tirto.id - Jemaat Gereja Katolik St. Lidwina Bedog di Jl Jambon Trihanggo, Gamping, Sleman, diserang oleh seorang pemuda dengan menggunakan senjata tajam, Minggu lalu. Serangan ini menyebabkan empat orang luka-luka, termasuk pastor.
Menurut Kapolres Sleman, AKBP Firman Lukmanul Hakim, pelaku bernama Suliono, 22 tahun, asal Banyuwangi memasuki gereja dari pintu sebelah barat dan langsung menyerang jemaat, yang saat itu melangsungkan ibadah misa pagi pada pukul 07.30.
Kronologi yang sama diungkapkan Danang Jaya, seorang warga Sleman, yang menyatakan penyerang merusak benda-benda di dalam gereja, seperti patung dan perabot lain, sebelum menyerang jemaat dan Romo Prier.
“Beberapa saat setelahnya, polisi berpakaian preman datang dan langsung meminta pelaku menyerah. Namun, karena pelaku tidak mau menyerah, langsung dilumpuhkan dengan tembakan ke kakinya,” ujar Danang.
Selepas dilumpuhkan, massa di luar gereja segera masuk dan menyelamatkan korban. Pelaku diangkut ke Rumah Sakit UGM, sementara empat korban dibawa menuju Rumah Sakit Panti Rapih.
Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Brigjen Pol. Ahmad Dofiri, menyatakan kasus ini tengah diselidiki polisi. Tentang motif serangan, Ahmad memohon agar masyarakat tak berspekulasi. “Tunggu penyelidikan lebih lanjut,” katanya.
Anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, Benny Susetyo, meminta umat Katolik untuk tetap tenang menanggapi penyerangan di Gereja St. Lidwina. Benny berkata bahwa kasus ini biar diusut oleh kepolisian.
“Kita berharap polisi bisa profesional dan segera mengungkap motif di balik penyerangan tersebut,” ujar Benny seperti dikutip dari Antara.
Setumpuk Kasus Intoleransi
Empat tahun silam, aksi penyerangan terhadap jemaat melakukan ibadah doa Rosario terjadi di kompleks STY YKPN Ngaglik, Sleman. Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), penyerangan terjadi pada Kamis malam, 29 Mei 2014, di kediaman Julius Felicianus.
Para pelaku, menurut laporan KontraS, berjumlah belasan orang. Mereka menyerang jemaat dengan “besi, pentungan, pot bunga, dan sebagainya.” Beberapa orang, umumnya ibu-ibu, dilaporkan mengalami luka-luka, termasuk Julius yang dipukul dengan besi dan pot bunga.
Dua hari setelahnya, penyerangan kembali terjadi terhadap Majelis Jemaat Gereja Pantekosta Indonesia di Pangukan, Tridadi, Sleman. Mengutip pemberitaan Tempo, penyerangan dilakukan oleh “massa berjubah dan berpeci” pada Minggu, 1 Juni 2014.
Tempo melaporkan, mulanya warga meminta jemaat yang beribadah di kediaman pendeta Nico Lomboan itu membubarkan diri karena “tidak ada izin.” Jemaat pun menyetujui.
Namun, pada siang hari, sekelompok orang datang, merusak pagar seng serta "memecahkan kaca dengan lemparan batu maupun palu besar.” Sebagai catatan, polisi dan tentara sudah berjaga di depan kediaman Lomboan, tapi massa nekat menyerang dan merusak bangunan.
Massa yang turut serta dalam perusakan bangunan tersebut diduga berasal dari Front Jihad Islam (FJI) Yogyakarta. Keterlibatan massa FJI diakui sendiri oleh Komandan FJI, Durahman. Menurutnya, terdapat sebagian anggota FJI yang ikut dalam penyerangan. Sejak awal, tambahnya, “FJI memang mengawal kasus penggunaan rumah yang difungsikan sebagai gereja di Pangukan itu.”
Laporan Tempo menyebutkan, bangunan itu semula didirikan untuk rumah. Akan tetapi, sejak 1990, bangunan digunakan untuk ibadah. Pada 2010, bangunan direnovasi sehingga dianggap berbentuk mirip gereja, yang kemudian disegel pada 2012.
Penyerangan itu bermula ketika jemaat membuka segel bangunan. Nico menilai, pembukaan segel bukan memperkeruh suasana mengingat sengketa belum selesai. Para jemaat, menurut Nico, “hanya ingin beribadah” kendati “harus membuka segel.”
Ahmad Dofiri, saat menjabat Wakil Kapolda DIY, mengatakan tidak ingin terpengaruh isu SARA dalam kedua kasus di atas.
“Jika di Sleman, insiden muncul karena reaksi spontan warga sekitar terhadap pelanggaran berupa penggunaan tempat ibadah yang tidak berizin. Sementara di Ngaglik, sejauh ini penyidikan mengarah pada masalah pribadi dan tidak ada sangkut paut dengan konflik perbedaan agama,” klaimnya seperti dilansir Tribun Jogja.
Setahun berselang, Gereja Baptis Indonesia Saman di Sewon, Bantul, ditutup paksa oleh ormas dengan alasan belum memiliki IMB. Sepekan kemudian, mengutip laporan BBC Indonesia, "sekelompok orang tak dikenal" mencoba membakar gereja tersebut. Menurut catatan kepolisian, api tak menjalar lebih luas dan hanya merusak pintu gereja.
Pada Februari 2016, aksi penutupan paksa lagi-lagi terjadi. Kali ini terhadap pesantren waria Al-Fatah di Bantul. Menurut laporan LBH Yogyakarta, aksi ini diinisiasi oleh Front Jihad Islam. Para penyerang menuding ponpes waria itu "menganggu, meresahkan warga, serta tak sesuai nilai-nilai Islam."
Informasi penutupan pondok pesantren waria Al-Fatah diketahui lewat pesan berantai via WhatsApp. Isi pesannya: “FJI mengundang rekan-rekan seperjuangan untuk mendatangi ponpes waria Al-Fatah dengan tujuan menolak dan menyegel ponpes waria setelah sholat Jum’at.”
Maraknya aksi intoleransi di Yogyakarta membuat Setara Institute menempatkan Yogyakarta di posisi keenam pada kategori 10 kota dengan skor toleransi terendah dalam Indeks Kota Toleran (IKT) 2017.
Aturan Diskriminatif soal Rumah Ibadah
Kepala Departemen Advokasi LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli, menjelaskan setidaknya ada tiga faktor penyebab maraknya aksi intoleransi di Yogyakarta: kemiskinan struktural, rendahnya penegakan hukum, serta regulasi pendirian rumah ibadah.
Untuk poin pertama, Yogi beranggapan, pemerintah gagal dalam memenuhi hak-hak dasar warga sehingga membuat orang mudah terbawa paham radikal dan jadi bagian dari entitas kelompok intoleran yang aktivitasnya mengarah ke tindakan destruktif. Poin kedua, menurut Yogi, "proses hukum terhadap pelaku toleransi tak ada yang beres dan tuntas."
"Catatan kami, setidaknya sejak 2012, sebagian kasus intoleran berbasis agama, ideologi politik, dan orientasi seksual sudah dilaporkan ke polisi tapi hingga hari ini tidak ada pelaku yang dibawa ke persidangan untuk diadili. Ini bahaya," katanya kepada Tirto.
Sementara untuk poin terakhir, ujar Yogi, regulasi pendirian rumah ibadah diterapkan memakai logika kelompok mayoritas, yang buntutnya menjadi sulit bagi minoritas-minoritas agama untuk mendirikan rumah ibadah.
Pendapat senada diungkapkan Agnes Dwi Rusjiyati, Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) Yogyakarta—lembaga swadaya yang berfokus pada isu keberagaman.
Agnes menyebutkan aksi intoleransi beragama di Yogyakarta muncul dengan pola mempermasalahkan izin administratif maupun legalitas bangunan tempat ibadah masyarakat. Persoalan itu, tambah Agnes, dimunculkan kelompok tertentu melalui konsolidasi serta mobilisasi massa, yang kemudian dibawa ke forum guna menekan pemerintah dan kepolisian.
"Polanya masih sama, tapi kondisi tersebut diperburuk dengan situasi politik, hoaks, hingga ujaran kebencian yang diproduksi masif lewat media sosial maupun ceramah. Hal ini lantas meningkatkan sentimen terhadap agama atau rumah ibadah minoritas," kata Agnes kepada Tirto.
Dalam “Tradisi, Ekonomi-Politik, dan Toleransi Yogyakarta”, diterbitkan Jurnal Sosiologi Universitas Indonesia pada 2010, Diatyka Widya menjelaskan regulasi negara berandil dalam maraknya aksi intoleransi terhadap kelompok minoritas di Yogyakarta.
Regulasi yang disebut Widya adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Menurut Widya, peraturan ini menjadi "[alasan] yang melegalkan dominasi kelompok mayoritas.”
Widya mencontohkan pasal 14, menyebutkan bahwa syarat pendirian rumah ibadah antara lain ada sedikitnya 90 daftar nama pengguna rumah ibadah yang disahkan melalui KTP serta dukungan paling sedikit 60 warga yang disahkan oleh lurah dan kepala desa.
Bagi kelompok mayoritas seperti muslim, jelas Widya, tidak sulit untuk memenuhi persyaratan ini karena jumlah mereka memang banyak. Namun, peraturan ini dirasa sebagai “bentuk diskriminasi bagi kelompok agama yang jumlahnya minoritas.”
Selain itu, terang Widya, situasi diperburuk dengan bergulirnya isu "kristenisasi" yang kerap menghambat kelompok minoritas—khususnya Kristen—dalam mendirikan rumah ibadah. Walhasil, mereka memanfaatkan rumah penduduk untuk praktik ibadah.
Akan tetapi, hal itu juga tidak lantas menjamin kebebasan mereka dalam beribadah. Rumah yang dijadikan tempat ibadah ini dipermasalahkan sebab dianggap tak mengantongi izin resmi.
"Disengaja atau tidak," tulis Widya, "regulasi negara justru menjadi kekuatan politik yang mendukung intoleransi."
Sebaliknya pun di tempat lain ketika agama Kristen dipeluk oleh mayoritas masyarakat sekitar, pembangunan masjid mendapat penolakan. Ini terjadi misalnya di Manado dan Kupang; kedua kasus ini telah terekam dalam sejumlah laporan kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, termasuk oleh lembaga pemantau HAM Human Rights Watch tahun 2013 dan laporan tahunan Komnas HAM.
Menurut Jayadi Damanik, saat itu anggota Komnas HAM, kondisi yang membelah identitas agama sebagai mayoritas dan minoritas telah menciptakan apa yang disebut "solidaritas negatif"—istilah yang dipakai untuk menggambarkan budaya saling menyakiti antara mayoritas dan minoritas di suatu tempat.
“Negative solidarity ini adalah bentuk sikap intoleransi yang harusnya kita jauhi,” katanya.
Situasi hukum yang compang-camping di Indonesia telah memperberat hak orang bebas beribadah. Sampai tahun 2010, Indonesia memiliki sedikitnya 156 ketentuan peraturan, keputusan menteri, dan aturan turunan yang membatasi kebebasan beragama.
Kasus di Yogyakarta sekali lagi menunjukkan bahwa sikap intoleran muncul “bukan semata-mata dari perbedaan nilai-nilai keagamaan, tetapi justru dari relasi tidak setara antara kelompok mayoritas dan minoritas,” tulis Widya.
Agnes dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika mendesak Gubernur Yogyakarta Sri Sultan HB X "harus mampu jadi pihak yang berdiri untuk semua golongan dan kelompok, dan mengedepankan toleransi serta menolak semua gerakan yang intoleran.
"Ini harus diwujudkan karena Yogyakarta punya tanggung jawab keistimewaan," ujar Agnes.
========
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf