Menuju konten utama

Sandiaga disebut "Santri Post-Islamisme" oleh PKS: Jualan Belaka?

Post-Islamisme menyorongkan sikap “tengah-tengah”: menolak sekularisme maupun negara berbasis syariat Islam formal.

Sandiaga disebut
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) didampingi Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno ( kanan) berpegangan tangan bersama seusai memberikan keterangan pers di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Jakarta, Kamis (9/8) malam. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Sandiaga Uno hampir selalu tersenyum sejak Jumat pagi, 10 Agustus. Penyebabnya tentu karena ia resmi jadi calon wakil presiden Prabowo Subianto. Kariernya melesat dalam durasi cukup singkat, mengingat baru tahun lalu ia dilantik sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Ia mendapat pujian dari para elite partai pendukung, termasuk dari Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman. Sebagaimana dilaporkan sejumlah media, Sohibul melihat Sandi sebagai "orang modern yang telah mengalami proses Islamisasi." Sandiaga disematkan Sohibul sebagai "santri di era post-Islamisme".

Apa itu post-Islamisme?

Pengajar sosiologi di Universitas Negeri Yogyakarta Amika Wardhana menjelaskan permulaan post-Islamisme bisa dilacak dari generasi kelompok Islamis lama. Mereka, kata Amika, ingin menerapkan simbol-simbol hingga aturan sesuai syariat Islam di sebuah negara modern.

Jalan yang ditempuh kelompok Islamis bisa dibagi menjadi dua. Ada yang mengangkat senjata seperti kelompok ISIS. Ada juga yang menjauhi ekstremisme seperti kelompok Islamis di Pakistan atau negara-negara mayoritas muslim. Masyumi dan partai-partai penerusnya berada di golongan kedua, yakni ikut berkontestasi dalam platform demokrasi Indonesia.

“Sayangnya kelompok Islamis ini mengalami kegagalan. Banyak yang kalah di pertarungan politik. Keturunan-keturunan yang mengusung visi yang sama juga bernasib sama. Beberapa bahkan ada yang memilih opsi kekerasan,” kata Amika kepada Tirto.

Lulusan doktoral University of Essex di Inggris ini menjelaskan penyebabnya dengan mengutip ahli sosiologi politik keturunan Iran Asef Bayat, yang kali pertama kali menelurkan istilah “post-Islamisme” melalui esai di Middle East Critique pada tahun 1996.

Bayat menerangkan kelompok Islamis dulu pernah berkonsolidasi dengan solid hingga tingkat akar rumput, lalu memenangkan kursi kekuasaan. Namun, saat sudah berada di puncak, mereka melupakan tugas utama sebuah negara: mendorong kesejahteraan rakyat.

“Termasuk memberikan fasilitas umum dan lain sebagainya. Jadi bukan cuma menegakkan aturan-aturan dan simbol-simbol Islam secara formal. Tapi ada urusan sosial, ekonomi, hukum, dan bidang-bidang lain,” jelas Amika.

Kelompok Islamis di Iran, sebagaimana juga di negara-negara mayoritas muslin lain, kemudian sadar dan mengubah diri. Mereka melunak atas dasar realitas masyarakat era kekinian.

Mereka tidak lagi mengencangkan kampanye Islamisasi dalam bungkus formal, melainkan fokus mempromosikan isu-isu yang lebih sekuler. Dengan demikian, bahasa yang dipakai pun bersifat lebih umum. Beberapa di antaranya yang paling populer adalah “hak asasi manusia”, “keadilan sosial”, dan “pemerataan ekonomi”.

Kompromi, kata Amika, adalah ciri utama dari post-Islamisme itu sendiri. “Fenomena ini sudah terjadi sejak lama, khususnya mulai tahun 2014. Apakah akan membuat partai Islam melupakan agenda “syariatisasi” negara? Itu pertanyaan besarnya.”

Bayat mempublikasikan analisisnya bertajuk The Post-Islamist Revolutions di majalah Foreign Affairs pada 26 April 2011. Fokus utamanya adalah Musim Semi Arab yang berlangsung sejak 2010 dan mengguncang negara-negara di Tengah hingga Afrika (Utara).

Ia berpendapat bahwa Musim Semi Arab tergolong sebagai revolusi post-Islamis. Bayat melihat kenyataan bahwa faksi-faksi penggeraknya bukan cuma golongan Islamis. Mayoritas justru diisi oleh generasi muslim muda yang merindukan negara yang demokratis dan sejahtera.

Mereka bukan generasi Islamis lawas yang membentuk wajah Timur Tengah pada era 1980-an hingga 1990-an, yang dipicu oleh Revolusi Islam di Iran (1979). Revolusi ini merupakan titik balik sejarah yang membuat banyak orang mabuk dengan ide mendirikan sebuah negara berdasarkan aturan Islam.

“Untuk kaum Islamis, negara dipandang institusi yang paling kuat dan efisien untuk menyebarkan “yang baik” dan menghapus 'yang jahat'. Pada akhirnya, Islamis memandang warga sebagai subjek yang wajib patuh, sementara sedikit perhatian yang diberikan untuk hak-hak sipil,” tulis Bayat.

Awalnya tidak ada yang protes. Lama-kelamaan suara dari bawah bermunculan, seiring perkembangan pesat urbanisasi yang memunculkan berbagai persoalan riil, terutama terkait kebutuhan pokok. Sayangnya, ekonomi negara yang bersangkutan tidak kuat untuk menanggulangi persoalan-persoalan tersebut.

Di sisi lain, mutu pendidikan kaum muda makin meningkat. Mereka menikmati pendidikan tinggi, membaca literatur tentang sekularisme, demokrasi, kesejahteraan ekonomi, hingga keadilan sosial. Perkembangan teknologi membuat komunikasi yang terjalin makin intens, termasuk membuka ruang untuk menebalkan kritik terhadap rezim.

Pemerintah semula bersikap santai. Situasinya berubah pada 2010 atau era media sosial dijadikan anak-anak muda di Timur Tengah untuk berkonsolidasi serta menciptakan gelombang demonstrasi besar-besaran. Mereka menuntut agar rezim otoriter harus tumbang, dan sistem yang lebih demokratis ditegakkan.

Bayat menegaskan post-Islamisme bukan sikap menyerahkan diri sepenuhnya kepada sekularisme, tapi bukan juga sepakat pada bentuk negara yang didasarkan pada aturan Islam formal. Agama tetap dihormati, tetapi hak-hak warga negara juga jadi prioritas.

Bayat mencontohkan gerakan Post-Islamis yang berkembang selama reformasi Iran pada pertengahan 1990-an. Di Indonesia diwakili dengan muncul dan berkembangnya Partai Keadilan Sejahtera. Di Mesir ada Hizb al-Wasat. Di Maroko ada Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD), sedangkan di Turki ada Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).

“Masing-masing awalnya fundamentalis. Seiring waktu, datang kritik ke kaum Islamis atas dasar pelanggaran hak demokratis dan penggunaan agama sebagai alat untuk mengultuskan kekuasaan politik. Mereka semua akhirnya memilih bekerja di dalam negara yang demokratis.”

Cendekiawan Islam liberal Ulil Abshar-Abdalla menanggapi tulisan Bayat dengan mengingatkan bahwa sekulerisme ala Barat awalnya dipandang sebagai doktrin yang memusuhi agama. Hasilnya, banyak kelompok Islamis yang memajang sikap anti terhadap sekulerisme.

Dalam analisis yang dipublikasikan di kanal IslamLib pada November 2011, Ulil mengutip pandangan Alfred Stepan, pakar ilmu politik dari Universitas Columbia, yang menciptakan istilah "toleransi kembar". Artinya merujuk pada sekulerisme gaya baru yang netral, atau bahkan memberi sokongan adil kepada semua agama.

Post-Islamisme, menurut Ulil, mengawinkan Islam dan demokrasi. Pandangan para ahli Barat yang mengatakan bahwa Islam tak mampu selaras dengan demokrasi pun gugur. Ia cuma khawatir jika post-Islamisme ditunggangi oleh para elite politik yang bermanuver atas dorongan oportunistik. Pendek kata, pragmatis belaka.

Infografik HL Indepth Post Islamisme

Tetap Islami dan Gaul

Amika turut menengarai jika pragmatisme telah mendasari sematan status “santri di era post-Islamisme” untuk Sandiaga. Bagaimanapun juga, katanya, Sandiaga adalah generasi yang merasakan perkembangan kaum Islamis yang berupaya “melunak” pada era 1980-an dan 1990-an.

“Ia juga lebih mudah diterima karena punya modal finansial, kan,” tambahnya.

Amika menyinggung pembahasan post-Islamisme dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (2015) karya Ariel Heryanto. Ariel Heryanto menyinggung kesalehan masyarakat Indonesia di era pasca-reformasi meningkat pesat, ditandai dengan makin maraknya simbol keagamaan di ruang publik.

Melalui buku tersebut, Heryanto menawarkan sejumlah pandangan baru. Alih-alih mengikuti narasi Islam versus komodifikasi atau komersialisasi, misalnya, ia menilai bahwa di dunia post-Islamis, Islam dan komodifikasi atau komersialisasi bergandengan mesra.

Sifat kompromis dalam dunia post-Islamis turut memfasilitasi kegamangan generasi Milenial dan generasi yang lebih muda. Mereka tetap bisa menikmati modernitas dan budaya pop Barat, tetapi tidak menanggalkan identitas keislamannya, termasuk simbol-simbol yang mereka pakai di ruang publik.

Generasi Milenial menjadi pembahasan yang penting bagi Amika. Pasalnya, Milenial menjadi salah satu rombongan pemilih terbesar pada Pilpres 2019. Otomatis dukungan mereka akan menjadi rebutan bagi pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun Prabowo-Sandiaga.

“Mereka unik. Tidak sefanatis-religius orangtuanya, tapi terkena efek populisme Islam yang mempengaruhi pilihan politiknya. Sandiaga yang akan berusaha menggaet, sementara di kubu seberang itu tugas Jokowi. Ma'ruf Amin dan Prabowo, kan, untuk pemilih yang lebih tua,” jelasnya.

Sekali lagi, mengingat kini Indonesia sudah memasuki era post-Islamis, Amika mengingatkan agar isi kampanyenya harus tepat. Tumpuan utamanya tetap pada ide Islam yang terbuka, fleksibel, dan lebih adaptif dengan dunia modern.

Islam yang akan menarik di mata anak-anak generasi Milenial, kata Amika yang mengutip Ariel Heryanto, adalah “Islam yang tetap membuat mereka bisa menikmati K-Pop.”

“Jangan terlalu banyak anti-anti, biar tidak terlihat menakutkan,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf