Menuju konten utama

Kisah Penghayat Kapribaden Menghadapi Diskriminasi Negara

Ketika negara menyeberangi batas dengan mengurus iman dan kepercayaan warganya.

Kisah Penghayat Kapribaden Menghadapi Diskriminasi Negara
Penganut ajaran Pengahayat Kapribaden melakukan sikap kunci untuk mendekatkan kepada Tuhan. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Rumah ini bernama Sasana Adi Roso bagi Paguyuban Penghayat Kapribaden. Hanya seorang pinisepuh Hartini Wahyono (75 tahun) dan penasihat Anugraheni (65 tahun) yang duduk di kursi busa. Sementara 24 orang lain duduk bersila dengan rapi, dari teras hingga ruang tamu, di lantai beralas karpet. Di tengah mereka tersaji berbagai jenis umbi di atas piring-piring kaca.

Semua mata terpejam. Lalu kedua telapak tangan mereka dikatupkan di depan muka. Seluruh jemari menghadap ke langit-langit, kecuali kedua jempol yang menunjuk ke arah hidung.

Sesaat kemudian mereka mengubah sikap tubuh. Telapak tangan terbuka ditempelkan ke ulu hati. Tangan kiri berkacak pinggang. Hanya tangan kanan Hartini dan Anugraheni yang meliuk-liuk berirama. Sikap kunci dan mijil ini bikin jeda hening beberapa menit.

Malam itu mereka memperingati detik-detik wahyu turun kepada Sesepuh Penghayat Kapribaden, Herucokro Semono, tepat pukul 18.05 malam Senin Pahing.

Gusti ingkang moho suci, kulo nyuwun pangapura dumateng gusti ingkang moho suci,”ucap Ketua Umum Penghayat Kapribaden, Suprih Suhartono, melafalkan salah satu pasase mijil dalam prosesi tersebut dalam hati, beberapa waktu sebelumnya. “Sirolah, dhatolah, sipatolah kulo sejatine satriyo nyuwun wicaksono, nyuwun panguwoso kangge tumandhake satriyo sejati. Kulo nyuwun kangge anyirnakake tumindhak ingkang luput.”

Pengucapan kidung itu sudah baku dan harus dalam bahasa Jawa. Jika tidak, daya gaib seketika sirna. Bagi mereka, kunci dan mijil bukanlah doa atau mantra, melainkan spirit untuk mendekatkan diri pada Tuhan yang Maha Esa. Ini akan menuntun mereka mencapai kesempurnaan sejati dengan cara menjaga kemurnian tingkah laku.

“Kami menghadap ke mana pun tidak masalah. Tuhan tidak ada di utara atau di selatan, tapi di mana pun,” kata Suhartono.

Mereka mewarisi ajaran lima gaib dan lima tindakan. Setiap penganut Kapribaden yang dianggap mumpuni memiliki dua nama, baik untuk raga maupun jiwa, bahwa manusia secara fisik akan menjadi tua dan mati, sementara roh tetap abadi. Mereka diajarkan untuk menipiskan sifat buruk dengan berlaku sabar, sumarah, welas asih, dan tulus terhadap sesama.

Penghayat Kapribaden tak memiliki kitab suci. Mereka hanya mengacu pada buku pedoman mencapai kesempurnaan sejati yang ditulis pinisepuh Wahyono Raharjo.

Sebelum meninggal pada 1981, sesepuh paguyuban, Herucokro Semono yang dipanggil romo, mewariskan kepemimpinan kepada Wahyono Raharjo dan Hartini Wahyono—keduanya disebut pinisepuh. Secara simbolik romo memberikan pusaka tongkat komando kepada kedua pinisepuh itu. Ini tanda peralihan kekuasaan untuk memimpin penganut Kapribaden dari Bali, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Barat, dan Jakarta.

“Tongkat berupa kayu galih kelor. Panjangnya 60 sentimeter. Wadahnya kain putih,” kata Hartini Wahyono.

Hartini menuturkan ia pernah bertanya kepada romo mengapa sebagian besar rakyat Indonesia menderita? Romo menjawab, Indonesia akan kaya, makmur, dan sejahtera jika Hartini mampu membawa wayang Togog berkeliling ke seluruh negara yang pernah menjajah Nusantara—era sebelum ada Indonesia.

“Biaya untuk pergi ke sana tidak sedikit. Sampai romo enggak ada, masih belum bisa melakukan itu,” katanya.

Hartini diam sejenak. Kepalanya sedikit mendongak, kedua matanya menatap tokoh wayang Bokor Kencono dan Togog yang ditata dalam pigura selebar layar televisi 20 inci dan ditempel di dinding ruang tamu.

“Wayang itu melambangkan bahwa hidup dan yang menghidupi alam seisinya itu satu,” ujarnya.

Harapan delapan perwakilan warga Kapribaden berkeliling ke enam negara—Belanda, Inggris, Perancis, Portugal, Spanyol, dan Jepang—baru bisa ditebus pada 1 Agustus 2011. Sesudahnya mereka menggelar secara perdana wayang gaib “Togog Mlaku Mundur” pada 11 November 2011 di Sasana Hinggil, alun-alun kidul Keraton Yogyakarta. Seperti apa cerita pewayangan itu? Awalnya tak ada yang tahu sebab dimainkan tanpa naskah. Mereka berkata bahwa dalang memainkan secara spontan dan semata dibimbing oleh batinnya.

Mengakui tapi Membatasi Hak Penghayat

Sampai sekarang tak ada jumlah pasti penganut Penghayat Kapribaden. Namun, dalam sejarah politik di Indonesia, mereka kenyang dengan pengalaman diskriminasi oleh negara.

Indonesia mengenal apa yang disebut Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem), organisasi di bawah Kejaksaan Agung yang tersebar di setiap provinsi dan kabupaten, yang diatur dalam Undang-Undang 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Tugasnya “mengawasi aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.”

Sejarahnya, badan ini dibentuk kali pertama oleh Kementerian Agama pada 1952 untuk “mengawasi” aliran kebatinan/kepercayaan. Perannya semakin meluas—melibatkan Kementerian Agama, polisi, militer, dan pemerintah daerah—dengan menempatkan penghayat kepercayaan sebagai “rumah kaca” setelah diatur dalam UU Kejaksaan tahun 1961.

Laporan organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch berjudul “Atas Nama Agama” (Februari 2013) menyebut bahwa selama tiga dekade terakhir, pelbagai kantor Bakor Pakem “menyerukan pelarangan lebih dari 30 organisasi keagamaan, dari kepercayaan asli seperti Agama Djawa Sunda (1964) hingga organisasi keagamaan internasional seperti Saksi-saksi Yehuwa (1976).”

Penganut Penghayat Kapribaden, sebagai bagian dari penghayat kepercayaan, dituduh oleh negara terutama pada masa pemerintahan Soeharto sebagai bagian dari organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia.

“Dulu, zaman bapak saya, penghayat kepercayaan dianggap orang PKI. Jadi orang sampai sekarang takut didata,” ujar Suprih Suhartono, Ketua Umum Penghayat Kapribaden.

Untuk menjadi Penghayat Kapribaden, agama dan kepercayaan lain harus ditanggalkan. Mereka berupaya mengosongkan kolom agama dalam KTP. Tapi pilihan ini berisiko.

Suhartono menuturkan, sesudah setengah abad Penghayat Kapribaden terbentuk, melalui UU 2006 tentang administrasi kependudukan, seluruh penghayat kepercayaan mulai diakui negara. Alhasil, kolom agama dalam KTP boleh dikosongkan dengan tanda (-).

“Kolom agama yang kosong itu memicu diskriminasi. Penghayat kepercayaan di seluruh Indonesia, termasuk Kapribaden yang KTP-nya kosong, mau daftar jadi TNI atau Polri tidak bisa,” ujarnya. Mereka pun tak bisa mendafar sebagai pegawai negeri sipil.

Sebagai Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia, Suhartono diundang sebagai pihak terkait oleh Mahkamah Konstitusi. Ia menyambut baik MK yang mengabulkan seluruh permohonan pemohon dalam Putusan MK 97/PUU-XIV/2016. Putusan itu menjadi suplemen kekuatan agar penghayat kepercayaan bisa menghirup iman tanpa kecemasan.

“Putusan MK itu yang ditunggu-tunggu oleh seluruh kepercayaan di Indonesia. Kami mengharapkan kolom agama harus ada isinya. Isinya kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa,” ujarnya, menambahkan inti putusan MK bahwa agama dan kepercayaan itu berbeda tetapi setara.

Namun, putusan MK belum dijalankan secara tegas.

Sutanto, misalnya. Ia sudah 39 tahun menjalani laku Kapribaden. Tapi hingga kini kolom agama di KTP dia dan istrinya masih tertulis agama Islam. Alasannya, mereka enggan kehilangan pekerjaan di institusi militer. Tahun depan, katanya, mereka baru berani mengubah kolom agama di KTP setelah pensiun.

Saat menikahkan anaknya, Sutanto kembali mengalami kesulitan. Ia ingin tata cara perkawinan anaknya dengan adat Kapribaden. Mereka mengalah demi kebaikan. “Akhirnya mengikuti arus tata cara mereka,” ujar Sutanto, yang calon menantunya beragama Islam. “Tapi, di belakang itu, kami punya kepercayaan masing-masing.”

Di Indonesia juga tak ada payung hukum bagi pernikahan antara penghayat dan salah satu dari enam agama “resmi” yang diakui negara. Jika tetap dipaksakan, Kantor Urusan Agama akan menolak wali yang jadi saksi pernikahan dari pihak penghayat, melimpahkan urusan ke Kantor Catatan Sipil.

Eliyadi, seorang Kapribaden yang mendapat sertifikasi Direktorat Penghayat Kepercayaan dari Kemendikbud sebagai pemuka penghayat, memikul wewenang untuk mengurus surat pernikahan penghayat kepercayaan. Ia menjelaskan, pernikahan warga Kapribaden hanya bisa dilakukan dengan sesama warga Kapribaden atau penghayat kepercayaan lain. Di luar itu, ia tak berwenang turut mengurus pernikahan ke Kantor Catatan Sipil.

“KTP-nya pun sudah diubah menjadi penghayat juga. Kemudian saya catatkan dari RT/RW, kecamatan, kelurahan, dan Dukcapil agar tercatat resmi pernikahan penghayat dilindungi negara,” ujar Eliyadi.

Ia mengisahkan tahun lalu ia mengurus pernikahan antarpenghayat. Pasangan yang dinikahkan mendapat sertifikat resmi dari negara. Tata cara pernikahan dilakukan sesuai tradisi masing-masing daerah.

“Itu kekayaan Nusantara yang tetap harus dilestarikan,” ucapnya.

Infografik HL Wajah Minoritas

Ikut Pelajaran Agama

Para penghayat kepercayaan terpaksa harus menempuh mata pelajaran agama. Mereka menjadi minoritas yang rentan terdiskriminasi.

Sri Lestari, 16 tahun, berkata sewaktu SD dipaksa menempuh mata pelajaran agama Islam. “Kayak cuma hapalan. Nilai agama lumayan, kadang 8 atau 7,” ungkapnya.

Saat menempuh SMP dan SMA, ketika kebanyakan murid mengikuti mata pelajaran agama, Lestari keluar kelas. Terkadang ia bermain dengan para siswa dari kelas lain yang saat itu kosong mata pelajaran. Jika tidak, ia satu-satunya murid di luar ruangan kelas saat jam pelajaran.

“Saya ditanya sama guru, 'Kenapa di luar?' Saya bilang, 'saya orang kepercayaan, tidak ikut pelajaran agama',” ujarnya.

Pertanyaan selanjutnya seputar apa itu kepercayaan, bagaimana cara beribadah dan berdoa. “Merasa terintimidasi sedikit, soalnya kayak dipojokin sama guru.”

Bukan mencari jalan keluar untuk memfasilitasi murid penghayat seperti Sri Lestari, beberapa guru memilih mengusik hak dasarnya atas “kebebasan beragama dan keyakinan” yang bersifat privat.

“Ditanya. 'Memang kitabnya apa?” kata Lestari.

Ia menceritakan bagaimana seorang guru melakukan perundungan. “Kata dia, 'Kalau kitab gitu ibarat kapal tapi sekoci kecil yang terombang-ambing di lautan, enggak menentu mengikuti arus.'” Guru itu membandingkan dengan agama Islam yang memiliki kitab suci Alquran yang tak akan mudah digoyang ombak.

Pengalaman lain adalah kisah Herdi Islarto, 60 tahun, yang dulu pernah didepak dari STM lantaran kolom agama di KTP dia kosong. “Saya diancam tidak bisa masuk ABRI dan PNS,” katanya.

Saraswati, berusia 22 tahun, yang menempuh perguruan tinggi, menceritakan pada semester perdana saat ia memilih mata kuliah lewat online—biasa disebut Kredit Rencana Studi (KRS)—dan mendapati bahwa Kapribaden tak tercantum dalam pilihan yang ditawarkan.

“Jadi saya protes ke bagian akademik. Dari pihak kampus belum tahu apa itu kepercayaan,” ujarnya.

Sebagai satu-satunya mahasiswa pertama yang menganut kepercayaan di kampus tersebut, pihak akademik penasaran dengan sikap Saraswati. Mereka bertanya seputar apa itu Kapribaden, bagaimana cara beribadah, seperti apa kitabnya, dan sebagainya. Pejabat teras kampus meminta orangtua Saraswati mengumpulkan pelbagai berkas seputar Penghayat Kapribaden.

Dibantu oleh pimpinan Penghayat Kapribaden, akhirnya Saraswati bisa menempuh mata kuliah sesuai kepercayaannya. Penyuluh kepercayaan, yang mendapatkan lisensi dari Kemendikbud, mengirimkan silabus berisi rincian mata kuliah sekaligus soal ujian ke kampus. Penyuluh itulah yang mengampu mata kuliah dan memberikan penilaian.

Suprih Suhartono mengatakan mata pelajaran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa di Indonesia baru dirumuskan sejak ada peraturan menteri pendidikan tahun 2016 tentang layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada satuan pendidikan.

Pasal 3 menyebutkan bahwa penyedia pendidikan kepercayaan, pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan dapat bekerja sama dengan organisasi penghayat kepercayaan, yakni Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia.

“Modul itu dibikin oleh Majelis, lalu format untuk aturan dan sebagainya adalah Kemendikbud. Itu modul yang dipakai penyuluh kepercayaan di Indonesia,” ujar Suhartono.

Ia menjelaskan, jika jumlah peserta didik di bawah 5 persen, pimpinan penghayat yang ditunjuk sebagai penyuluh akan menjadi pengajar. Jika lebih dari itu, institusi pendidikan akan menyiapkan guru atau dosen.

Suhartono juga punya pengalaman serupa sewaktu usia sekolah. Sebagai penganut Kapribaden sejak lahir, ia terpaksa mengikuti mata pelajaran agama Islam saat SD, dan pelajaran Katolik saat SMP dan SMA.

Rumadi Ahmad dari Nahdlatul Ulama, dalam satu wawancara dengan redaksi Tirto selepas putusan MK awal November lalu yang mengabulkan permohonan penganut kepercayaan, mengatakan bahwa para penghayat ini “harus dilayani hak-hak konstitusionalnya.”

“Negara harus menerimanya sebagai bagian dari masyarakat. Diterima sebagai bagian dari warga negara,” kata Rumadi.

Baca juga artikel terkait PENGANUT KEPERCAYAAN atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam