Menuju konten utama

Mengenal Perilaku Tak Setia Milenial

Berbagai survei tentang perilaku para milenial di seluruh dunia menunjukkan benang merah yang kuat terhadap karakter mereka yang dinamis. Di dunia kerja, kaum milenial cenderung haus dengan pengembangan diri, sehingga rentan berpindah kerja dari perusahaan atau organisasi lainnya bila merasa tak diberi kesempatan. Inilah tantangan bagi perusahaan untuk mengelola pekerja milenial mereka.

Mengenal Perilaku Tak Setia Milenial
Pelamar kerja memasukkan berkas lamaran kerja di salah satu stand di "Job Fair Gorontalo 2015" di lapangan Taruna Remaja, kota Gorontalo, provinsi Gorontalo, Rabu (28/10). [antara foto/adiwinata solihin/pd/15]

tirto.id - Di Indonesia, ada istilah “kutu loncat” yang disematkan bagi mereka yang doyan pindah-pindah kerja. Pekerja kutu loncat ini dianggap negatif karena dicap sebagai sosok yang tak loyal terhadap perusahaan atau organisasi. Namun, pindah kerja bagi seseorang bisa menjadi kesempatan lebih besar untuk menapaki karier dan kepemimpinan yang lebih tinggi. Karakter inilah yang dimiliki oleh kaum milenial.

Kelompok milenial dituding senang pindah-pindah kerja. Mereka lebih memilih meninggalkan pekerjaannya bila mimpi mereka kerap dipandang remeh oleh sang bos atau yang lebih senior. Streotipe ini ada benarnya. Dalam sebuah survei, The Deloitte Millennial Survey 2016, terungkap, kaum milenial punya rencana segera angkat kaki dari perusahaan atau organisasinya dari saat ini untuk beberapa tahun ke depan.

Proyeksi ini bukan main-main, ada 7.692 kaum milenial dari 29 negara yang di survei termasuk 300 orang dari Indonesia. Mereka adalah yang lahir setelah 1982 dengan pendidikan setingkat perguruan tinggi di negara maju dan berkembang. Periode survei dalam rentang September-Oktober 2015. Survei ini mencoba memetakan soal nilai-nilai dan ambisi, kepuasan terhadap pekerjaan, dan keinginan bisa hadir dalam tim manajemen mereka di level yang lebih tinggi. Hasil survei ini bisa memberikan gambaran bahwa ada potensi ancaman gelombang resign dari pekerja dari generasi milenial, bila tak ditangani.

Ancaman Resign

Bila diberikan sebuah pilihan resign atau tetap bekerja di tempat saat ini, selama setahun ke depan, kaum milenial ternyata memilih ancang-ancang resign atau keluar dari pekerjaannya untuk mencari tempat dan hal baru. Sebanyak satu dari empat milenial atau 25 persen memilih opsi ini. Bila rentangnya diperluas hingga ancang-ancang dua tahun ke depan, jumlah milenial yang ingin resign meningkat menjadi 40 persen.

Jumlahnya makin besar lagi yang akan resign bila rentang waktunya rencana mereka hingga 2020 yang mencapai dua dari setiap tiga milenial atau 2/3 sekitar 66 persen milenial berencana pindah kerja. Sementara itu sisanya 27 berpikir tetap kerja di tempat saat ini, sebanyak 7 persen belum bersikap.

Yang menarik, dari 66 persen kaum milenial yang berencana resign, yang terbanyak mereka yang punya rencana resign 2-5 tahun ke depan yang mengambil porsi 22 persen. Sebanyak 19 persen segera ingin pindah dalam 1-2 tahun dari sekarang, 12 persen dari mereka bahkan ingin buru-buru pindah dalam 6 bulan sampai 1 tahun, sisanya 13 persen ingin resign kurang dari 6 bulan dari periode survei.

Survei ini semacam alarm bagi para pemilik perusahaan terutama di negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris yang pasar tenaga kerjanya didominasi kaum milenial. Media pewresearch.org mencatat mendominasi tenaga kerja dari kaum milenial (usia 18-34 tahun) di AS pada 2015 mencapai 75,4 juta orang, mengalahkan kaum generasi baby boomer (usia 51-69 tahun) yang hanya 74,9 juta orang. Pada 2028 jumlah pekerja milenial akan lebih dominan di AS.

Dalam survei ini, kedua negara masuk 14 besar dengan loyalitas milenial terendah. Namun, survei ini juga menunjukkan bahwa kaum milenial dari negara-negara berkembang paling banyak yang tidak loyal. Peru menempati posisi teratas, untuk lima tahun ke depan, sebanyak 82 persen milenial berencana pindah kerja, disusul Afrika Selatan 76 persen. Sementara itu, Indonesia di peringkat 14 dengan yang jumlah yang berpandangan ingin resign sebanyak 62 persen.

“Sebanyak (rata-rata) 63 persen milenial beranggapan kemampuan kepemimpinan mereka tidak sepenuhnya dikembangkan di perusahaan mereka,” jelas survei tersebut.

Dari mereka yang akan resign dalam dua tahun ke depan, sebanyak 71 persen menganggap persoalan tak adanya kesempatan dalam pengembangan kepemimpinan di tempat kerja saat ini menjadi alasan utama untuk keluar.

Gambaran ini menjadi poin terpenting dari survei ini, artinya bagi perusahaan di mana pun siap-siap ada “gelombang resign” bagi yang tak memberikan kesempatan dalam pengembangan kepemimpinan kaum milenial dalam dua tahun ke depan. Hal ini diperkuat dari 57 persen yang mengaku akan resign dua tahun ke depan, karena merasa terbaikan untuk posisi kepemimpinan yang potensial di tempat kerjanya.

Masih Ada Kesempatan

Studi lain dari ManpowerGroup memperkuat hasil survei The Deloitte. ManpowerGroup pernah melakukan riset mendalam tentang stigma terhadap para milenial. Riset kuantitatif dilakukan di 25 negara yang menyertakan 19.000 milenial, termasuk di antaranya 8.000 rekan kerja Manpower Group dan lebih dari 1.500 manajer. Peserta riset ini berusia dari 20-34 tahun.

Dalam riset ini terungkap sebanyak 93 persen milenial melihat bekerja sebagai proses pengembangan diri. Mereka menganggap pengembangan kemampuan diri sebagai investasi penting dalam karier mereka. Kaum milenial bersedia membayar mahal dan memberikan waktu luang lebih banyak untuk menguasai kemampuan baru. Hanya 7 persen dari milenial dalam survei ini yang menolak pelatihan sebagai pengembangan diri.

Kaum milenial yang dinamis ingin selalu merangsek ke depan. Mereka butuh kesempatan, bila itu diberikan maka mereka pun menjadi kaum yang loyal. Menurut Chief Executive Officer (CEO) Deloitte Global Punit Renjen, keinginan para pekerja milenial dalam pencarian potensi kemampuan kepemimpinan mereka, dengan mengorbankan “zona nyaman” hingga pindah kerja ke tempat lain menjadi sebuah fenomena baru.

“Tentunya begitu mudah untuk keluar dari perusahaan dan menemukan pekerjaan baru daripada mencari pekerjaan baru di perusahaan kita sendiri,” tulis businessinsider.co.id.

Media Wall Street Journal merekomendasikan agar ada program mentoring antara kaum pekerja senior dengan yang junior dari kalangan milenial. Selain itu ada gagasan upaya menggeser posisi pekerjaan dari pekerja lintas generasi agar ada pengalaman dan keahlian baru. Namun, tak semua pihak mencoba “memanjakan” kenyataan tabiat kaum milenial dalam hal kesempatan kepemimpinan di perusahaan mereka. US News & World Report menyarankan kaum milenial pro aktif dalam berpartisipasi pada sebuah proyek agar bisa “dilirik” manajemen perusahaan, tanpa harus menunggu uluran tangan sang atasan.

Memahami kaum milenial merupakan hal penting karena mereka akan menguasai pasar tenaga kerja di masa depan. Jika perusahaan tidak mampu memahami perilaku generasi Milenial dengan baik, bukan tidak mungkin mereka akan mudah kehilangan bakat-bakat terbaiknya. Sebuah kerugian bagi perusahaan karena SDM merupakan aset berharga bagi perusahaan.

Manajemen atau pemilik perusahaan harus lebih mengenal para pekerja milenial dan memberikan kesempatan pada mereka untuk berkarya di lapis yang lebih tinggi dan bisa berkembang. Milenial adalah mereka yang tahu kapan harus bertahan dan kapan harus meninggalkan pekerjaan. Memberikan kesempatan oleh perusahaan terhadap kaum milenial adalah kuncinya.

Masih ada kesempatan bagi Anda yang punya pekerja milenial sebelum mereka benar-benar merealisasikan keinginannya. Pemahaman memberikan kesempatan memang penting bagi milenial, tapi yang jauh lebih penting bagaimana menjaga potensi sumber daya untuk dimaksimalkan oleh perusahaan.

Baca juga artikel terkait MILENIAL atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti