tirto.id - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Imam Aziz mendukung jika pemerintah memasukkan aliran kepercayaan dalam kolom agama di kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Ia beralasan, hal tersebut sebagai bagian dari kebebasan beragama dan berkeyakinan.
“Itu hak setiap orang untuk berkeyakinan. Itu kebebasan,” kata Imam Aziz, saat dihubungi Tirto, padaJumat (25/8/2017).
Sebelumnya, tetua masyarakat Baduy Dalam Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Ayah Mursid meminta agar agama “Selam Sunda Wiwitan" yang dianut warga Baduy dicantumkan pada e-KTP.
Menurut Mursid, masyarakat Badui bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), akan tetapi kepercayaan yang dianutnya selama ini tidak diakui dalam kolom e-KTP. Semestinya, kata dia, pemerintah mengakui secara resmi kepercayaan Selam Sunda Wiwitan sebagai agama masyarakat Badui yang merupakan peninggalan nenek moyang tersebut.
Selama ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengosongkan kolom agama bagi penganut aliran kepercayaan di e-KTP. Saat ini, agama yang dicantumkan dalam e-KTP hanya enam agama resmi yang diakui pemerintah, yaitu: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Baca juga:Tetua Baduy Minta Sunda Wiwitan Ada di Kolom Agama E-KTP
Namun demikian, menurut Imam Aziz, adanya istilah agama resmi hanyalah untuk memudahkan pemerintah dalam melakukan pencatatan terhadap penduduk demi kinerja politik mereka. “Dulu Konghucu kan bukan agama resmi, tapi karena pemeluknya banyak oleh Gus Dur [Abdurrahman Wahid] diresmikan sebagai agama [resmi],” ujarnya.
Imam Aziz menegaskan, kebebasan memeluk agama dan keyakinan di negeri ini diatur dalam Pasal 29 UUD 1945. Sehingga aliran kepercayaan seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Parmalim, dan lain sebagainya bisa tetap dianut pemeluknya.
“Kalau pemeluknya mau mencantumkan di KTP, ya silakan. Saya kira sekarang bukan seperti zaman Orba [orde baru] yang dipaksa menggunakan agama resmi,” kata dia menjelaskan.
Hanya saja, lanjut Imam Aziz, untuk menyebut aliran kepercayaan sebagai agama yang sama, seperti agama samawi dan agama ardhi (bumi) tidak bisa sepenuhnya. “Aliran kepercayaan itu secara sosiologi agama masuk dalam agama tidak terinstitusi. Maksudnya, mereka tidak punya syariat yang universal seperti agama-agama besar lainnya,” ujarnya.
Namun, Imam Aziz menambahkan, bukan tidak mungkin aliran kepercayaan pun pada akhirnya dapat menjadi agama yang terinstitusi. Dapat memiliki kitab yang berisi struktur hukum keagamaan.
Pendapat Imam Aziz tersebut bertolak belakang dengan pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin. Din bahkan menyebut Selam Sunda Wiwitan bukan agama dan tidak perlu dicantumkan dalam e-KTP.
“Menurut saya, itu bukan agama. Bukan dalam pengertian agama yang secara ilmiah. Berdasarkan wahyu atau berdasarkan semacam ilham. Kemudian membentuk kitab suci, ada pembawanya, ada sistem ritusnya,” kata Din.
Baca juga:
Ia juga meminta definisi agama menurut undang-undang diperjelas. “Apakah agama yang sudah ada, yang resmi, yang diakui oleh negara dan masyarakat, ataukah kepercayaan-kepercayaan masyarakat?” kata Din."Kalau kepercayaan-kepercayaan masyarakat, apalagi ada akar pada agama tertentu, itu tidak dapat dipahami sebagai agama," tambahnya.
Menurut Din, pemerintah sebaiknya menanyakan hal ini kepada masyarakat Baduy Dalam. Ia meminta agar pemerintah bertanya pada mereka “Apakah mereka Muslim atau bukan Muslim, coba tanya dulu. Karena kriteria agama itu terbatas secara ilmiah,” kata Din.
Hal tersebut, lanjut Din, bertujuan untuk memperjelas akar agama Selam Sunda Wiwitan. Sebab, kata Din, kalau semua aliran kepercayaan dianggap agama, maka nantinya akan ada ribuan agama baru yang muncul.
Baca juga:Eksekusi Putusan Tanah Adat Sunda Wiwitan Diminta Ditunda
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz