Menuju konten utama

UU Adminduk Diskriminatif Bagi Penganut Aliran Kepercayaan

Salah satu cara untuk menyudahi diskriminasi terhadap penghayat aliran kepercayaan adalah merevisi UU Adminduk.

UU Adminduk Diskriminatif Bagi Penganut Aliran Kepercayaan
Ilustrasi. Orang-orang Baduy luar berkumpul di Pendopo Rangkasbitung pada acara puncak Seba Baduy. tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) warga penganut aliran kepercayaan hingga saat ini masih dikosongkan. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) hanya mencantumkan enam agama resmi yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Para penganut aliran kepercayaan menginginkan agar pemerintah mencantumkan kolom di KTP, seperti yang jadi aspirasi tetua masyarakat Baduy Dalam Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Ayah Mursid, pada Selasa (22/8/2017).

Ia meminta agar agama “Selam Sunda Wiwitan” yang dianut warga Baduy dicantumkan pada kolom e-KTP, karena mereka juga bagian dari NKRI. Semestinya, pemerintah mengakui aliran kepercayaan yang mereka anut, karena hal tersebut merupakan peninggalan nenek moyang mereka.

Menanggapi hal tersebut, peneliti Wahid Foundation, Alamsyah M Djafar mengatakan, diskriminasi yang dialami masyarakat yang menganut aliran kepercayaan tidak lepas dari Undang-Undang No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk).

Pada Pasal 64 ayat (2) UU Adminduk disebutkan “keterangan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”

“Diksi 'tidak diisi' itu sering dimaknai dengan tanda strip. Bukan dikosongkan. Itulah yang akhirnya menjadi beragam masalah diskriminasi,” kata Alamsyah, kepada Tirto, Jumat (25/8/2017).

Akibat kolom agama yang kosong tersebut, penganut aliran kepercayaan sering mendapatkan diskriminasi. Berdasarkan hasil penelitian Wahid Foundation, mereka biasanya mendapat perlakuan diskriminatif dalam pekerjaan dan pencatatan pernikahan.

“Misalkan ada anggota komunitas aliran kepercayaan gagal menjadi tentara karena kosong di kolom agamanya. Sedangkan atasannya menyatakan harus diisi,” kata Alamsyah.

Dalam konteks ini, menurut Alamsyah, pada dasarnya pemerintah tidak berhak untuk membuat kategorisasi agama resmi dan tidak resmi. Menurutnya, hal itu merupakan kewenangan pemeluk dari agama dan kepercayaan masing-masing.

Alamsyah menambahkan berdasarkan putusan MK atas uji materi UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama pada 2010 yang menyatakan tidak ada lagi istilah agama resmi dan agama yang dilarang di Indonesia.

“Jelas kalau penghayat kepercayaan di zaman Orba itu dipaksa menuliskan agama resmi itu karena situasi politik,” ujarnya.

Situasi politik yang dimaksud Alamsyah, adalah kegiatan bersih lingkungan untuk eks dan simpatisan PKI. Sehingga untuk menyudahi diskriminasi terhadap penghayat aliran kepercayaan tersebut, perlu merevisi atau langkah uji materi UU Adminduk.

Baca juga:

Sementara itu, Kepala Biro Humas Humas Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhumham), Lilik Bambang mengatakan, pihaknya berharap agar Mahkamah Konstitusi (MK) mempertimbangkan usulan dari penghayat Selam Sunda Wiwitan untuk dapat menuliskan agama mereka di KTP.

“Itu akan lebih memudahkan pekerjaan kami dalam membuat peraturan yang lebih baik sebagai penyelenggara negara,” ujarnya, saat dikonfirmasi Tirto, Jumat (25/8/2017).

Menurutnya, Menkumham Yasonna Laoly telah mempertimbangkan agar penghayat kepercayaan bisa menuliskan agamanya di KTP. Namun, belum ada payung hukum untuk melakukan hal tersebut. Sayangnya ini seperti sebatas retorika saja, karena pihaknya tidak akan mengajukan uji materi terhadap UU Adminduk. Sikap Kemenkumham yang setengah hati tersebut mendapat kritikan dari Alamsyah.

“Kalau MK belum memutuskan agar undang-undang itu diubah, mereka akan menyalahi undang-undang bila mengabulkan permintaan Sunda Wiwitan,” kata Alamsyah.

Padahal, undang-undang tersebut adalah akar masalah terjadinya diskriminasi di kalangan penghayat kepercayaan yang selama ini terjadi. “Mau tidak mau, undang-undang tersebut memang harus direvisi agar pemerintah juga bisa bertindak,” kata Alamsyah.

Baca juga: NU Dukung Kolom Kepercayaan Dicantumkan di KTP

Baca juga artikel terkait KOLOM AGAMA atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz