tirto.id - Pada 8 Juli lalu, DPRD Kabupaten Kuningan didatangi sembilan orang perwakilan Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan. Mereka mempertanyakan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) tentang izin mendirikan bangunan (IMB) untuk makam di atas tanah keluarga, yang terdapat di dalam Perda Kabupaten Kuningan Nomor 13 tahun 2015 tentang Perangkat Desa.
Mereka diterima langsung oleh Ketua DPRD Nuzul Rachdy, Wakil Ketua DPRD Ujang Kosasih, dan Ketua Komisi IV Tresnadi. Hadir juga perwakilan Satpol PP Kabupaten Kuningan, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kuningan.
Dalam audiensi itu DPRD bilang juklak dan juknis tentang IMB untuk makam di atas tanah keluarga belum ada.
"Kalau belum ada aturannya, jangan paksakan peraturan dengan mengharuskan ada IMB. Apalagi sampai penyegelan," kata Girang Pangaping Akur Sunda Wiwitan, Okky Satrio Djati, kepada wartawan Tirto, Senin (27/7/2020).
Rencana Akur Sunda Wiwitan membangun paseban sesepuh, yang akan digunakan sebagai pemakaman masyarakat adat di Cigugur, Kuningan, diminta untuk disetop dengan alasan tak memiliki IMB. Surat teguran pertama datang dari Pemkab pada 29 Juni. Tak menunggu lama, Akur Sunda Wiwitan langsung mengurus pengajuan IMB ke Dinas PMPTSP dua hari setelahnya, 1 Juli.
Akur Sunda Wiwitan malah mendapat surat teguran kedua pada 6 Juli dan surat teguran ketiga pada 13 Juli dari Satpol PP Kabupaten Kuningan. Dalam surat yang wartawan Tirto terima, tertulis bahwa Akur Sunda Wiwitan diberi waktu tujuh hari untuk menghentikan proses pembangunan paseban. Jika tidak, akan disegel.
Nasib warga Sunda Wiwitan makin sial saat satu hari setelahnya, 14 Juli, Dinas PMPTSP menolak pengajuan izin IMB. Dalam surat yang juga wartawan Tirto terima, dinas mengaku tak bisa memproses IMB karena belum ada regulasi yang mengatur soal paseban makam di tanah keluarga.
Dalih Dinas PMPTSP menolak adalah, pengajuan permohonan IMB harus memenuhi syarat "kondusivitas lingkungan warga," yang menurut mereka tak terpenuhi.
Dinas juga mengaku mendapat surat dari MUI Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, No.003/MUI-CST/VI/2020 tanggal 2 Juni. Isinya penolakan pembangunan paseban Sunda Wiwitan. Mereka meminta itu dibongkar dan dihentikan.
Pada 20 Juli lalu, kompleks bangunan paseban akhirnya disegel Satpol PP.
Negara Kalah oleh Tekanan Mayoritas
Okky dan perwakilan Akur Sunda Wiwitan kecewa dengan sikap pemerintah yang tidak konsisten. Di satu sisi mereka mewajibkan IMB, namun di sisi lain tak ada aturan yang memungkinkan pengajuan izin dari warga diterima.
Lebih parah lagi, alasan menolak permohonan IMB karena adanya protes dari MUI.
"Regulasi dan politik kondusivitas dicampuradukkan. Yang menciptakan situasi kondusif itu negara, bukan tanggung jawab kami. Cigugur sudah ratusan tahun sebelum negara ini berdiri. Kami masyarakat adat sudah hidup kondusif dan toleransi keberagamaannya tinggi. Hampir semua kampung yang berdampingan dengan Sunda Wiwitan itu toleransinya tinggi, enggak hanya Cigugur," kata Okky.
Menurut Okky, ada pihak-pihak tertentu yang membuat keadaan tidak kondusif dan memicu konflik horizontal. Ini terlihat ketika ratusan massa turut serta saat eksekusi penyegelan paseban pada 20 Juli lalu, dan 80 persen di antaranya bukan warga asli Cigugur. "Ini yang buat tidak kondusif siapa? Harusnya dilacak oleh negara. Bukannya malah menyegel karena mengganggu kondusivitas."
"Kami ini dikeroyok negara, kelompok intoleran, dan media lokal. Negara melakukan pembiaran," Okky kesal.
Bupati Kuningan Acep Purnama mengklaim alasan tidak memberikan IMB karena mereka "belum melalui prosedur layaknya perizinan pada umumnya." Selain itu, Kamis (23/7/2020) lalu ia juga membenarkan alasan lain tidak mengeluarkan IMB adalah "mempertimbangkan keberatan/penolakan dari masyarakat."
Respons tersebut makin membuat Okky dan Akur Sunda Wiwitan kecewa. Acep dianggap tak bijak sebagai pejabat. "Kekosongan hukum malah digunakan dengan tidak bijak," ujarnya.
Sunda Wiwitan yang Makin Dipersulit
Bentuk diskriminasi yang dialami warga Sunda Wiwitan bukan kali ini saja. Salah satu kasus yang terkenal adalah saat mereka tak diperboleh menuliskan "Selam Sunda Wiwitan" dalam kolom agama di KTP. Mereka hanya diperbolehkan menulis "penghayat kepercayaan."
Nasib sial lain yang Okky ceritakan adalah ketika beberapa tahun lalu mereka mengurus surat untuk ukur lahan ke pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kuningan yang hingga kini tak ada kejelasan. "Padahal itu hanya untuk memastikan berapa luas wilayah adat. Jadi ini belum sertifikat. Hanya untuk ukur saja dipersulit."
Tak hanya itu, yang paling menyedihkan, kata Okky, adalah nasib anak-anak dari Sunda Wiwitan yang bersekolah di sekolah formal. Mereka kerap dipersekusi, dirundung, dan dituding kafir oleh sesama teman dan bahkan guru. "Masih berlangsung sampai sekarang. Di daerah Cimahi, pernah ada anak kami masih kelas 5 SD yang dipermalukan di depan kelas hanya karena belum sunat. Anak kelas 5 SD sudah tahu malu. Tiga minggu dia tak masuk sekolah."
"Negara masih terus mereproduksi stigma yang buruk ke Sunda Wiwitan," katanya, menyimpulkan apa yang terjadi kepada mereka.
Guru besar antropologi hukum dari Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, melihat lanskap yang lebih luas terkait persoalan ini. Menurutnya ini terkait dengan apa yang ada di dalam tanah mereka.
Secara geografis, banyak wilayah adat Sunda Wiwitan, berada di kaki Gunung Ciremai, terdapat sumber daya alam berupa geotermal.
"Pasti ada sesuatu yang diincar oleh banyak orang. Pastinya sumber daya alam. Padahal, masyarakat adat ini mengganggu apa? Mereka hidup sendiri. Enggak butuh negara. Enggak dikasih KTP, ya diam. Enggak dikasih surat kawin, ya diam. Fokusnya justru sedang melindungi alam yang mereka tempat," kata Sulis saat dihubungi wartawan Tirto, Senin siang.
Kata Sulis, beberapa masyarakat adat selain Sunda Wiwitan yang berpotensi tersingkirkan adalah masyarakat Baduy dan juga kasepuhan.
Jika benar demikian, maka benar apa yang dikatakan Okky: "Kami dijadikan musuh bersama karena berusaha merawat kepentingan bersama: lingkungan dan alam."
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino