tirto.id - Pada 2015, WHO menyebut lebih dari 1 miliar orang menyandang disabilitas atau 15 persen dari populasi manusia. Angka ini jauh lebih tinggi dari estimasi yang dibuat WHO pada 1970-an yang memperkirakan persentasenya hanya 10 persen saja. Sementara itu, menurut hasil survei BPS 2012, seperti dikutip situs Kementerian Sosial, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia setidaknya ada 6 juta orang.
Dengan jumlah sebanyak itu, bagaimana pemerintah menjamin akses penyandang disabilitas terhadap kesejahteraan sosial, khususnya pekerjaan?
Tahun ini, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas yang mengatur hak-hak sosial bagi kelompok ini sudah disahkan. Dalam undang-undang itu, disebutkan bahwa setiap perusahaan swasta yang ada di Indonesia wajib mempekerjakan satu penyandang disabilitas setiap 100 orang pekerja, atau 1 persen.
Tak hanya swasta, instansi pemerintah pun punya kewajiban yang sama. Pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, serta Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan setidaknya 2 persen penyandang disabilitas dari seluruh jumlah pegawai atau pekerja.
Sanksinya pun tak main-main. Jika melanggar, ancaman pidana maksimal 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp200 juta menanti. Namun sayangnya, peraturan pemerintah ini belum banyak dilaksanakan.
Rubby Emir dari Saujana, lembaga sosial yang peduli terhadap isu difabel, berpendapat tak terpenuhinya quota penyandang disabilitas terjadi karena sosialisasi peraturan yang belum gencar. Selanjutnya, ia juga menunjuk tidak adanya pemberlakuan sanksi tegas dari pemerintah terkait kewajiban-kewajiban itu, dan ketiga, masih minimnya kualitas kerja dari kelompok difabel sendiri.
Rubby mengatakan, sebenarnya ada banyak perusahaan yang mau dan ingin mempekerjakan difabel, namun kurang sosialisasi dari pemerintah dan pelamar dari kelompok difabel.
Aplikasi Kerjabilitas: Jembatan bagi Penyandang Disabilitas
Untuk menjembatani kebutuhan itu, Saujana meluncurkan aplikasi dan situs kerjabilitas.com, situs jaringan sosial karier yang menghubungkan penyandang disabilitas dengan penyedia kerja inklusi di Indonesia. Situs ini menjadi penghubung antara penyandang disabilitas pencari kerja dan penyedia kerja. Penyandang disabilitas membuat akun di sini dan mengakses informasi tentang kesempatan kerja yang tersedia untuk mereka.
Kerjabilitas.com menjadi website jaringan karir pertama khusus penyandang disabilitas di Indonesia. Tentu bukan hanya untuk mencari kerja. Para penyandang disabilitas yang tergabung juga dapat menyuarakan opini mereka dalam forum komunikasi terkait isu-isu lain di sekitarnya. Ke depan, kata Rubby, juga akan ada usaha untuk menampung berbagai konten baik visual, audio, dan video, tentang kecakapan hidup (life skill) dan pengembangan diri untuk membantu penyandang disabilitas meningkatkan kapasitas mereka untuk bisa bersaing dalam dunia kerja.
Situs ini bermula dari kompetisi yang diselenggarakan Yayasan Wikimedia. Saat itu Wikimedia mendorong munculnya ide-ide kreatif untuk memecahkan masalah sosial dengan menggunakan ponsel. Kerjabilitas pun muncul berkat pembiayaan yayasan ini.
Berdasarkan liputan dari Dailysocial.id, tim Kerjabilitas terdiri dari 7 orang: 3 pengembang, 2 tim administrasi, dan sisanya fokus pada konten. Dua di antara mereka juga penyandang disabilitas. Dengan tim minim, Kerjabilitas sudah beberapa kali mendapat beasiswa pengembangan program dari Microsoft dan Google.
Sejak diluncurkan 23 Maret 2015, Id.techinasia menyebut pengguna aktif Kerjabilitas berjumlah lebih dari 800 orang, dari kelompok usia produktif antara 18 sampai 40 tahun. Sepanjang 2015 hingga 2016 sudah ada 4.000 penyandang disabilitas pencari kerja yang mendaftar, sementara mitra penyedia kerja yang membuka lowongan ada sekitar 500-an perusahaan.
"Sebanyak 4.000 orang itu seluruh Indonesia, tetapi kebanyakan Jawa, kedua Medan dan Makasar. Di pulau Jawa, nomer satu Jakarta, Jawa Barat, Jawa timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta," kata Rubby, seperti yang dikutip Kompas. Dari 4.000 orang pencari kerja, baru 37 yang diterima dan ditempatkan bekerja.
Rubby berpendapat bahwa ada banyak cara mengajak perusahaan menerima para penyandang disabilitas bekerja di tempat mereka. Misalnya dengan insentif pajak, melakukan sosialiasi peraturan pemerintah, dan memberikan penghargaan kepada perusahaan yang berinisiatif mempekerjakan para penyandang disabilitas. Sejauh ini ia merasa pemerintah kurang tegas dan kurang pro-aktif mengadvokasi hak para disabilitas ini.
Selain soal-soal di atas, ada juga masalah ak akuratnya data penyandang disabilitas yang ada di Indonesia. Seperti dikutip Gatra, Kepala Pusat Kajian Disabilitas FISIP UI Irwanto mengatakan hingga kini pendataan penyandang disabilitas di Indonesia masih bermasalah. Ini terlihat dengan tidak sinkronnya data Badan Pusat Statistik (BPS) yang sudah berbasis Internasional dengan data kementerian/lembaga terkait masalah sosial seperti Departemen Kesehatan, Departemen Ketenagakerjaan, dan Departemen Sosial. Data penyandang disabilitas yang tak akurat akan berdampak pada pemenuhan hak-hak mereka.
Sebaliknya, data yang akurat akan membantu pemerintah merumuskan kebijakan yang tepat. Misalnya memberikan kuota pekerjaan sesuai kemampuan di perusahaan yang ada di Indonesia, baik BUMN maupun perusahaan swasta. Pemerintah juga akan terbantu dalam merumuskan kebijakan-kebijakan terkait pendidikan dan jaminan sosial untuk penyandang disabilitas jika data yang tersedia bisa diandalkan.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani