tirto.id - "Ma'ruf Amin itu Milenial juga, dan Milenial itu bukan masalah umur [tapi] masalah perbuatan, sikap. Jadi itu bagian dari kombinasi antara nasionalis-religius," ujar Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang di Restoran Plataran, Jakarta, Kamis malam pekan lalu, usai kubu Koalisi Indonesia Kerja mendeklarasikan Joko Widodo - Ma'ruf Amin.
Ma'aruf Amin, kiai sepuh Nahdlatul Ulama, sudah berusia 75 tahun pada 11 Maret 2018. Sekalipun ia disebut Milenial karena perbuatan dan sikap, mengapa status Milenial menjadi begitu penting disematkan?
Memasuki tahun politik, klaim Milenial atau generasi Milenial makin sering muncul dalam narasi kampanye politik.
Ketika berkampanye sebagai bakal cawapres mendampingi Jokowi, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dilabeli partainya sebagai sosok Milenial dan religius. Padahal, Muhaimin lahir tahun 1966.
Sama halnya dengan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy. Partainya menyebut pria kelahiran 1974 ini sebagai sosok yang tidak hanya dari kalangan santri, tetapi juga Milenial.
Partai Solidaritas Indonesia yang kali pertama ikut pemilihan presiden mengklaim sebagai "partainya anak muda," meski pilihan politiknya mendukung Jokowi telah menopang status quo.
Agus Harimurti Yudhoyono, yang disiapkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai penerus tahta politik keluarga Cikeas, dalam situsweb resmi Partai Demokrat sering mengunggah pemberitaan mengenai kedekatannya dengan generasi Milenial. Barisan pendukung AHY untuk maju Pilpres 2019, sebelum kandas oleh Sandiaga Uno, bernama Relawan Cakra AHY, yang diklaim berisi kalangan Milenial. Akun Instagram AHY (2,6 juta pengikut) kerap mencitrakan diri sebagai pemuda profesional, mengenakan kemeja slim fit, suka berolahraga, hingga bernyanyi.
Anis Matta, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, yang kalah bertarung dalam konflik internal partai dengan kubu Sohibul Iman, disebut-sebut Fahri Hamzah sebagai sosok yang akan banyak dipilih oleh generasi Milenial.
Pendeknya, para politikus dari parpol pendukung masing-masing capres dan cawapres ini enggan kalah melabeli diri dan kubunya sebagai Milenial atau paling dekat dengan Milenial.
"Tentu saja Pak Jokowi sendiri, kan, dari gayanya, kepemimpinannya, menampilkan aspek-aspek gaya kepemimpinan yang sangat diapresiasi oleh kaum Milenial," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. "Kreatif ... kan, sesuai nature kelompok Millenial."
Presiden PKS Sohibul Iman mengomentari Sandiaga Uno sebagai cawapres yang "walaupun berpenampilan stylish, Milenial" tetapi "berpegang teguh ajaran Islam." Ia menambahkan, "Insyaallah, Sandiaga adalah santri di abad Milenial."
Siapa Paling Milenial?
Romahurmuziy berumur 43 tahun, Muhaimin Iskandar 51 tahun, AHY berumur 40 tahun, Anis Matta 49 tahun, Jokowi 57 tahun, Prabowo 66 tahun, Sandiaga 49 tahun, dan Ma’ruf 75 tahun.
Mungkin mereka sepakat dengan pameo lawas "hidup dimulai di usia 40 tahun"—kali ini dengan tambahan: "tapi dalam politik, kami semua Milenial."
Pew Research Center menandai tahun 1981 sebagai awal kelahiran generasi Milenial dan 1996 sebagai tahun akhir (umur 22 sampai 37 pada 2018). Istilah yang semula lahir untuk tujuan riset pasar ini kemudian sering dipakai dalam banyak pembicaraan tahun-tahun belakangan. Sebelum kemunculan generasi Milenial, masyarakat AS mengenal generasi X (kini berusia 38-53 tahun), generasi Boomers (54-72 tahun), dan generasi Bisu (73-90 tahun).
Pada Februari 2018, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro menyebut jumlah penduduk Milenial di Indonesia sekarang sudah mencapai sekitar 90 juta jiwa.
Survei Alvara Research 2016 mematok rentang usia lebih luas bagi generasi Milenial, yakni antara 15 sampai 34 tahun. Pada 2016, proporsi penduduk usia ini mencapai 34,45 persen dari total populasi warga Indonesia. Di DKI Jakarta, bahkan proporsi Milenial mencapai lebih dari 40 persen. Secara umum, termasuk di Indonesia, generasi Milenial besar pada era teknologi komunikasi dan informasi.
Ella S. Prihatini, kandidat doktor University of Western Australia, pada akhir 2017 melakukan penelitian terhadap perilaku Milenial Indonesia yang tengah memasuki tahun politik 2018-2019.
Hasilnya, dalam artikel berjudul "Mapping the 'political preferences' of Indonesia’s youth" yang terbit di The Conversation, kebanyakan generasi Milenial yang kesadarannya tumbuh di era Reformasi ini sangat terbuka terhadap nilai-nilai kesetaraan gender, independen secara politik, serta berani mengambil pilihan ideologi politik yang berbeda dari lingkungan keluarga mereka.
"Generasi ini tumbuh dalam lingkungan ... yang lebih terbuka, dengan sedikit ingatan tentang rezim Orde Lama dan Orde Baru. Mereka mengakses Internet untuk memperoleh informasi dan secara aktif mencari perubahan," tulis Ella.
Pada Pemilu 2019, suara generasi Milenial diperkirakan cukup tinggi. Survei Saiful Mujani Research & Consulting pada Desember 2017 menyatakan Milenial (17-34 tahun) membentuk persentase 34,4 persen dari total populasi masyarakat Indonesia. Sementara rilis survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada November 2017 menunjukkan konsumsi media sosial generasi Milenial Indonesia (17-29 tahun) memengaruhi preferensi politik terhadap sosok presiden.
Sosiolog dari Universitas Nasional Sigit Rochadi mengategorikan generasi Milenial sebagai pengguna internet, khususnya media sosial. Para politikus paham akan hal ini, sehingga tak heran, klaim-klaim sembrono tentang Milenial kerap direproduksi sebagai bahan kampanye di media sosial demi pemenangan elektoral.
"Klaim mereka sering hanya untuk kekuasaan, jika semua capres disebut Milenial, tentu tujuannya untuk meraih suara generasi muda, mendekatkan diri dengan generasi muda dan supaya disebut kekinian dan menjanjikan perubahan." ujar Sigit kepada Tirto.
Proyeksi Generasi Tua
Tak berlebihan jika rujukan Milenial dalam ucapan politikus Indonesia sekadar gimmick. Namun, gaya-gayaan itu bukannya tanpa efek. Masalahnya, membeli dukungan kaum muda selalu punya dampak yang tak main-main di Indonesia. Yang paling keras terkena dampak itu tak lain adalah anak muda sendiri.
Dalam Activist Archives: Youth Culture and the Political Past in Indonesia (2016), Doren Lee menyebut tindakan pemerintahan Orde Baru menciptakan depolitisi masyarakat menuai hasil sukses, membunuh semangat pemuda untuk berpartisipasi dalam politik nasional.
Contoh gamblang: Komite Nasional Pemuda Indonesia dan Pemuda Pancasila, yang meski berlabel "pemuda" tapi tak diketuai oleh pemuda. Keduanya adalah organisasi paramiliter yang bekerja untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan Orde Baru. Pemuda, dalam istilah kunci politik Indonesia, adalah kelompok sosial yang "belum dewasa" sekaligus "sudah tidak anak-anak".
Di sisi lain, predikat yang kerap dilekatkan pada pemuda, misalnya pendobrak dan pembaharu, justru dikurung dalam label yang sempit nan elitis: mahasiswa. Status mahasiswa notabene hanya mewakili sekian persen dari jumlah populasi usia muda di Indonesia.
Singkatnya, pemuda di bawah Orde Baru dikerdilkan peran publiknya, sementara peran historisnya diromantisasi sejauh cocok dengan narasi militer dan ideologi pembangunanisme Orde Baru.
Apa pun itu, di luar kampanye Pilpres 2019, tantangan kehidupan sehari-hari yang dihadapi Milenial sudah sangat berat.
Generasi Milenial, termasuk di Indonesia, kesulitan membeli rumah karena harga tanah yang semakin mahal di perkotaan. Walhasil, untuk memiliki rumah, angkatan kerja Milenial cenderung dibantu secara finansial oleh orangtua. Di sisi lain, sistem pasar kerja fleksibel turut menjadi faktor penyebab Milenial terus berpindah-pindah pekerjaan dan berupah pas-pasan, khususnya di sektor perburuhan.
Pertanyaannya, setelah mengobral citra diri sebagai (kolega) "Milenial", bisakah para politikus pemenang 2019 kelak membantu memecahkan cicilan KPR dan rekening kaum Milenial yang sudah kosong di tengah bulan?
Editor: Windu Jusuf