Menuju konten utama

Kiprah Ma'ruf Amin di MUI: Dibesarkan SBY, Dipakai Jokowi

Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai cawapres demi faktor dapat meredam serangan politisasi agama kelompok oposisi.

Kiprah Ma'ruf Amin di MUI: Dibesarkan SBY, Dipakai Jokowi
Pasangan capres cawapres 2019 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin menyapa wartawan setelah melakukan pemeriksaan awa tes kesehatan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Minggu (12/8/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Calon wakil presiden Ma’ruf Amin berjanji akan meneruskan Nawa Cita: program pemerintahan Jokowi yang memuat perlindungan dan memberikan rasa aman warga, menguatkan kebhinnekaan, hingga menciptakan ruang dialog.

"Tentu saya membantu presiden untuk mewujudkan Indonesia yang aman, damai, dan sejahtera. Tentu beliau, kan, punya Nawa Cita," kata dia di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta Pusat. Ucapan itu disampaikan Ma'ruf usai Jokowi dan Koalisi Indonesia Kerja mendeklarasikan pencalonan presiden di Restoran Plataran Menteng, Jakarta Pusat.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menilai keputusan Jokowi menggandeng Ma’ruf bertolak belakang dari slogan kebhinnekaan. Menurutnya, Ma'ruf sewaktu menjabat Ketua Fatwa dan Ketua Majelis Ulama Indonesia justru punya pandangan konservatif terhadap kelompok minoritas.

“Kalau dari pernyataannya selama ini saya tidak melihat ada perspektif HAM dari beliau. Kalau melihat fatwa-fatwa yang dia keluarkan, [perspektif HAM] itu tidak tergambar,” ujar Asfinawati kepada Tirto.

Ma’ruf Amin memang dibuntuti bayang-bayang anti-hak asasi manusia. MUI, organisasi semi-pemerintah bentukan Soeharto pada 1975, mengeluarkan beberapa fatwa yang merepresentasikan kelompok muslim Sunni dan menjadi otoritas tunggal dalam menafsirkan kelompok mana yang dinilai sesat dan bukan.

Pada 28 Juli 2005, organisasi Ma’ruf menerbitkan fatwa sesat terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah. Fatwa ini menguatkan fatwa Munas MUI Kedua tahun 1980 yang menyatakan Ahmadiyah adalah "aliran di luar Islam."

Fatwa terbaru MUI bersikap lebih keras: menyatakan Ahmadiyah adalah "sesat dan menyesatkan," "orang Islam yang mengikutinya adalah murtad," dan mendesak pemerintah Indonesia “… melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.”

Fatwa itu disambut sejumlah ormas Islam, di antaranya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, Forum Umat Islam, Front Pembela Islam, dan Majelis Mujahidin Indonesia.

Fatwa itu mengubah nasib Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Laporan Human Rights Watch bertajuk "Atas Nama Agama" (2013) menyebut fatwa MUI memicu organisasi-organisasi militan Islam melakukan persekusi terhadap para pengikut Ahmadiyah, dari Bogor hingga Lombok. Rumah muslim Ahmadiyah dirusak, masjidnya dihancurkan, pemeluknya menjadi target kekerasan dan diusir dari tempat tinggal.

Asfinawati menanggapi langkah MUI memang berhak mengeluarkan fatwa, tetapi fatwa pada 2005 "telah melampaui wewenang pendapat keagamaan."

"Tahun 1980-an ada pandangan terhadap Ahmdiyah yang sangat berbeda, tapi tidak bisa meminta negara untuk mengeksekusi, menutup rumah-rumah ibadah. Itu sudah di luar kepantasan," jelasnya.

Dibesarkan oleh SBY: SKB Anti-Ahmadiyah

Musyawarah Nasional MUI Ketujuh pada Juli 2005, yang mengeluarkan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah, dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sembilan bulan sebelumnya, SBY baru saja terpilih sebagai presiden. Di depan peserta musyawarah, SBY mengatakan:

"Kami membuka pintu hati, pikiran kami untuk setiap saat menerima pandangan, rekomendasi dan fatwa dari MUI maupun dari para Ulama, baik langsung kepada saya, kepada Saudara Menteri Agama, atau kepada jajaran pemerintah yang lain. Kami ingin meletakkan MUI untuk berperan secara sentral yang menyangkut akidah ke-Islaman, dengan demikian akan jelas bedanya mana-mana yang itu merupakan atau wilayah pemerintahan kenegaraan, dan mana-mana yang pemerintah atau negara sepatutnya mendengarkan fatwa dari MUI dan para Ulama."

Dalam laporan International Crisis Group, lembaga nirlaba yang fokus pada konflik sektarian berbasis di Brussels, berjudul "Implikasi SKB tentang Ahmadiyah" (Juli 2008), SBY mungkin tak menyadari bahwa saat itu "MUI telah menjadi lembaga yang sangat konservatif." Kongres MUI itu juga mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme agama. (Kelak tri-isme ini disingkat oleh kelompok konservatif sebagai 'Sipilis'.)

Pada 2007, SBY mengangkat Ma'ruf Amin sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden untuk bidang urusan agama. Posisi itu terus diemban Ma'ruf sampai akhir periode SBY pada 2014.

Wantimpres mendapatkan ujian konstitusional ketika ada desakan organisasi Ahmadiyah dibubarkan, dorongan puncak dari fatwa MUI 2005. Menurut Adnan Buyung Nasution, pengacara hak asasi manusia yang juga anggota Wantimpres urusan hukum, desakan itu menganjurkan pemerintahan SBY untuk mengeluarkan surat keputusan tiga menteri (SKB)—menteri agama, menteri dalam negeri, dan jaksa agung—berisi pembubaran Ahmadiyah. Buyung berusaha mendekati dan meyakinkan SBY agar jangan mengeluarkan SKB anti-Ahmadiyah.

"Ini mesti disetop, tidak boleh terjadi larangan Ahmadiyah. Jika ini terjadi, kita telah ikut cara-cara seperti di Pakistan: melarang satu keyakinan agama.’ Karena kita, kan, negara berbhinneka, semua agama harus dihormati,” ujar Buyung.

Suara Wantimpres terbelah. Ma’ruf, yang juga Ketua MUI, menginginkan Ahmadiyah dilarang sama sekali. Buyung menentangnya. Pada akhir Mei 2008, sebuah iklan satu halaman penuh terbit di beberapa surat kabar di Jakarta yang intinya menegaskan "Indonesia adalah negara yang menjamin tiap warga bebas beragama ... [sebuah] hak asasi manusia yang dijamin Konstitusi."

Iklan layanan masyarakat itu juga menyerukan agar "pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas hukum untuk tidak takut kepada tekanan yang membahayakan ke-indonesia-an."

Seruan itu dibuat oleh individu pro-demokrasi, termasuk Abdurrahman Wahid, yang menamakan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Aliansi ini menyerukan pada 1 Juni, persis ketika peringatan hari lahir Pancasila, agar masyarakat yang peduli kebhinnekaan untuk menghadiri apel akbar kebangsaan di Monumen Nasional.

Namun, apel itu berubah jadi peristiwa berdarah. Milisi berbendera Islam, termasuk FPI, membubarkan apel tersebut dengan kekerasan. Aksi kekerasan inilah yang akan mengantarkan Rizieq Shihab ke penjara.

Di Istana, kekuatan lemah untuk membendung suara konservatif kalah: SKB anti-Ahmadiyah tetap diteken pada 9 Juni 2008. Isinya, memberi peringatan dan memerintahkan kepada muslim Ahmadiyah untuk menghentikan “penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam.” Bagi pelanggar SKB akan dihukum maksimal lima tahun penjara.

Gambaran dampak SKB tersebut: pada 2006 hanya ada tiga kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah. Namun, setelah keluar SKB, jumlahnya meningkat menjadi 286 kasus selama kurun 2007 hingga Agustus 2010, menurut Setara Institute, organisasi nirlaba pemantau hak asasi manusia berbasis di Jakarta.

Laporan "Implikasi SKB tentang Ahmadiyah" menyebut peran Ma'ruf Amin sebagai Ketua MUI sekaligus anggota Wantimpres mengamplifikasi kebencian dan tindak kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah. Ketika diwawancara di Jakarta pada 24 Juni 2008, Ma’ruf mengatakan ia menyarankan anggota Ahmadiyah membentuk agama baru, melarang menyebut diri sebagai muslim; melarang menyebut tempat ibadahnya sebagai masjid; melarang menunaikan rukun Islam karena karena hal itu "memfitnah Islam”.

Dampak dari fatwa MUI dan SKB itu selain menciptakan kantong pengungsi muslim Ahmadiyah di Wisma Transito, Lombok, sejak 2006, juga mendorong kekerasan mematikan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Cikeusik, Banten, Februari 2011. Peristiwa yang disebut terakhir itu menyebabkan tiga muslim Ahmadiyah tewas.

Infografik HL Indepth Post Islamisme

Kartu Agama Dipakai Jokowi

Juru bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia Yendra Budiana mengungkapkan dampak SKB itu masih terasa, betapapun pemerintahan sudah berganti dari SBY ke Jokowi. Ahmadiyah masih “menjadi korban kekerasan dan harus mengungsi,” ujarnya kepada Tirto.

Yati Andriyani, koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menyebut pilihan koalisi kubu Jokowi menggandeng Ma’ruf Amin mengabaikan rekam jejak sang kiai sepuh NU atas pendapatnya terhadap hak asasi manusia.

“Jokowi kelihatan sekali merasa tidak secure terhadap kelompok oposisi yang mempolitisasi isu agama,” kata Yati kepada Tirto, Kamis pekan lalu.

Sebaliknya, penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia masih jadi pekerjaan besar dari program Nawa Cita Jokowi, menurut Yati.

“Dari sosok Pak Ma’ruf Amin, kami belum melihat secara langsung sepak terjangnya terkait agenda-agenda HAM. Ini politik pragmatis yang seringkali tidak mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan rakyat yang sesungguhnya,” terangnya.

Di sisi lain, kubu pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno juga sulit diharapkan untuk pemenuhan isu hukum dan hak asasi manusia.

“Dua-duanya bertujuan untuk bagaimana memenangkan pemilu saja, bukan untuk agenda hukum dan HAM,” tegasnya.

Yati yang mewakili KontraS, sebagai bagian dari gerakan advokasi HAM masyarakat sipil pasca-Soeharto, menilai kedua kandidat Pilpres 2019 itu terjebak dengan permainan politiknya sendiri, memakai agama untuk kepentingan politik. Nyaris mustahil menggantungkan ruang keadilan bagi kelompok minoritas dan marjinal kepada mereka, menurut Yati.

Pada deklarasi pencalonan presiden di Restoran Plataran Menteng, Jakarta Pusat, Kamis petang pekan lalu, Jokowi memilih Ma'ruf Amin dengan alasan merupakan "sosok tokoh agama yang bijaksana."

"Beliau duduk di legislatif sebagai anggota DPRD, DPR RI, MPR RI, Wantimpres, Rais Aam PBNU, dan Ketua Majelis Ulama Indonesia. Dalam kaitannya dengan kebhinnekaan, Prof. Dr. Kiai Haji Ma'ruf Amin juga menjabat Dewan Pengarah Badan Pengembangan Ideologi Pancasila," kata Jokowi. "Menurut saya, kami saling melengkapi: nasionalis-religius."

Menanggapi pemilihan Ma'ruf Amin, Jubir Jemaat Ahmadiyah Indonesia Yendra Budiana mengatakan bahwa ia tetap menitipkan harapan kepada Jokowi. Ia berharap ke depan Indonesia berubah, “Indonesia yang lebih baik, jauh dari sikap saling curiga dan perpecahan.”

Betapapun JAI termasuk kelompok minoritas agama yang paling sering jadi target kekerasan selama 15 tahun terakhir, Yendra menyebut bahwa organisasinya tetap menaruh hormat kepada Ma’ruf Amin. Yendra berdoa agar Ma’ruf meredam pihak-pihak yang memainkan isu agama untuk meraih kekuasaan dengan melanggengkan kekerasan.

"Saya pikir kami membutuhkan organisasi seperti NU dan Muhammadiyah, sebab keduanya cukup banyak sejarah merawat ke-indonesia-an,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Politik
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam