tirto.id - Jack Teixeira tidak bakal menyangka bakal ditangkap polisi saat sedang bersantai di rumah pada awal April kemarin. Tak mungkin terbersit pula di kepala pemuda berusia 21 tahun ini bahwa tindakannya membuat canggung relasi diplomatik Amerika Serikat dan negara-negara sekutu.
Kelak, dia disalahkan atas pelanggaran Undang-Undang Spionase dengan potensi hukuman penjara maksimal 15 tahun.
Bagaimana ceritanya?
Staf harian operasi pertahanan siber di unit militer cadangan Garda Nasional Udara negara bagian Massachusetts ini sebenarnya sekadar mau pamer ke teman-temannya di Discord, platform daring populer bagi pencinta gim daring. Dalam klub kecil yang dibentuk tahun 2020 berisi 20-an orang tersebut, Teixeira ingin menunjukkan bahwa dirinyalah yang paling tahu dan familier dengan ragam aktivitas pemerintah AS di luar negeri. Selain itu, dan ini yang terpenting, dia ingin membuktikan kemampuan dalam mengakses dokumen rahasia Pentagon.
Setidaknya itulah yang bisa disimpulkan dari pengakuan teman-teman Teixeira dalam liputan mendalam oleh Washington Postbaru-baru ini.
Dunia virtual Discord menjadi arena hiburan sekaligus pelarian bagi grup Teixeira di tengah rasa frustrasi akibat isolasi selama pandemi Covid-19. Dalam chatroom yang hanya bisa diikuti lewat undangan dari Texeira itu, mereka dipersatukan oleh minat terhadap dunia persenjataan, pernak-pernik perlengkapan militer, sampai topik tentang Tuhan.
Di sanalah Teixeira berusaha menyelipkan bahasan tentang politik internasional dan operasi rahasia Pentagon. Tujuannya? Sesederhana agar teman-temannya tidak ketinggalan berita dan senantiasa terlindungi dari karut-marut dunia di luar kamar tidur mereka.
Teixeira sempat diacuhkan oleh anggota grup karena mereka lebih tertarik membahas taktik bermain gim. Namun, sejak akhir tahun lalu, ia mencoba menarik perhatian dengan mengunggah langsung foto-foto dokumen rahasia yang dicetaknya sendiri.
Seperti bisa diduga, kontennya dibocorkan oleh anggota grup ke platform lain.
Kebocoran dokumen tersebut pertama diungkit awal bulan ini di New York Times. Mereka mewartakan temuan Pentagon tentang informasi sensitif seputar aktivitas militer AS dan NATO di Ukraina pada aplikasi percakapan Telegram dan media sosial Twitter. Sementara investigasi oleh Bellingcatmengungkap dokumen yang sama sudah lebih dulu menyebar di situs berbagi gambar 4chan.
Sepintas, huru-hara yang dibuat Teixeira terdengar spontan, berantakan, dengan motif cenderung sepele—jauh dari narasi heroik yang mengiringi pembocoran dokumen satu dekade silam oleh mantan konsultan National Security Agency, Edward Snowden (hati nuraninya tidak bisa membiarkan pemerintah AS “menghancurkan privasi, kemerdekaan internet, dan kebebasan sipil masyarakat dunia”) atau mantan tentara Chelsea Manning (merasa punya tanggung jawab publik untuk mengungkap aksi kekerasan dan jatuhnya korban jiwa warga sipil dalam berbagai operasi militer AS di Irak dan Afganistan).
Berbeda dari dokumen Snowden atau Manning yang sudah berusia beberapa tahun sebelum dibocorkan, unggahan Teixeira tergolong masih segar dan faktual. Topik-topiknya sejalan dengan pemberitaan tajuk utama media di penjuru dunia hari-hari ini dan terdengar familier di telinga orang-orang awam sekalipun.
Isu Politik Luar Negeri AS Terkini
Topik paling disorot oleh Washington Post, yang berhasil meninjau sampai 300 lembar dokumen rahasia, adalah seputar hasil investigasi intelijen AS terkait invasi Rusia di Ukraina dan rival terbesar AS, Cina. Misalnya, pandangan pesimistis Pentagon tentang kekuatan militer Ukraina dan peluang tipis negosiasi damai tahun ini. Selain itu, temuan tentang “pemberian bantuan mematikan” dari otoritas Cina untuk Rusia (berita ini bergegas ditepis oleh Menlu Cina).
Ada pula pembahasan tentang balon mata-mata milik Cina yang sempat melayang-layang di kawasan strategis AS pada awal tahun ini, berikut perkembangan rudal canggih Cina yang berpeluang menembus pertahanan rudal balistik AS.
Politico juga mengulas dokumen tentang keterlibatan NATO, sekutu-sekutu AS di Eropa, dalam konflik Ukraina. Meskipun otoritas AS dan NATO mengklaim tidak mau terlibat perang secara langsung, mereka diduga menerjunkan langsung pasukan khusus ke sana—di antaranya 50 personel dari Inggris dan 14 dari AS. Bahkan masih ada sampai 100 personel AS di Ukraina. Akan tetapi, Washington mengklaim, personel mereka tidak terlibat dalam konflik melainkan aktif di kedutaan saja.
Dokumen “rahasia top” CIA lainnya menjabarkan dugaan AS bahwa Hungaria diam-diam membiarkan para sekutu AS mentransfer senjata via langit mereka ke medan perang di Ukraina—keduanya berbagi secuil perbatasan. Hal ini menarik karena sebelumnya Hungaria bersikeras tidak akan mengizinkan hal tersebut sembari aktif membunyikan narasi pro-Rusia. Pada waktu sama, Perdana Menteri Hungaria Viktor Orbán vokal menyerukan retorika anti-AS, mendemonisasi mereka sebagai “satu dari tiga musuh utama” partainya.
Dokumen lain menyinggung tentang Turki, mediator konflik Ukraina-Rusia. Turki disebut ketahuan membantu Rusia dan sekutunya, Belarusia, agar terhindar dari sanksi ekonomi oleh Eropa dan AS. Perusahaan-perusahaan Turki terindikasi membeli produk-produk Belarusia lalu menjualnya di pasar Eropa, kemudian menjual kembali produk dari Eropa ke Rusia.
Selain itu, Turki didapati sempat berinteraksi dengan Wagner Group, perusahaan militer swasta penyokong Kremlin. Keduanya membahas transaksi senjata dan perlengkapan militer untuk menyokong kepentingan Rusia di Mali dan Ukraina.
Dokumen lain menyinggung tekanan yang diberikan Washington terhadap sekutu-sekutu non-Eropa, meliputi Israel, Mesir, dan Korea Selatan. Ketiga negara tersebut selama ini rutin menerima bantuan keuangan bernilai besar dari AS. Maka dari itu, lumrah apabila Washington berharap mereka bersedia menurut pada kebijakan luar negerinya, termasuk menyokong Ukraina dengan bantuan material.
Di sisi lain, masing-masing negara punya alasan spesifik untuk condong bersikap netral dalam konflik Ukraina-Rusia. Dalam kasus Mesir, mereka selama ini bergantung pada gandum produksi Rusia. Tanpanya, harga komoditas pangan dalam negeri bisa naik dan berpotensi memperkeruh lanskap sosio-politik yang kian sering bergejolak setelah Arab Spring.
Dalam rangka menjaga hubungan tetap baik, Mesir pun hendak mengekspor 40 ribu unit roket untuk Rusia. Namun rencana tersebut batal setelah campur tangan Washington. Bantuan Mesir dikabarkan akan dialihkan untuk Ukraina.
Posisi sulit juga dihadapi oleh Israel. Sekutu terkuat AS di Asia Tengah ini sangat tergantung pada Rusia untuk menghadapi militan sokongan Iran di negeri tetangga Suriah. Israel pun punya hubungan spesial dengan orang-orang Rusia keturunan Yahudi yang bermigrasi ke sana. penting dicatat, kalangan kaya raya Rusia-Yahudi ini jugalah yang ikut berperan menyokong kekuasaan Presiden Vladimir Putin.
Pada akhirnya, Israel melunak setelah ditekan Washington. Mereka dikabarkan akan mempertimbangkan memberi bantuan untuk Ukraina.
Korea Selatan, sekutu penting AS lainnya di Asia-Pasifik, juga enggan menyokong Ukraina karena merasa punya ancaman lebih besar dan lebih dekat: Korea Utara. Dasarnya, Korsel memang punya kebijakan melarang suplai senjata untuk negara mana pun yang berperang. Kendati demikian, Washington terus-menerus memberi tekanan, bahkan mematai-matai obrolan para pejabat Seoul. Pada akhirnya, Korsel dikabarkan akan mempertimbangkan untuk memberi amunisi kepada Polandia—yang diasumsikan akan diteruskan pada Ukraina.
Rahasia yang Tidak Terlalu Rahasia?
Dari sekian banyak dokumen yang dibocorkan Teixeira, seberapa besar nilai atau “harga” rahasia itu semua? Jika diamati ulang, berbagai temuan di atas sebenarnya tidak mengejutkan. Sudah jadi rahasia umum betapa pemerintah AS sangat menikmati perannya sebagai polisi dunia. Intimidasi atau pengintaian terhadap pemerintah asing juga bukan temuan yang mengherankan pengamat politik.
Washington Post, dalam satu artikel, bahkan menyebut dokumen-dokumen “rahasia” tersebut sebenarnya “sudah lama dimengerti tapi tidak pernah diumumkan dengan tepat kepada publik.” Kalimat tersebut terutama merujuk pada aktivitas intelijen AS yang menyusup dalam militer Rusia sehingga mereka bisa memberi peringatan lebih awal pada Ukraina.
Dalam konteks relasi luar negeri AS, dokumen yang dibocorkan Teixeira dinilai tidak terlalu destruktif. Pandangan ini disampaikan oleh mantan Chief of Staff ROK/US, Letjen In-Bum Chun. Dikutip dari CSMonitor, menurutnya konten-konten bocoran Teixeira tentang Korsel punya “nilai intel sangat kecil.” Diskusi di kalangan pejabat Korsel tentang senjata untuk zona perang bahkan dipandang rahasia terbuka.
Jikalau ada masalah yang timbul dari pembocoran ini, hal itu berkaitan dengan potensi ikut terkuaknya data dan identitas pribadi informan atau narasumber lokal yang sudah menyuplai informasi-informasi intelijen tersebut kepada Pentagon. Kemampuan pemerintah AS melindungi data narasumber justru bisa dipertanyakan, bahkan mungkin membuat informan enggan bekerja sama lagi dengan intelijen AS, tutur James Davis, profesor politik internasional di University of St. Gallen, Swiss.
Meskipun insiden Teixeira sudah menimbulkan kecanggungan dalam dunia diplomasi AS, bukan berarti pertukaran informasi intelijen antara AS dan para sekutunya akan dihentikan begitu saja. Masih dilansir dari CSMonitor, praktik tersebut terbukti penting dan dibutuhkan untuk saling mendukung terutama pada masa-masa kritis belakangan ini. Sebagai contoh, intelijen Jerman tidak terpikir sama sekali tentang invasi Rusia ke Ukraina pada Februari tahun 2022 silam jika bukan karena laporan AS. Di masa lalu, rencana serangan oleh sel-sel teroris di Jerman juga dapat diidentifikasi berkat bantuan intelijen AS.
Di balik pandangan tentang kecilnya potensi bahaya pembocoran dokumen Teixeira, insiden tersebut tetap saja awalnya dibingkai dengan mengerikan. Menurut Pentagon, risikonya terhadap keamanan nasional “sangat serius”, sementara staf-staf lain menyebutnya “pengkhianatan besar” yang membuat mereka merasa “mual”.
Peter Maass dalam artikel di The Intercept menyebutkan, pemerintah AS memang suka melebih-lebihkan potensi bahaya dari pembocoran dokumen rahasia mereka. Perilaku demikian bisa dilacak sejak terbongkarnya Pentagon Papers pada 1971 silam, ketika media arus utama Amerika berperan mengungkap pembohongan sistematik soal Perang Vietnam. Ketika itu administrasi Presiden Richard M. Nixon berkoar bahwa pembocoran Pentagon Papers dapat mengancam keamanan nasional. Pengadilan AS akhirnya berpihak pada media massa. Mereka memutuskan pers berhak memublikasikan dokumen tersebut sebagai wujud dukungan terhadap transparansi informasi publik.
Maass juga menyoroti bagaimana kasus-kasus pembocoran di masa lalu oleh Snowden dan Manning “diperlakukan oleh pemerintah seperti bencana yang mengancam jiwa manusia.” Setelah ditinjau kembali, tulis Maass, informasi yang mereka bocorkan (di antaranya: aktivitas pemerintah mematai-matai warga secara tidak konstitusional, operasi militer AS di Timteng yang menewaskan warga sipil dan jurnalis) tidak menimbulkan dampak sebagaimana retorika yang ditakutkan Washington, apalagi sampai menelan korban jiwa.
Editor: Rio Apinino