Menuju konten utama

Putusan MK dan Diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan

Para penghayat kepercayaan mengalami diskriminasi dalam proses pengurusan akta kelahiran, KTP, KK, hingga mendapat pekerjaan.

Putusan MK dan Diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan
Warga penghayat kepercayaan Ugamo Bangsa Batak berfoto bersama sambil memegang KTP usai menjadi saksi pada sidang lanjutan uji undang-undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (23/1). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf.

tirto.id - Para penghayat kepercayaan di Indonesia boleh bernapas lega. Perjuangan mereka mendapat pengakuan negara dalam catatan administrasi kependudukan lewat uji materi Undang-Undang Administrasi Kependudukan dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” demikian bunyi salinan amar putusan yang dibacakan Ketua MK Arief Hidayat, di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Selasa (7/11/2017).

Arif menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai termasuk "kepercayaan". Hal serupa juga berlaku untuk Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) yang dinilai MK tak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan secara jelas mengatur tentang informasi apa saja yang terdapat di dalam KK, yaitu: kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, dan nama orang tua.

Sedangkan Pasal 61 ayat (2) menyatakan penduduk yang agamanya belum diakui peraturan perundangan atau penghayat kepercayaan, maka informasi agama di dalam KK tidak perlu diisi. “Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”.

Saat Pasal 61 ayat (1) mengatur tentang informasi apa saja yang terdapat di dalam KK, maka Pasal 64 ayat (1) mengatur tentang informasi yang mestinya tercantum dalam KTP, yaitu: gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah negara Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya.

Baca juga:

Persoalan Diskriminasi

Persoalannya, seperti halnya Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (2) juga mengharuskan pengosongan kolom agama bagi para penganut agama yang belum diakui perundangan atau penghayat kepercayaan.

“Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”

Uji materi Pasal 61 ayat (1),(2), dan Pasal 64 ayat (1), (2) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24/2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan diajukan pada 28 September 2016.

Para pemohon yang terdiri dari: Nggay Mehang Tana selaku (pemohon I), Pagar Demanra Sirait (pemohon II), Arnol Purba ( pemohon III), dan Carlim (pemohon IV) merasa aturan yang terdapat dalam Pasal 61 ayat (1), (2) dan Pasal 64 ayat (1), (2) Undang-Undang Administrasi Kependudukan merugikan mereka.

Nggay Mehang Tana misalnya, seorang petani penganut kepercayaan Komunitas Marapu di Sumba Timur, Pulau Sumba, mengaku mengalami kesulitan dalam banyak hal. Sebagai contoh perkawinan antar-pemeluk kepercayaan dari Komunitas Marapu yang dilakukan secara adat tidak diakui negara. Akibatnya anak-anak mereka kesulitan mendapat akta kelahiran dan KTP elektronik. Untuk mendapatkan KTP elektronik dengan mudah, sebagian penganutnya terpaksa berbohong menuliskan agama di luar kepercayaannya pada KTP elektronik.

Padahal jumlah penganut kepercayaan Marapu di Sumba Timur berjumlah 21 ribu orang dan di Pulau Sumba sebanyak 40 ribu. Berdasarkan data yang digunakan MK, pada 2008 penganut kepercayaan Marapu menempati urutan ketiga setelah Kristen Protestan dan Katolik. Jumlah mereka terus menyusut secara drastis dari waktu ke waktu karena mengikuti aturan administrasi.

Baca juga:

Begitu pula Pagar Demanra Sirait. Penganut kepercayaan Parmalin ini mengaku mengalami berbagai permasalahan dalam pemenuhan hak-hak dasar dan kebijakan publik. Kepala lingkungan yang bertugas mengurus KK dan KTP elektronik misalnya, sering memaksa kelompok Parmalim memilih agama yang diakui agar proses pembuatan KTP elektronik lebih mudah.

Ia bahkan juga mengalami diskriminasi dalam bentuk kesulitan mengakses pekerjaan, tidak dapat mengakses hak atas jaminan sosial, kesulitan mengakses dokumen kependudukan seperti KTP elektronik, KK, Akte nikah, dan akte lahir. Padahal penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara tersebar di Kota Medan dan Deli Serdang.

Baca juga: Parmalim Menghadapi Diskriminasi dengan Welas Asih

Kemendagri Data Penganut Kepercayaan

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan putusan MK berimplikasi terhadap pencantuman aliran kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama di KTP elektronik. Tjahjo menyatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan kementerian agama dan kementerian pendidikan untuk mendapatkan data kepercayaan yang ada di Indonesia.

“Kemdagri melalui ditjen dukcapil akan memasukkan kepercayaan tersebut ke dalam sistem administrasi kependudukan,” ujar Tjahjo dalam keterangan tertulis kepada wartawan.

Mantan Sekretaris Jendral DPP PDIP ini mengatakan setelah data kepercayaan diperoleh pihaknya akan memperbaiki aplikasi SIAK dan aplikasi database. Ia juga mengatakan akan melakukan sosialisasi ke seluruh Indonesia.

“Kemdagri akan mengajukan usulan perubahan kedua UU Adminduk untuk mengakomodir putusan MK dimaksud,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait KOLOM AGAMA atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Hukum
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar