Menuju konten utama

Deni Nurjaman, Penyandang Disabilitas, Menantang Kemacetan Jakarta

Kisah seorang ayah dan anaknya yang bekerja dalam keterbatasan di tengah belantara Kota Jakarta.

Deni Nurjaman, Penyandang Disabilitas, Menantang Kemacetan Jakarta
Kodir membawa anaknya, Deni Nurjaman, saat berjualan rokok di Jl. MT Haryono, Jakarta. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Deni Nurjaman, 24 tahun, tidur di sebuah bantal gepeng seukuran 50x41 sentimeter di ruang tamu rumahnya. Tubuhnya separuh. Ia memiliki tangan yang panjangnya sampai siku, semakin ke ujung berbentuk kerucut. Kakinya hanya seperempat paha yang ujungnya ada beberapa jari tanpa tulang. Sablonan kaos di bagian dadanya selalu rusak, sebab ia lebih sering tengkurap.

Deni menjadi penyandang disabilitas sejak lahir. Di Jakarta, dari data yang tersedia mengenai disabilitas, ada 6.003 penyandang disabilitas pada 2015.

Deni dan ayahnya, Kodir, tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur. Rumah ini lembab dan remang pada siang hari karena tak ada satu pun lampu yang dinyalakan.

Pernah Deni mencoba kaki palsu, tapi ia terus terjatuh karena ujungnya licin. Ia juga sempat mencoba tangan palsu, tetapi percuma karena tak bisa ditekuk dan digerakkan.

Ketika Deni hendak menancapkan ujung kabel charger ke ponselnya, saya cekatan untuk membantunya tapi segera ia sergah. "Jangan bantu, gue bisa sendiri,” kata Deni. Senyumnya mengembang.

“Deni emang gitu. Dia dari kecil sudah merasa seperti orang normal saja. Dia mandiri,” sahut Kodir yang melintas dan menguarkan bau amis ayam.

Kodir, 63 tahun, menuju kamar mandi untuk melanjutkan membersihkan tiga potong ayam dan tujuh kilogram ceker ayam. Sebelumnya, ia membersihkan tata letak gerobak mi ayam di selasar rumah. Dengan modal Rp500 ribu sehari, Kodir mengantongi keuntungan bersih Rp200 ribu per hari. Seporsi mi ayam ia jual Rp16 ribu.

Benar saja, meski membutuhkan waktu agak lama, Deni bisa memasang charger ponsel sendiri. Bahkan dengan ujung tangannya yang membentuk kerucut, ia bisa mengetik cepat di layar ponsel. Deni juga lihai memasang earphone dan membuka beberapa bungkus wafer Beng-Beng.

Kesukaannya bercerita menjadikan Deni mudah bergaul dengan siapa pun. Dengan begitu ia jadi sangat mudah mengurus KTP hingga paspor.

Deni sering ke daerah Sumedang, rumah mertuanya. Di sana anaknya yang berumur 8 bulan dan istrinya menetap. Ia selalu diantar ayahnya ke terminal Kampung Rambutan. Tiba di terminal tujuan ia dijemput oleh istrinya.

Belakangan Deni bingung soal masalah kebutuhan keluarganya. Istrinya berjualan seblak. “Itu enggak cukup untuk penuhi kebutuhan. Saya ingin kerja jadi apa pun dan di mana pun untuk bantu istri,” keluhnya.

Deni menuturkan dulu pernah bertemu presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. “Dia tanya asli dari mana? Ke sini sama siapa? Tapi enggak ngasih apa-apa,” ujar Deni. Begitu juga dengan Presiden Joko Widodo yang pernah menyapa dengan mengusap-usap kepala Deni.

“Ini mungkin ujian dari Allah. Tapi Deni membawa berkah,” sambung Kodir yang datang membawa semangkuk mi ayam untuk saya sembari mengubah topik perbincangan.

Sejak Deni lahir, banyak warga sipil yang datang untuk memberikan bantuan, dari makanan, uang, mengajaknya syuting film, hingga umrah. Kodir bercerita semasih tinggal di Banjar, Cilacap, istrinya melahirkan bayi pria tanpa cacat di bagian tubuhnya. Mulai masa kanak-kanak barulah diketahui bahwa bayi itu menderita kelainan mental. Itu anak pertama Kodir yang menjadi kakak Deni.

Setelahnya, istrinya melahirkan Deni. Sama seperti sebelumnya, persalinan dibantu oleh dukun bayi.

“Pas dia sudah keluar, lah kok saya ngelihat enggak ada tangan dua-duanya. Enggak tahunya kakinya juga enggak ada,” ujar Kodir. Kala itu pekerjaan Kodir serabutan, dari buruh kebun, tukang bangunan, sampai jualan es krim.

Ketika Deni beranjak TK, Kodir kebingungan karena tak ada satu pun institusi pendidikan mau menerima anaknya. Akhirnya, bersama Deni, ia memutuskan pergi ke Jakarta pada 1998. Ia berharap dengan hijrah ke Jakarta, pendapatannya bisa meningkat.

Beberapa bulan tinggal di Jakarta, Kodir mendapat informasi bahwa anaknya bisa disekolahkan di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) di daerah Jakarta Selatan. Sejak umur 4 tahun hingga lulus SD, Deni disekolahkan di sana. Deni langganan peringkat pertama.

Namun mobilitas Deni terbatas. “Di YPAC, semuanya orang kaya, pakai mobil semua. Deni mobilnya digeret, yang geret bapaknya,” ujarnya.

Kodir berinisiatif membuat papan persegi panjang berukuran sekitar 50x40 sentimeter. Papan itu diberi empat roda di bagian bawah. Bagian atasnya dipasang tumpukan kasur busa. Bagian ujung diikat tali untuk ditarik. Alat mobilitas ini mirip mobil-mobilan yang hingga kini tetap dipakai oleh Deni.

Obrolan berhenti sejenak. Kodir membawa Deni untuk mandi. Tak ada pintu di kamar mandi seukuran 3x2 meter persegi yang penuh pakaian kotor itu. Bak mandi hanya berupa ember.

Menerjang Jakarta

Kodir menghidupkan Vespa tua PX80 di samping gerobak mi ayam. Cat di seluruh badan motor itu sudah terkelupas. Tak ada pelat nomor dan hanya ada satu spion. Motor ini pemberian seseorang dua tahun lalu.

“Dulu motor Yamaha Scorpio, Deni di depan. Pernah jatuh, buru-buru mau syuting. Nabrak mobil, Deni mental, lecet-lecet,” ujar Kodir menceritakan peristiwa pada akhir tahun 2006.

Deni naik di bagian depan vespa. Ia sejenak menyeimbangkan tubuh, lalu berdiri. Di kursi belakang, kotak asongan berisi rokok dan tisu diikat dengan tali. Motor melaju.

Mereka parkir di samping Kantor Badan Narkotika Nasional di Cawang, Jakarta Timur. Jaraknya sekitar 14,9 kilometer dari rumah kontrakan mereka. Kali ini keduanya memakai helm. “Dulu enggak pakai helm, ada operasi gabungan. Meski motor kayak gini enggak ditahan polisi, tuh,” kata Kodir.

Dari parkiran, mereka membeli beberapa bungkus rokok di warung langganan. Jika tak laku, rokok itu dikembalikan lagi.

Sudah dua belas tahun mereka menjual rokok dan tisu asongan dari Cawang ke Jembatan Semanggi. Jaraknya sekitar 10,2 kilometer. Kodir berjalan dengan menyeret Deni yang tengkurap di mobil-mobilan. Saat tengkurap, tinggi Deni hanya separuh dari ban mobil Toyota Innova yang melintas.

Infografik HL Wajah Minoritas

Di Indonesia, mengemis adalah perbuatan pidana, merujuk pasal 504 KUHP dengan ancaman kurungan selama enam minggu. Sedangkan di Jakarta, pengemis, pengamen, dan pedagang asongan bisa dijerat pidana sesuai pasal 40 Perda DKI Jakarta 8/2007 dengan ancaman kurungan selama 20 hari hingga 90 hari dan denda Rp500 ribu hingga Rp30 juta.

“Saya enggak mengemis atau meminta-minta. Mending kelaparan daripada minta-minta,” ucap Kodir.

“Saya berjualan. Tapi kalau ada yang ngasih rezeki ya saya terima."

Kodir meyakini bahwa ia dan anaknya mampu melawan stereotip bahwa penyandang disabilitas rentan menjadi miskin tanpa bantuan pemerintah.

Kodir memakai topi, celana, dan baju lengan panjang. Ia mengalungkan kunci motor dan peluit di lehernya. Di punggungnya melekat tas ransel. Di pundak kanannya menjalar tali dan kotak asongan, tangan kirinya menarik tali yang dikaitkan di mobil-mobilan Deni.

Suara derik roda mobil-mobilan Deni berputar, bertarung dengan derum knalpot motor, mobil, dan klakson yang selalu menghentak mereka. Mereka berjalan di pinggiran aspal. Pembangunan light rail transit (LRT) Jabodebek memakan badan trotoar jalan.

Mobil-mobilan itu bergetar dan terombang-ambing di atas jalan berangkal kerikil dan lubang. Untuk menjaga keseimbangan, Kodir mengerem mobil-mobilan dengan kaki kirinya. Kodir berulangkali harus berlari begitu mendengar suara klakson motor dan mobil di belakangnya.

“Maklum off-road,” kata Deni dengan tawanya yang gurih selepas mobil-mobilan yang ia naiki menghantam pembatas jalan.

“Harusnya pemerintah nyiapin jalan buat orang-orang kayak gue dan disabilitas lain,” lanjutnya. “Gimana coba kalau orang buta lewat sini?”

Sekitar satu jam kemudian mereka berhenti di ujung Jalan Pancoran Timur II yang mengarah ke Jalan Letjen MT Haryono. Di situ jalanan penuh. Motor dan mobil tak bergerak karena macet. Hanya bisa dipecah dengan peluit yang sedari tadi dikalungkan di leher Kodir.

“Kita istirahat dulu, ya. Mesinnya lemas,” kata Kodir sembari menunjuk dengkul kakinya.

Ia mengambil sebotol air dan menuangkan ke mulut Deni. Tak sampai tiga menit merentangkan kedua kaki, Kodir kembali berjalan.

Mereka menempuh waktu tiga jam dari Cawang ke Jembatan Semanggi. Sepanjang jalan itu ada enam orang memberikan uang, dua orang membeli rokok, dan satu orang memberi nasi bungkus. Dari Jembatan Semanggi, mereka berjalan kembali ke Cawang hingga pukul 23.54.

Nasi bungkus yang mereka terima itu diberikan ke pedagang asongan. Mereka sering melakukan itu, bahkan terkadang membeli sendiri nasi bungkus untuk diberikan ke pemulung atau pengemis yang mereka jumpai.

“Kasihan pemulung dan orang gila. Gue sih enggak masalah lapar, yang penting mereka makan. Pemerintah ke mana saja? Jangan urus diri sendiri saja,” ujar Deni.

Baca juga artikel terkait DISABILITAS atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Humaniora
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam