tirto.id - “Soeharto jatuh terlalu cepat. Jika dia bertahan lebih lama, kami mungkin bisa mendapat infrastruktur demokrasi yang lebih baik [...] kini kami tinggal dengan kekuatan oposisi yang kacau. Dan kecewa. Saya kira kekecewaan selalu muncul setelah semua revolusi.”
Kalimat itu meluncur dari mulut Goenawan Mohamad, mantan pemimpin redaksi majalah Tempo, pada 20 Juni 1998, tepat satu bulan setelah Soeharto lengser. Saat itu ia tengah diwawancarai Janet Steele, guru besar kajian media George Washington University, yang melakukan penelitian tentang Tempo. Empat tahun sebelumnya, majalah yang dipimpin Goenawan diberedel pemerintah dan baru bisa terbit kembali setelah Soeharto lengser.
Apa yang dirasakan Goenawan memang jamak terjadi di masa transisi. Setelah ancien régime berhasil digulingkan dan pemerintahan baru terbentuk, para penguasa anyar masih tertatih-tatih mengonsolidasikan kekuatan. Represi rezim lama begitu melumpuhkan sumber daya mereka. Di masa konsolidasi yang genting, pelbagai kemungkinan datangnya kembali anasir-anasir rezim lama juga terbuka lebar.
Dalam keadaan macam itu, kata-kata Goenawan yang berasal dari diktum lama sejarah peradaban memang relevan: tiap revolusi menyisakan kekecewaannya sendiri.
Bahkan hingga kini, dua puluh tahun setelah Orde Baru tumbang dan kebebasan politik dinikmati banyak orang, kekecewaan serupa masih tersisa di mana-mana. Di bak-bak truk, di kaos-kaos, di meme-meme yang tersebar di jagat maya, potret seorang lelaki tua melambaikan tangan yang bertuliskan “Enak zamanku, tho?” menjadi pertanda paling subtil dari kekecewaan zaman ini.
Survei terbaru Indo Barometer yang dilakukan pada 15-22 April 2018 menghasilkan angka 32,9% untuk Soeharto—lelaki tua yang melambaikan tangan itu—sebagai presiden terbaik yang pernah memerintah Indonesia. Angka ini menempati urutan pertama. Di belakangnya, berderet presiden lain dengan selisih yang jauh. Setelah dua dasawarsa, lelaki tua itu bahkan masih membayangi kehidupan sehari-hari.
Bila dibandingkan dengan dua puluh tahun pertama kekuasaan Orde Baru (1966-1986), dua puluh tahun “Orde Reformasi”—jika bisa dikatakan demikian—masih belum menemukan formula ideal tentang bagaimana sebuah sistem kekuasaan dibangun.
Di masa dua puluh tahun pertamanya, Soeharto mampu mengonsolidasikan kekuasaan secara hampir sempurna. Ia berhasil membangun sistem yang mapan untuk menopang kekuasaannya. Terlepas dari betapa koruptif dan rapuh fondasi ekonomi yang dibentuk Orde Baru, rezim ini berhasil menjalankan program-program politik dan ekonominya dengan teratur.
Kaum pro-reformasi boleh saja berdalih bahwa selama masa itu tidak ada suksesi kekuasaan sehingga program-program pemerintah yang gagal di masa sebelumnya bisa dilanjutkan di era berikutnya.
"Wajar dia [Soeharto] membangun lebih banyak jembatan, lebih banyak bendungan. Modal waktunya panjang. Dia lebih punya banyak waktu untuk menyelesaikan masalah," kata politikus PDIP Budiman Sudjatmiko kemarin (20/5/2018). Budiman pernah dijebloskan ke penjara oleh Orde Baru pada 1996 lewat pasal subversi.
Tapi, dalih kaum pro-reformasi itu kehilangan relevansi jika melihat betapa gagal para politikus produk era reformasi menambal lubang-lubang yang ditinggalkan Orde Baru. Bahkan, dalam beberapa hal, mereka turut memperbesarnya. Korupsi tetap merajalela, oligarki politik semakin kuat, dan perselingkuhan penguasa-pengusaha kian lazim di mana-mana.
Dengan keadaan seperti itulah kekecewaan-kekecewaan terhadap era reformasi lahir dan orang-orang menoleh ke zaman lalu.
Indonesia memang punya riwayat panjang soal kekecewaan macam itu, yang terus-menerus berulang sepanjang zaman.
Tatkala balatentara Jepang menduduki Hindia Belanda dan menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa yang terlalu lama dijajah orang-orang Eropa ini, banyak yang optimis dan menaruh harapan pada Dai Nippon. Tapi, tak lama sesudahnya, wajah asli Jepang kian terlihat: mereka sama saja, bahkan lebih kejam dari Belanda.
Saat itulah orang-orang mulai merindukan kembali era yang kerap disebut “zaman normal”—sebuah masa penuh kemakmuran sejak akhir dekade 1910-an hingga pengujung 1920-an. Di periode ini, perekonomian Hindia Belanda dalam kondisi terbaiknya sebelum dihantam krisis malaise pada 1929.
Bahkan, di masa Revolusi, hanya beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, kerinduan pada zaman normal masih terasa di beberapa kalangan. Mereka tetap mengharapkan ketertiban dan kemakmuran ala zaman kolonial.
Berlanjut di masa sesudahnya, pola tersebut tetap berulang. Saat Sukarno mulai menunjukkan kediktatoran dalam sistem Demokrasi Terpimpin pada 1960-an, orang-orang merindukan zaman sebelumnya. Mereka merujuk periode demokrasi parlementer (1950-1959) yang dianggap lebih bebas, ketika orang-orang tak perlu merasa takut untuk bersuara kritis terhadap kekuasaan.
Dengan pola yang kurang lebih serupa, pada awal 1990-an, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) memanfaatkan simbol-simbol Sukarno dalam kampanye. Ini sangat efektif bagi mereka yang rindu presiden pertama Indonesia itu—sebuah “enak zamanku, tho?” versi lain. Dengan kampanye itu, PDI berhasil mendongkrak perolehan suara pada Pemilu 1992.
Maka demikianlah, kekecewaan hari ini sebenarnya merupakan pola yang telah terbentuk dari era sebelumnya dan sebelumnya dan sebelumnya lagi. Meski tiap zaman punya zeitgeist-nya sendiri, ada yang selalu berulang di dalamnya.
Dua puluh tahun reformasi boleh saja menerbitkan pesimisme dan kekecewaan. Tapi, jangan lupakan bahwa ia membuka kebebasan berpikir dan berpendapat yang sangat penting artinya bagi kehidupan politik hari ini. Kita, misalnya, tak perlu takut lagi untuk berkata pemerintah brengsek atau tentara sangat korup atau pemilu penuh kecurangan.
Jangan lupakan pula di zaman yang paling pesimistis sekalipun, orang-orang, kita semua, tetap bisa bersandar pada senjata terakhir yang kita punya: harapan. Kita tidak bersandar pada angin. Kita tidak bersandar pada mungkin.
=========
Artikel ini rangkaian dari laporan dapur redaksi Tirto mengenai 20 tahun reformasi. Kami menyiapkan sejumlah pembahasan lewat Kronik Reformasi, beberapa artikel lepas yang menyoroti beberapa peristiwa penting pada Mei 1998 lewat Mozaik, serta peristiwa politik yang menyulut huru-hara di tahun-tahun terakhir kekuasaan Orde Baru lewat laporan Indepth. Kami juga mengajak Anda terlibat dalam peristiwa besar tersebut yang akhirnya mendorong Soeharto mundur lewat Tirto Visual Report.
Editor: Zen RS