tirto.id - National Security Archive baru saja merilis dokumen korespondensi antara Kedubes Amerika Serikat di Jakarta dengan State Department di Washington DC sepanjang 1997-1998. Kebanyakan berupa email dan telegram yang berisi laporan seputar krisis moneter yang menghantam Indonesia dan masa tegang menjelang suksesi Presiden Soeharto.
Dokumen-dokumen yang dirilis bertepatan dengan 20 tahun reformasi ini memberikan banyak detail informasi tentang hubungan AS-Indonesia dalam masa krisis. Termasuk bagaimana pandangan-pandangan AS terkait keterlibatan ABRI dalam penculikan dan hilangnya para aktivis prodemokrasi dan masalah kekerasan terhadap etnis Tionghoa.
Kebanyakan dokumen itu dibuat oleh J. Stapleton Roy, Duta Besar AS untuk Indonesia 1996-1999. Duta Besar Roy menulis laporan soal politik, ekonomi, dan situasi sosial di Indonesia berdasarkan berita koran lokal, agen kedutaan, dan komentarnya sendiri. Dubes Roy juga mengamati dengan seksama jalannya kerusuhan besar di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia.
Dokumen-dokumen itu juga mencakup transkrip pembicaraan antara Presiden AS Bill Clinton dengan Presiden Soeharto, Asisten Menteri Luar Negeri AS Stanley Roth dengan Letnan Jenderal Prabowo Subianto, atau pembicaraan dengan sejumlah tokoh seperti Habibie, aktivis Sri Bintang Pamungkas, Dorodjatun Kuntjoro Jakti, hingga Rudini.
Jalan Baru Islam Politik
Salah satu poin menarik yang terkuak dari dokumen korespondensi ini adalah indikasi awal akan menguatnya kekuatan Islam politik pasca-Orde Baru. Naiknya Habibie menggantikan Soeharto menjadi pembuka jalannya.
Habibie menggantikan posisi Soeharto dengan dukungan politik minimal. Golkar, “partainya” sendiri, dan parlemen meragukannya. Tetapi perlahan, menurut analisis dubes Roy, ia akan segera mendapat dukungan dari kelompok Islam. Soal ini dapat dibaca dalam Telegram 002841 tertanggal 21/5/1998 yang dibuat usai pengunduran diri Soeharto.
K.H. Abdurrahman Wahid, pemimpin NU, juga memberi dukungan kepada pemerintahan Presiden Habibie, dengan catatan bahwa itu hanyalah pemerintahan transisi. Megawati Sukarnoputri berpendapat lain. Hingga pergantian hari tak ada pernyataan darinya. Tetapi ia dikabarkan mewanti-wanti anak buahnya bahwa kemungkinan Habibie akan menggunakan “kartu Islam”-nya untuk meraih dukungan politik.
Sementara itu tokoh oposisi Orde Baru paling vokal, Amien Rais, menyatakan akan mendukung Habibie dan membantunya menyusun kabinet baru. Amien bersedia bekerja dengan Habibie dalam upaya untuk menempatkan lebih banyak pengaruh Islam dalam pemerintahan. Meskipun ia sendiri tetap berkukuh menyatakan diri sebagai oposisi.
Sementara itu, di luar pagar istana, opini massa mahasiswa terbelah soal naiknya Habibie. Sebagian dari mereka akan tetap melakukan demonstrasi untuk menekan pemerintah. Namun jumlahnya tak akan sebesar dan sesolid kala mereka hendak menjatuhkan Soeharto. Sebagian dari kelompok mahasiswa ini, yang dekat kaitannya dengan ICMI, memilih untuk mendukung dan membiarkan Habibie bekerja.
Beberapa kalangan mahasiswa punya pemikiran sama dengan Megawati. Dubes Roy menulis dalam telegramnya, “Habibie sejak lama dipandang oleh banyak kelompok mahasiswa sebagai representasi Islam politik, yang membikin khawatir kelompok mahasiswa Kristen, Nasionalis, dan Nahdlatul Ulama (Muslim tradisionalis). Mahasiswa sendiri terbelah antara kelompok Islam politik vs. Nasionalis/Kristen. Sementara kaum muslim tradisionalis Nahdlatul Ulama mengambil jarak dan mengamati bagaimana reformasi akan berjalan.”
Telegram Dubes Roy juga mencatat laporan staf bidang politik (Political Officer/Poloff) terkait pembicaraannya dengan informannya, salah satu aktivis HAM terkemuka. Si informan menyatakan bahwa pemerintahan Habibie menyimpan dua masalah. Pertama, kemungkinan besar ABRI-lah yang sebenarnya memegang peran dalam pemerintahannya. Dan Kedua, selama Habibie berkuasa, salah satu agendanya bisa jadi adalah meningkatkan pengaruh Islam dalam politik.
Indikasi ini, misalnya, terlihat dalam kedekatan Habibie dengan Sekjen ICMI Adi Sasono dan Amien Rais yang mendukungnya. Adi Sasono, menurut sumber Dubes Roy, akan mendapatkan posisi dalam kabinet Habibie sebagai Menteri Koperasi.
Namun, bukan Habibie atau Amien Rais saja yang terlihat berusaha membangunkan kekuatan Islam politik. Dalam dokumen NSA lain juga terkuak bahwa ada beberapa pemimpin demonstran dari kelompok Islam mungkin akan mengambil kesempatan dari situasi terbelahnya dukungan mahasiswa untuk meningkatkan kekuatan mereka sendiri.
Dokumen NSA itu menengarai Habibie mencoba menjalin hubungan dengan “kelompok fundamentalis” Islam. Tidak terlalu jelas siapa yang dimaksud kelompok fundamentalis itu. Yang terang bahwa kelompok fundamentalis itu juga termasuk dalam demonstran-demonstran yang menjatuhkan Soeharto.
Pada dasarnya kehadiran kelompok-kelompok Islam dalam demonstrasi menjatuhkan Soeharto adalah minoritas dan tak begitu dominan. Namun, dokumen tersebut meyakini bahwa itu adalah strategi dan mereka sedang menunggu kesempatan. Kelompok ini akan membiarkan pemerintahan yang baru bekerja. Jika pemerintah tak mampu melaksanakan tuntutan reformasi dan ekspektasi massa mahasiswa, barulah mereka akan bergerak.
Dipercaya bahwa kelompok-kelompok Islam fundamental sedang mengamati para pemimpin mahasiswa. Kelompok ini berkampanye untuk mengajak elemen mahasiswa Muslim bergabung dengan mereka dan mengeliminasi pemimpin mahasiswa yang tak sejalan dengan aspirasinya. Namun, analisis ini sangat spekulatif sifatnya dan tak jelas datang dari mana.
Nama lain yang muncul dalam telegram Dubes Roy, berdasar informasi salah seorang pembantu Megawati, adalah Letnan Jenderal Prabowo Subianto.
“Ajudan (Megawati) itu meyakini bahwa menantu Soeharto Jenderal Prabowo sekarang berusaha untuk mengorganisasi dukungan orang-orang Islam dan ia juga menyatakan kekhawatirannya bahwa Habibie akan mulai memanfaatkan khalayak Islam.”
Isu yang coba diembuskan terutama tentang "hak" masyarakat Islam, sebagai mayoritas, atas sebagian kekayaan nasional. Dubes Roy mensinyalir inilah awal dari mengemukanya politik agama di Indonesia.
Menyitir informannya, Roy menulis, “Kita akan melihat munculnya gerakan Islam ultra-kanan di Indonesia.”
Dan, agaknya itulah yang terjadi dewasa ini.
Editor: Ivan Aulia Ahsan