Menuju konten utama

Seberapa Banyak Jumlah Penghayat Kepercayaan di Indonesia?

Para penghayat kepercayaan menjadi pembicaraan setelah keputusan MK yang memperbolehkan pencantuman keyakinan di KTP. Seberapa banyak jumlah mereka di Indonesia?

Seberapa Banyak Jumlah Penghayat Kepercayaan di Indonesia?
Infografik Periksa Data Dilema Penghayat Kepercayaan

tirto.id - “[…] Dalam kesempatan ini saya ingin menambah penjelasan tentang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dalam kenyataannya memang merupakan bagian dari kebudayaan nasional kita. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukanlah agama dan juga bukan agama baru. Karena itu tidak perlu dibandingkan, apalagi dipertentangkan dengan agama. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah kenyataan budaya yang hidup dan dihayati oleh sebagian bangsa kita […]”

Kutipan pidato kenegaraan Presiden Soeharto di depan Sidang DPR-MPR 16 Agustus 1978, saat memohon kepada majelis sidang, terkait usulan untuk mengadakan pembinaan penghayatan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa akan diletakkan dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soeharto kala itu menilai bahwa pembinaan penting dilakukan dengan alasan ada aliran Kepercayaan yang dianggap perkembangannya tidak selaras dengan landasan falsafah negara. Meski adanya dukungan langsung dari Soeharto, perjalanan kelompok penghayat Kepercayaan untuk mendapatkan hak yang sama secara hukum tidaklah mudah.

Sekitar sepuluh tahun setelah pidato Soeharto itu, keluhan para penghayat Kepercayaan tetap saja masih berlangsung. Mereka umumnya mengalami penolakan saat hendak mencatatkan perkawinan adat ke catatan sipil. Wilayah Jawa Tengah, dilaporkan sudah tidak mau menerima lagi pencatatan perkawinan untuk kelompok penghayat Kepercayaan. Hingga dekade 1990-an, masih banyak kasus masih terjadi terkait hambatan pencatatan perkawinan karena persoalan yang sama.

Hingga pada akhirnya pada 7 November 2017, empat warga negara Indonesia bernama Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim berhasil memenangkan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) soal Pasal 61 ayat (1), (2) dan Pasal 64 ayat (1), (2) Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang dianggap merugikan mereka.

Hal itu utamanya karena mereka harus mengosongkan status pada kolom isian agama dalam kartu identitas tanda penduduk atau KTP. Padahal, kekosongan status tersebut dapat mempersulit mereka untuk mengakses berbagai hak administrasi sebagai penduduk. Misal: perkawinan, akta kelahiran, syarat masuk sekolah dan lain-lain.

Baca juga: Putusan MK dan Diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan

Meski keputusan itu akan melegakan bagi para penghayat Kepercayaan, persoalan administratif birokrasi tetap jadi dilema. Pertama, keputusan tetap perlu dibarengi oleh revisi Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang memang mensyaratkan hal itu. Hal ini tidaklah mudah. Menuliskan secara seragam pada kolom status agama dengan “penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” tentu mudah dilakukan.

Catatannya, ada variasi dan spektrum yang sangat luas dari keseluruhan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang masih ada, hadir dan berkembang. Jika ada ribuan kategori, apakah lantas semuanya akan ditulis satu persatu? Kedua, sampai hari ini masih belum ada data yang valid atas jumlah penganut Kepercayaan di Indonesia. Berapakah sebenarnya jumlah total para penghayat Kepercayaan di Tanah Air?

Jumlah Penghayat Kepercayaan Belum Pasti

Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010 (SP2010), jumlah penghayat Kepercayaan di Indonesia dapat dikatakan relatif kecil. Tercatat, kelompok penghayat Kepercayaan itu hanya berjumlah 299.617 orang, atau sekitar 0,13 persen dari total penduduk.

Angka itu didapatkan dengan melihat indikator kategori “Lainnya” sebagai jawaban di luar enam agama resmi. Meskipun, dalam SP2010 ini dimungkinkan bahwa para penghayat Kepercayaan mendaftarkan dirinya dengan salah satu dari status “agama” yang resmi.

Infografik Periksa Data Dilema Penghayat Kepercayaan

Sayangnya, data berapa sebenarnya jumlah penghayat Kepercayaan di Indonesia tidak pernah valid. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) misalnya, melalui Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi berada, memberi perkiraan sekitar 10-12 juta orang di seluruh Indonesia.

Padahal, kebutuhan data yang pasti dan valid, setelah adanya keputusan MK, sangatlah diperlukan. Hal ini terkait dengan perubahan ataupun penambahan isian status agama dalam kartu identitas tanda penduduk. Tidak pastinya jumlah penghayat Kepercayaan tentu dapat berakibat tidak terlaksananya dengan baik putusan MK itu.

Setelah adanya putusan MK, tentu nama masing-masing kelompok penghayat Kepercayaan berpeluang mendapatkan aspek legal pertama untuk menggunakan nama-nama tertentu. Kemendikbud mencatat ada 187 organisasi penghayat Kepercayaan diseluruh Indonesia, untuk tingkatan pusat.

Apa artinya? Andaikan data Kemendikbud itu benar adanya, tentu akan ada sekitar 187 nama status tambahan agama/kepercayaan dalam kolom isian KTP. Namun, tidak semua organisasi namanya lantas secara langsung tercatat di KTP.

Data Kemendagri ini belum disinkronisasi dengan data Kemendagri maupun Kemenag. Meski demikian, berapa pun jumlahnya organisasi itu, jelas akan memberi tantangan kesulitan bagi birokrasi dalam memasukkan indikator agama/kepercayaannya.

Mayoritas Ada di Pulau Jawa

Mayoritas organisasi penghayat Kepercayaan cenderung banyak di wilayah Pulau Jawa. Jawa Tengah menjadi wilayah pertama dan utama tempat organisasi penghayat Kepercayaan berada, dengan total sebanyak 53 organisasi (5 tidak aktif). Wilayah kedua terbanyak adalah Jawa Timur. Di wilayah itu, ada sebanyak 50 organisasi dengan 7 di antaranya tidak aktif.

Sementara di DI Yogyakarta ada 25 organisasi (6 tidak aktif), serta 7 organisasi di Jawa Barat (2 tidak aktif). Untuk di DKI Jakarta, ada 14 organisasi penghayat Kepercayaan dan 2 di antaranya tidak aktif.

Infografik Periksa Data Dilema Penghayat Kepercayaan

Dari gambaran itu saja, terlihat bahwa organisasi penghayat Kepercayaan sering timbul-tenggelam. Maksudnya, ada kenyataan bahwa organisasi penghayat Kepercayaan dapat saja tidak aktif, atau malah sedang tidak beraktivitas sama sekali. Artinya, daur hidup organisasi ataupun mobilitas dari kelompok penghayat Kepercayaan ini cenderung bersifat dinamis.

Sifat dinamis kelompok penghayat Kepercayaan itu memang kentara, bahkan sangat wajar dan dicatat juga oleh sejarawan Dennys Lombard. Dalam Nusa Jawa: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (1996:139), disebutkan soal "perkumpulan-perkumpulan kebatinan sering tidak bertahan lama dari masa hidup pendirinya."

Karena itu, pada umumnya, timbul dan hilangnya hanya berlangsung selama dua generasi". Yang dimaksud perkumpulan kebatinan dalam buku itu tidak lain adalah organisasi penghayat Kepercayaan. Artinya, memang secara khusus, tipe-tipe organisasi penghayat Kepercayaan cenderung wajar memiliki umur pendek.

Sebagai Cara Menjadi Serasi

Pada beberapa kasus, beragam contoh organisasi penghayat Kepercayaan dalam sejarah tercatat berjalan bersama dengan perjuangan kelompok pinggiran terhadap tatanan sosial yang ada. Gerakan “Ratu Adil” yang banyak berkembang di awal bad ke-19 misalnya, menjadi salah satu contoh bagaimana perkumpulan kebatinan menjadi sarana rakyat untuk memberontak terhadap sesuatu, namun tetap dalam kontur tatanan yang tidak berubah.

Bahkan, perkumpulan kebatinan yang menjamur banyak di Pulau Jawa itu, disebut Dennys Lombard sebagai gerakan-gerakan yang tidak tampil sebagai suatu "kemajuan", "perkembangan" atau "lompatan ke depan" seperti dalam masyarakat-masyarakat modern.

Beragam perkumpulan penghayat Kepercayaan cenderung lahir dari "dorongan goncangan positif yang dianggap mampu menghapuskan ketegangan yang tidak wajar demi tercapainya kembali keserasian dasar (halaman 166). Lombard, mengingatkan soal "konsep waktu tatanan agraris, yaitu suatu waktu yang tidak bergerak sama sekali dan seakan-akan terbayang "dalam kaca cermin".

Cara melihat seperti itu, bahkan terjadi juga dalam mata Presiden Soeharto, ketika berpidato hendak mengusulkan bagaimana sebaiknya kelompok penghayat Kepercayaan itu memang perlu dibina agar selaras dengan falsafah Negara.

[…] Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah kenyataan budaya yang hidup dan dihayati oleh sebagian bangsa kita. Pada dasarnya Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu merupakan warisan dan kekayaan rokhaniah rakyat kita. Kita tidak dapat memungkirinya begitu saja. … Oleh karenanya pembinaan-Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus diarahkan pada pembinaan budi luhur bangsa kita. Dalam pembinaan budi luhur itu jelas tercakup pembinaan sikap taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan rasa hormat terhadap agama yang dianut para penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sehingga makin kuatlah rasa keagamaan mereka […]

Dalam situasi yang sekarang, dampak langsung dari keputusan MK itu adalah pencacahan terhadap warga penghayat Kepercayaan yang memang mau tidak mau harus dilakukan. Meski itu tidaklah mudah.

Orang-orang penghayat Kepercayaan hidup dengan dinamis, mudah timbul tenggelam, sehingga prosedur administratif pencatatan rupanya akan mengalami tantangan hambatan. Termasuk, bagaimana menentukan istilah bagi mereka itu, apakah harus satu per satu nama perkumpulan, ataukah mereka dimasukan dalam kategori yang sama saja sebagai penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa?

Dari semuanya, usai putusan MK tetap membawa beban dilema tersendiri. Mereka mungkin akan sudah dimudahkan dalam administrasi kependudukan, tapi atas dasar administrasi itu pulalah, ekspresi yang beragam dari para penghayat Kepercayaan itu mungkin malah akan dipersamakan satu dengan yang lainnya.

Jika begini, apakah itu menguntungkan? Atau malah, inilah bagian dari semangat “pembinaan” itu yang sedari dahulu selalu diarahkan untuk mereka.

Baca juga artikel terkait ALIRAN KEPERCAYAAN atau tulisan lainnya dari Frendy Kurniawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Frendy Kurniawan
Penulis: Frendy Kurniawan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti