanto terpilih menggantikan Aburizal Bakrie, dengan mengalahkan Ade Komaruddin. Terpilihnya Setnov dipengaruhi oleh dua tokoh senior Golkar yang turun gunung dan sama-sama berada dalam lingkaran Jokowi: Luhut Panjaitan dan Wapres Jusuf Kalla. Setelah itu, Bakrie yang terpaksa lengser tak lagi bisa membendung Golkar untuk berpindah haluan politik. Golkar resmi menyeberang ke Koalisi Jokowi. Kompensasinya, Golkar mendapatkan jatah menteri.

Misi mencari kekuatan politik penyeimbang pengaruh PDIP telah berhasil dilakukan Jokowi. Meski begitu, Jokowi tetap menjaga suasana batin PDIP. Hal ini bisa terlihat dari sikapnya yang tak pernah mengganti menteri-menteri dari PDIP, sekalipun Jokowi sudah melakukan empat kali reshuffle kabinet sampai tahun ini.

Tak hanya dengan PDIP, Jokowi juga harus berkompromi dengan kemauan partai-partai politik soal pembagian kekuasaan di DPR.

Pembubaran Petral

13 Mei 2015, tak sampai setahun berkantor di Istana Presiden, Jokowi membubarkan Petral? Mengapa Petral? Dalam rekaman suara yang didengarkan di DPR, bos Petral, Riza Chalid, mengaku menyokong pasangan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa sebesar Rp500 miliar.

Jorjoran Infrastruktur

Infrastruktur publik adalah nomenklatur politik yang terlupakan sejak Indonesia merdeka. Terlebih lagi pada masa-masa pemerintahan setelah era Reformasi 1998. Pemerintahan Soeharto membangun banyak sekolah tapi melupakan pembangunan transportasi publik dan energi.

Sementara setelah Orde Baru, tidak ada presiden yang cukup berani mengejar ketertinggalan dengan menempatkan anggaran infrastruktur sebagai salah satu prioritas. Tidak juga pemerintahan SBY yang sesungguhnya memiliki keunggulan berupa kestabilan politik. Di era SBY, ekonomi memang tumbuh, tapi SBY praktis hampir tak membangun apa-apa.

Akibatnya, pertumbuhan infrastruktur Indonesia terbilang mandek. Laporan Bank Dunia tahun 2007 menyebut kualitas infrastruktur Indonesia terus merosot sejak era krisis 1998. Daya saing Indonesia juga mengalami penurunan. Jika rating Indonesia lebih tinggi dari Cina, Thailand, Taiwan dan Srilanka pada 1996, menurut Global Competitiveness Report’s, hal itu terjadi sebaliknya pada 2002.

Tantangan ini yang dicoba dijawab oleh Jokowi. Pada tahun pertama anggaran yang dibuatnya, Jokowi langsung menaikkan porsi infrastruktur menjadi 14,64% dari APBN. Sebelumnya, SBY hanya mengalokasikan 9,48%. Sesuai data Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), porsi itu dinaikkan lagi menjadi 18,46% pada 2018.

Kekurangan pasokan energi coba ditebus dengan program pengadaan produksi listrik 35.000 MW. Kebutuhan irigasi coba ditebus dengan membuat 49 waduk baru. Jalan tol yang selama 40 tahun hanya mengkoleksi 780 km, dilipatgandakan 1.000 km dalam waktu 5 tahun. Segala dana diupayakan, walaupun negara terpaksa harus menambah utang.

Jokowi sadar, sebagai presiden yang tak mengendalikan partai terbesar di Indonesia, ia butuh capaian kinerja yang impresif sebagai ajang pembuktian kemampuan kepemimpinannya. Jokowi berniat membuat legacy.

Jalan tol sudah tentu akan melancarkan arus distribusi nasional dan, di sisi lain, memberi kenyamanan arus lalu lintas publik. Untuk tugas sepenting ini, Jokowi mempercayakan langsung kepada—(siapa lagi kalau bukan) — Luhut Panjaitan.

Lewat Perpres 10/2015, Jokowi membuat Luhut tak semata mengurusi laut dan sumber dayanya, tapi juga mengemban wewenang dalam pembangunan infrastruktur—baik jalan, pelabuhan, maupun energi.

Demo '212'

Salah satu yang diwarisi Indonesia sejak Pilpres 2014 adalah meruncingnya polarisasi warga melek politik. Pendukung Jokowi alergi kritik, sementara pemuja Prabowo seolah tuli terhadap suara yang berbeda. Kedua kelompok ini saling bersahutan di sosial media.

30 September 2016. Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Thahaja Purnama membuat blunder. Ia mengutip Surat Al-Maidah 51 dalam pidato di Kepulauan Seribu soal suksesi kepemimpinan. Situasi politik berubah cepat. Blunder itu cepat dimakan kelompok penentang Ahok menyusul beredarnya video sunting yang dipublikasikan oleh Buni Yani di platform video sharing YouTube.

Front Pembela Islam, yang dimotori Rizieq Shihab, menggalang aksi mendongkel Ahok atas tuduhan “penistaan agama”. Aksi ini mendapat sambutan massa hingga berhasil membuat demo besar-besaran pada 4 November 2016 (411) dan 2 Desember 2016 (212). Tujuan tak lagi sekadar menjungkalkan Ahok, tapi juga memenjarakannya.

Mobilisasi ini kemudian dibakukan dalam nama Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) dan kian terlegitimasi setelah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin menjatuhkan fatwa bahwa ucapan Ahok termasuk dalam kategori “penodaan agama”. Keriuhan ini dimanfaatkan oleh kubu oposisi yang mengusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai penantang Ahok-Djarot Saiful Hidayat dalam perebutan kursi gubernur DKI Jakarta tahun 2017.

Klop, Ahok yang didukung PDIP dan Jokowi pun kalah dalam pemilihan gubernur. Tak hanya itu, Ahok diputuskan bersalah dan mendapat hukuman dua tahun penjara atas dakwaan penodaan agama.

Walau kemudian, imbas dari kemenangan itu bagi kubu sebelahnya, Rizieq Shihab terpaksa "harus terasing" di Arab Saudi menyusul serangkaian kasus yang dituduhkan polisi kepadanya. Tapi alarm lebih besar bagi Jokowi: gerakan sentimen Islam yang kerap memposisikan diri anti-Jokowi telah mendapat angin dan terbukti ampuh di Jakarta.

Ancaman Resesi Global

Dalam periode tertentu, ekonomi dunia selalu bergolak. Guncangan ekonomi itu datang pada pertengahan 2018. Ulah Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menggelar perang dagang dengan Cina, membuat efek berantai yang menjadikan banyak mata uang negara-negara lain semaput, termasuk rupiah.

Rupiah sempat bertengger menembus angka Rp15.000 per dolar AS. Secara nominal ini angka yang besar, lebih besar dari episode kejatuhan nilai rupiah pada era krisis 1998. Upaya menahan laju jatuhnya rupiah, selain lewat regulasi, juga memaksa negara menguras cadangan devisa menjadi 118 miliar dolar AS —turun 5 miliar dolar AS dari posisi April 2018.

Kejatuhan rupiah sempat menjadi amunisi lawan untuk menembak kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi. Dari soal jumlah utang yang membengkak, hingga keran soal impor yang dinilai terlalu longgar. Namun, kritik ini mereda, seiring pulihnya keadaan pada awal September 2018.

Detik-Detik Pencapresan

Koalisi telah mengkristal. Sebagian besar peserta Pemilu 2014 berada di barisan pendukung Jokowi: PDIP, Golkar, Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara Partai Amanat Nasional (PAN) akhirnya memutuskan hengkang ke koalisi Prabowo pada hari-hari terakhir.

6 Agustus 2019. Perpacuan memburu posisi pendamping Jokowi kian keras. Sejumlah kiai Nahdlatul Ulama yang mendukung Muhaimin Iskandar mengultimatum Jokowi agar segera menetapkan ketua umum PKB itu sebagai cawapres. Sementara Golkar masih berharap Jokowi memilih Airlangga Hartarto.

Jokowi sendiri dari awal memang lebih sreg mencari pendamping sosok non-partai. Sejak akhir Juli, hanya ada tiga sosok dengan inisial depan "M" yang dikantongi Jokowi: Ma’ruf Amin, Mahfud MD, dan Moeldoko. Kalkulasinya adalah, jika dari kubu Prabowo tidak ada nama Anies Baswedan, cawapres boleh Mahfud MD atau Moeldoko. Jika Anies yang maju, cawapres harus Ma’ruf Amin.

Mengapa harus Ma’ruf? Penyebabnya, Anies berada dalam pusaran gerakan sentimen Islam yang tercipta dari statemen Ahok. Secara de jure, ia tokoh yang menumbangkan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Ma’ruf adalah tokoh dalam gerbong yang sama dengan Anies ketika itu. Selain itu, dipilihnya Ma’ruf, dalam kalkulasi politik, adalah obat mujarab untuk membentengi serangan kepada Jokowi yang kerap dituding anti-Islam. Secara politik, Ma’ruf adalah tokoh dengan value tertinggi.

8 Agustus 2018. Mahfud diberitahu salah satu orang dekat presiden bahwa Jokowi lebih suka dan akan memilih Mahfud, tapi dengan syarat Mahfud bisa mengamankan suara PKB dan NU dalam waktu 1 x 24 jam. Bagi Mahfud, itu persoalan besar. Walau jelas-jelas seorang Nahdliyin dan dulu pernah dekat dengan Gus Dur, Mahfud tidak ada dalam struktur kepengurusan PKB saat ini dan juga NU. Yang bisa dilakukan Mahfud adalah mencoba memengaruhi suara NU melalui opini rekan dan pendukungnya.

Tak heran, pada hari itu muncul statemen tokoh-tokoh yang mendukung Mahfud. Yenny Wahid, putri Gus Dur, menjamin Mahfud MD adalah “kader NU sejati.” Sore harinya, kiai kharismatik Mustofa Bisri (Gus Mus) juga memberikan tanda dukungan untuk Mahfud. Melalui akun Twitter-nya, Gus Mus menulis:

NU bukan partai politik dan secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik. Maka warga NU terutama yang menjadi pengurus NU tidak perlu ikut galau dan pusing menghadapi Tahun Politik.

Malam itu juga, Mahfud MD sebagaimana pengakuannya, dihubungi Istana untuk bersiap keesokan harinya.

9 Agustus 2018. H-1 dari tenggat yang ditetapkan KPU. Dari 3 M, Jokowi sudah bulat memilih Mahfud MD sebagai bakal wakilnya. Mahfud yang merasa di atas angin, telanjur mengumumkan ke publik bahwa Jokowi telah memilihnya. Ia bahkan sudah memesan penjahit kilat untuk membuat baju putih khas Jokowi yang akan dipakainya saat deklarasi nanti.

Padahal PKB ‘belum menyerah’ dan pihak yang menentang Mahfud justru bertambah. Golkar ikut-ikutan tak setuju. Tak jelas apa alasan yang dipakai Golkar.

(Soal alasan penolakan ini mungkin akan lebih jelas lewat penjelasan Ruhut Sitompul, seminggu kemudian. Ruhut—politikus yang pernah menjadi anggota Golkar, Demokrat dan kini PDIP—mengatakan Mahfud ditolak karena ada kekhawatiran parpol. Mahfud dinilai punya "syahwat politik sendiri" dan jika terpilih sebagai wapres, berpotensi menggalang kekuatan untuk maju dalam Pilpres 2024. Hal yang sudah tentu bakal menimbulkan masalah baru bagi parpol-parpol dalam kontestasi politik lima tahun ke depan.)

Sore hari, dalam pertemuan di Restoran Plataran, Menteng, PKB dan Golkar pun bermanuver. Muhaimin Iskandar—sadar dirinya ditolak—kembali menyodorkan nama Ma’ruf Amin. Muhaimin bahkan sempat mewacanakan pembentukan poros ketiga, di luar Poros Jokowi dan Prabowo, jika usulan mereka tak dipenuhi.

Saat bersamaan, koalisi Prabowo walau sudah disebut-sebut nama Sandiaga Uno, toh belum juga mengumumkan secara resmi siapa cawapres Prabowo. Artinya, sebelum KPU menutup pintu pendaftaran, nama paslon dari koalisi Prabowo bisa berubah, termasuk kemungkinan masuknya nama Anies Baswedan.

Kondisi dan tekanan semacam ini membuat Jokowi tak punya opsi lain. Ma’ruf Amin, tokoh dengan nilai politik tertinggi, yang akhirnya dipilih. Tiga jam kemudian, koalisi Prabowo menyusul mendeklarasikan nama Prabowo–Sandiaga.

10 Agustus 2018. Pasangan capres-cawapres Jokowi – Ma’ruf Amin didaftarkan ke KPU.

Infografik HL Indepth Politik 2019

Kesimpulan: Tak Ingin Seperti Ahok

Proses terbentuknya pasangan capres-cawapres Jokowi – Ma’ruf sesungguhnya tak terjadi secara instan. Dinamika politik dalam empat tahun terakhir memunculkan nama tersebut.

Dalam permainan bidak politik, Jokowi sesungguhnya menempati posisi unik. Ia bukanlah pengendali partai politik yang bisa menggerakkan mesin-mesin politik dan memaksakan pengaruhnya ke mana-mana. Jokowi bahkan bukan pengurus partai. PDIP, partai yang dinaungi, bahkan kerap kali memandangnya hanya sebagai "petugas partai".

Walau memiliki dukungan publik yang kuat, posisi ini tetap saja membuat Jokowi rentan terhadap serangan politik. Tak heran, selama ia berkuasa, bermacam-macam label pernah disematkan pembencinya. Dari “antek China”, “simpatisan komunis”, “anti-Islam”, hingga pendukung neoliberalisme.

Jokowi butuh pijakan politik lebih dari yang bisa ditawarkan oleh PDIP. Pijakan baru yang membuatnya lebih punya kuasa tawar. Golkar adalah jawabannya, menyusul beralihnya kursi Ketum Golkar dari Aburizal Bakrie ke Setya Novanto.

Situasi tampaknya ada dalam genggaman Jokowi sampai kemudian datang badai yang baru. Di pertengahan masa jabatan, Jokowi mendapat serangan politik dari lawan. Gerakan 212 berhasil membangkitkan sentimen Islam dan seperti memberi darah baru bagi kelompok oposisi Jokowi. Memang Gerakan 212 terkait tindakan Ahok, tapi dalam kacamata politik, Ahok hanyalah sasaran antara. Target kaum oposisi adalah Jokowi, seperti diungkapkan dalam laporan investigasi Allan Nairn yang dimuat di The Intercept dan diterjemahkan oleh Tirto.

Kala itu, laporan Nairn mendapat bermacam bantahan. Namun, saat ini, sebagian besar dari isi laporan itu menunjukkan pola yang sesuai. Sentimen agama coba terus dipelihara, dalam konteks melawan Jokowi. Sehingga, tak heran, kemudian ada gerakan susulan dari lawan Jokowi lewat kampanye tagar #2019gantipresiden.

Situasi baru ini memaksa Jokowi untuk lebih "memperhatikan" Islam. Usai Ahok dipenjara, ia mulai rajin beraudiensi dengan pengurus NU dan Muhammadiyah. Hasilnya, dua ormas ini berhasil "dijauhkan" dari aliansi 212. Demikian juga MUI. Ketua MUI Ma’ruf Amin ditemui berselang empat bulan setelah muncul Gerakan 212. Ma’ruf malah didapuk menjadi anggota Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, organisasi penasihat di bawah Presiden Jokowi.

Problem utama Jokowi adalah sentimen Islam yang kerap digaungkan penentangnya. Dalam konteks ini, nilai politik Ma’ruf menjadi yang paling tinggi dibandingkan yang lain. Menggandeng Ma’ruf akan membuat lawan kehilangan amunisi untuk menyerang Jokowi.

Dalam konteks Ma’ruf Amin, Jokowi tak membutuhkan rekan untuk berbagi beban pekerjaan, tapi ia membutuhkan rekan yang bisa menjaganya tetap fokus bekerja tanpa harus terkuras meladeni serangan-serangan politik pakai sentimen Islam.

Jokowi memang sempat tergoda untuk menggandeng Mahfud MD, sosok yang secara visi, sikap dan wawasan, ia anggap ideal baginya. Namun, kebutuhan terhadap realitas politik akhirnya yang menjadi dasar keputusan untuk menggandengkan tangan kepada Ma’ruf Amin.

Pilihan Jokowi itu bukan tanpa risiko. Ada massa Ahokers yang sangat mungkin akan kecewa dan akan berpaling dari Jokowi. Karenanya sikap penerimaan Ahok harus segera diwartakan. Dua hari setelah pendaftaran KPU, orang terdekat Jokowi, Luhut Panjaitan mengaku telah menerima surat dari Ahok berisi dukungan atas pencalonan Jokowi–Ma’ruf. Beragam sikap Ahokers menanggapi klaim dari koalisi Jokowi tersebut. Namun, sebagian tetap berjanji mendukung Jokowi.

Dan memang hasil survei terbaru yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia (LSI)–Denny JA, yang dirilis akhir Agustus 2018, tak memperlihatkan pengaruh signifikan dari kekecewaan Ahokers. Survei menunjukkan Jokowi-Ma’ruf memperoleh 52,2%—unggul jauh dari pasangan Prabowo-Sandiaga yang meraup 29,5%. Demikian juga survei Alvara: Jokowi-Ma’ruf 53,6%, Prabowo-Sandiaga 35,2%, [15]

Jokowi seperti telah menempuh separuh jalan kemenangan. Namun, sebagaimana pengalaman atas koleganya, Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama, apa pun masih bisa terjadi hingga hari-H nanti: April 2019.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Teguh Budi Santoso

tirto.id - Politik
Penulis: Teguh Budi Santoso
Editor: Fahri Salam