tirto.id - “Biasa tidur cuma pake alas kardus. Selimutnya sarung. Kalau ada yang masuk angin, saling kerokan dan pijit gantian.”
Johan (38) mengatakan itu sambil memijat punggung seorang temannya. Gerimis baru saja berhenti pada Jumat sore itu (18/11). Tanah dan aspal, juga trotoar, masih basah. Ada tujuh orang duduk saling berdekatan. Mereka duduk berjajar di pedestrian yang terletak di depan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.
Di depan mereka berjejeran cangkul, belencong atau cangkul pembelah, dan linggis. Alat-alat itu menjadi tanda bahwa mereka siap menerima pekerjaan kasar. Macam-macam pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Dari menggali pondasi, membongkar rumah, menggali septic tank, gorong-gorong, hingga membersihkan got yang mampat.
Sudah belasan tahun mereka bekerja sebagai kuli paruh waktu. Disebut paruh waktu karena mereka memang tidak terlibat dalam sebuah proyek yang memberi kepastian pekerjaan selama rentang waktu tertentu. Paruh waktu: separuh nguli, separuh duduk mencangkung menunggu panggilan kerja.
Salah seorang dari mereka berdiri lalu berjalan ke arah sebuah warung. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa gelas plastik bekas minuman mineral yang sudah berisi kopi hitam. Tanpa ada yang mengomando, mereka mengubah formasi duduk: tadinya duduk berjajar lantas berbentuk lingkaran. Gelas kopi itu ditaruh di tengah lingkaran untuk diminum secara bergantian sambil ngobrol santai. Mereka berbicara dalam bahasa Sunda.
Warung tempat membeli kopi itu juga menjadi tempat Johan, dkk., berteduh di waktu malam. Berukuran sekitar 3x4 meter, beratapkan terpal biru ditopang 4 tiang kayu balok. Ada satu meja persegi panjang. Tak ada alas, bagian bawahnya tanah bewarna coklat kemerah-merahan. Jika musim hujan, tanah itu basah menyerupai tanah liat. Di samping kiri dan belakangnya menempel tembok kawasan Apartemen Kalibata City.
Seperti pada hari-hari yang lain, pada waktu-waktu yang telah menjadi rutin, Johan dan enam rekannya tertidur di atas terpal biru itu. Mereka tak bisa tidur seenaknya, sebab warung itu milik orang lain. Secapai-capainya, sengantuk-ngantuknya, mereka harus menunggu warung berhenti beroperasi. Biasanya di atas pukul 10 malam.
Beberapa rekannya yang lain tidur di lapak tenda buah-buahan persis di seberang Kalibata City. Sebagian lagi bermalam di bawah pohon mangga. Mereka menindih tanah dan rerumputan beralas kardus di halaman Kalibata City. Jika hujan turun tengah malam, mereka pindah tidur di halte TMP Kalibata.
Selepas salat subuh, Johan bergabung dengan rekan-rekannya yang duduk berjajar di pedestrian kiri Jalan Raya Kalibata. Johan biasanya duduk-duduk di sela jalan antara sisi kanan danau TMP Kalibata dengan Apartemen Kalibata City. Selepas pukul 17.00 WIB, barulah mereka mengakhiri rutinitas mangkalnya.
Johan berbadan pendek namun kekar. Lelaki berkulit gelap itu berkisah, biasanya upah diberikan setelah seluruh pekerjaan selesai. Namun kadang cerita tidak berjalan mulus. Pernah terjadi upah tidak segera dibayarkan walau pekerjaan sudah kelar.
Beberapa hari sebelumnya, mereka mengalami penundaan pembayaran hingga empat hari. Johan dan teman-temannya mendapat order menggali resapan air sebanyak enam lubang. Satu lubang dikerjakan empat orang. Tiap lubang dipatok 1 juta rupiah. Lokasi pekerjaan berada di seberang tempat mereka mangkal, tepat di samping kiri bagian depan Kantor Kementerian Dalam Negeri Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Jakarta Selatan.
“Itu sampai sekarang gak dibayar, orang Pemda. Padahal ngerjainnya 1 lubang sampai 2 hari. Itu panjang dan lebar 2 meter, dalamnya 5 meter,” tutur Johan.
Kejadian seperti itu bukan yang terburuk. Sudah sering Johan melewati hari demi hari tanpa ada pekerjaan. Ia sudah terbiasa berhari-hari mangkal namun hanya mendapatkan sekali pekerjaan saja dalam sebulan.
Johan berujar, pekerjaan sebagai kuli paruh waktu ini tersebar di empat titik. Ada di Tomang, depan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Cawang, Grogol, dan di Kalibata.
Toilet Darurat
Saat sedang berbicara dengan Johan, Asening (62) masuk ke dalam lorong got yang berada persis di belakang tempat kami berbicara. Got itu dalamnya sekitar sekitar 2 meter, dengan lebar sekitar setengah meter.
“Kalau berak masuk situ. Di dalam ada kali,” kata Johan.
Beberapa detik setelah kalimat itu diutarakan Johan, terdengar suara tawa Asening yang menggema di dalam toilet darurat itu. Entah apa yang membuat Asening tertawa.
Lorong got pojok kanan di bagian depan Apartemen Kalibata City bermuara ke lubang yang menyerupai goa. Pintu goa berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar setengah meter. Terdapat tangga yang mereka buat dari lapisan kayu. Ada lima anak tangga.
Di dalam suasana cukup gelap. Cahaya dari luar hanya lamat-lamat saja sampai di dalam. Bukan hanya gelap, tapi juga pengap. Sudah pasti: bau busuk. Dari luar saja, sesekali tercium bau menyengat. Apalagi jika berada di dalam sana.
“Kenikmatan” saat berak sembari menghisap rokok, dengan pikiran melayang tak tentu tuju, mustahil bisa dilakukan oleh Johan, dkk. Segalanya harus dilakukan dengan cepat, ringkas. Tai sudah keluar dari lubang pantat atau belum, toh sergapan bau busuk sudah tak tertahankan.
Tak ada kegiatan membersihkan pantat yang memadai tiap kali mereka nungging untuk buang air besar. Seadanya. Secukupnya. Sebab perkara harus beres selekas-lekasnya.
“Gak pake sabun lah,” ungkapnya diiringi gelak tawa teman-temannya.
Ada berapa orang yang rutin memanfaatkan lubang got itu sebagai toilet? 40 orang!
Johan berasal dari Majalengka, 198 kilometer dari Kalibata. Rekan-rekannya yang lain macam-macam asalnya. Ada yang juga dari Majalengka, ada yang berasal dari Sumedang.
Johan mulai bekerja sebagai kuli paruh waktu sejak 2001 silam. Dari dulu, setiap pergi dari kampung halaman ke Jakarta, dia hanya membawa 3 kaos, 1 celana panjang, 1 celana pendek, dan peralatan kuli. Tak lebih, tak kurang.
“Ya kalau kerja pakai celana pendek, nyebur-nyebur dah kalau lagi bersihin got yang mampet,” ucapnya.
Jika ingin mandi, Johan dan teman-temannya pergi ke pos penjagaan yang berada di pojok kanan TMP Kalibata. Datang sembari menenteng timba, Johan mengambil air dari danau TMP Kalibata. Air di danau tersebut dipakainya untuk mencuci pakaian dan mandi.
Pendatang yang Bertaruh di Sektor Informal
Johan dan Asening sama-sama berasal dari Majalengka. Mereka mengaku tak memiliki sepeda motor atau bahkan sawah seperti kebanyakan tetangganya. Makanya selepas musim tanam dan panen padi, semangka, atau bawang, mereka berdua hijrah ke Jakarta. Sebab para pemilik sawah tak akan memperkerjakan mereka di musim kemarau. Mereka menjadi buruh tani di kampung dan menjadi kuli saat mendamparkan nasib di Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS) membagi pekerjaan ke dalam tujuh kategori yaitu (1) berusaha sendiri, (2) berusaha dibantu buruh tetap, (3) buruh/karyawan, (4) berusaha dibantu buruh tidak tetap, (5) pekerja bebas di pertanian, (6) pekerja bebas di nonpertanian dan (7) pekerja keluarga/tidak dibayar.
Dari tujuh kategori itu, pekerja formal mencakup kategori berusaha dengan dibantu buruh tetap dan kategori buruh/karyawan. Sisanya termasuk pekerja informal. Johan dan Asening masuk kategori pekerja bebas di pertanian saat menjadi buruh tani penggarap di kampung halamannya masing-masing. Saat bekerja sebagai kuli paruh waktu, Johan dan Asening masuk kategori pekerja bebas nonpertanian.
Dari Agustus 2014 sampai Agustus 2015, menurut data BPS, jumlah pekerja informal sebenarnya berkurang. Pada Agustus 2014 mencapai 59,38% menjadi 57,76% pada Agustus 2015. Hanya saja, jumlah pekerja yang masuk kategori pekerja bebas baik di pertanian maupun di non pertanian justru relatif tidak berubah.
Dalam kolom yang diterbitkan Kompas pada 2010, “Ekonomi Informal di Tengah Kegagalan Negara”, Didik Rachbini mengungkapkan bahwa sektor informal menjadi penyangga distorsi sistem ekonomi yang memiliki peranan sangat penting. Menurutnya, aspek kebijakan berupa payung hukum terkait pembangunan ekonomi harus ramah terhadap sektor informal.
Dia menilai, sektor informal bagian dari ekonomi rakyat, maka dari itu secara normatif-legal harus ada arahan aksi kebijakan afirmatif. Selain itu peranan Kementerian Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah sangat diperlukan, termasuk Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara dan menteri sektoral lainnya. Kerja kolektif untuk memajukan sektornya masing-masing merupakan kebijakan yang baik untuk mengembangkan sektor formal dan menyusutkan jumlah sektor informal.
Para pekerja sektor informal ini hidup dalam situasi yang serba minimal. Risiko kerja yang sangat tinggi, rendahnya kesadaran akan bahaya pekerjaan, kerja fisik yang berat dan jam kerja tak tentu, keterbatasan sumber daya untuk meningkatkan kondisi lingkungan kerja, minimnya akses pada layanan kesehatan dan jaminan sosial lainnya, serta upah yang sangat tentatif alias bergantung kepada banyak faktor. Salah satunya: negosiasi.
Proses negosiasi dilakukan setiap ada orang yang datang mencari kuli. Misalnya terkait penggalian septic tank, Johan dan rekan-rekannya memasang tarif antara Rp 1,5 juta, Rp 1 juta, atau yang terendah Rp 700 ribu. Itu semua tergantung ukuran yang diminta. Masing-masing pekerjaan menggali septic tank akan digarap 4 orang kuli paruh waktu.
Setelah proses negosiasi selesai, pengangkutan para kuli ke lokasi pekerjaan menjadi tanggung jawab pemberi pekerjaan. Johan menuturkan terkadang dia bersama rekannya dibawa ke daerah Blok M, Sunter, Bogor, hingga Tangerang. Kadang pemberi kerja menyewakan ojek, memberikan ongkos angkot, hingga membawa mereka menggunakan truk bak terbuka.
Nasib mereka memang tidak menentu dibandingkan kuli-kuli yang datang ke Jakarta karena diajak para pemborong atau mandor sebuah proyek. Untuk kuli-kuli seperti ini, mereka punya kepastian yang lebih baik. Sejak dari kampung mereka sudah tahu besaran upah yang akan diterima.
Selain itu, urusan tempat tinggal juga relatif jauh lebih baik. Para pemborong atau mandor yang membawanya sudah menyiapkan tempat tinggal, setidaknya berupa rumah-rumah bedeng dari triplek. Cukup lazim kuli-kuli jenis ini juga mendapatkan uang makan.
Kuli-kuli jenis terakhir inilah yang bisa disebut “kuli penuh waktu”. Mereka bekerja seharian dan sudah pasti bekerja. Bahkan mereka pun menerima upah tambahan jika pekerjaan memaksa harus lembur.
Kuli penuh waktu ini tidak harus bernegosiasi seperti Johan dan Asening. Bukan hanya bernegosiasi soal upah, tapi juga bernegosiasi dengan nasib: apakah ada pekerjaan hari ini?
Terbiasa Saling Berutang
Asening datang pertama kali ke Jakarta 26 tahun silam, pada 1990. Saat itu Apartemen Kalibata City belum dibangun. Kawasan tersebut masih berupa kebun karet.
Satu hal yang diingat Asening, saat tiba di Kalibata sudah ada sekitar 40 orang yang bekerja sebagai kuli paruh waktu. Asening dan Johan sama-sama datang ke Jakarta untuk memulung remah-remah kue pembangunan yang saat itu sedang berlimpah-limpah di Jakarta.
“Waktu jaman Pak Suharto banyak kerjaan,” keluh Asening.
Teknologi memang semakin meminggirkan manusia. Pekerjaan yang dulu dilakukan oleh manusia, sudah banyak yang digantikan oleh mesin. Lebih cepat, lebih murah. Jauh lebih sangkil dan mangkus. Pendeknya: lebih terukur proses dan hasilnya.
“Pak Jokowi nyuruh banyak kerja tapi nggak nyuruh kuli, pakainya alat. Banyak alat berat sekarang,” lanjut Asening.
Mereka juga mengeluh karena Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), lebih memilih memperkerjakan pasukan kuning. Pasukan tersebut tak bekerja paruh waktu seperti mereka, namun bekerja secara rutin, mendapat penghasilan tetap, dan bekerja di bawah naungan setiap kecamatan di masing-masing wilayah.
Di sela percakapan, telepon genggam Asening berbunyi. Dia menjauh sejenak. Dari jarak yang cukup jauh, ia masih cukup jelas terlihat. Saat berbicara, ekspresinya relatif datar. Usai menerima telepon, Asening bercerita menghubunginya adalah salah satu dari empat cucunya.
“Namanya juga berkeluarga. Kangen sama anak, istri, dan cucu. Kalau bisa tiap hari pulang,” ungkapnya sambil menunduk, enggan menatap lawan bicaranya.
Lantas Johan mengeluarkan telepon genggam miliknya dari tas kecil yang sedari tadi menggelantung di bahu. Telepon genggam itu dia beli seharga Rp 265 ribu. Dengan uang simpanan seadanya, dia rutin membeli pulsa seminggu dua kali seharga Rp 5 ribu, untuk sekedar berkomunikasi dengan istri dan dua anaknya.
“Pulsa biasa beli 5 ribu. Sebelum nelpon, dipaketin dulu, paket siang atau malam, biar murah,” kata Johan.
Dalam satu hari, Johan bisa menghabiskan Rp 50 ribu hingga Rp 80 ribu. Jika dikalkulasi, dalam sebulan membutuhkan uang minimal Rp 2,4 juta. Namun dalam sebulan, penghasilan terbesar mereka pernah hingga Rp 2,5 juta. Paling banyak dia menstransfer uang ke keluarganya di kampung halaman sebanyak Rp 500 ribu. Sehari biasanya dia makan dua kali dan menghabiskan satu bungkus rokok.
Soal utang, rekor paling tinggi dipegang Asening. Dia pernah berutang di warung tempatnya menginap hingga Rp 1 juta. Selain Asening, Johan juga tak segan berutang ke warung langganannya tersebut.
“Sekarang saja duit cuma 50 ribu di dompet. Pernah sampai puasa gak makan,” tutur Asening.
Biasanya Johan dan Asening pulang sekali dalam sebulan. Jika lebih dari sekali, pasti karena ada faktor lain seperti keluarga meninggal, hajatan, atau musim tanam atau panen di kampung halaman tiba. Untuk pulang kampung, biasanya mereka menghabiskan dana sebanyak Rp 100 ribu untuk biaya transportasi saja. Jika tak punya, antar sesama pekerja kuli paruh waktu sudah terbiasa saling utang.
“Ya saling pinjam duit sudah biasa. Pinjam ke yang punya simpanan,” paparnya.
Terkait tempat bermalam, pada 2004 silam, mereka berdua bersama 4 rekannya sempat menyewa rumah kontrakan seharga Rp 300 ribu tiap bulan. Namun lima bulan kemudian, mereka memutuskan tak lagi menyewa kontrakan. Johan mengaku uang untuk menyewa kontrakan sebenarnya cukup, apalagi dibagi 4 orang. Hanya saja, sisa uang untuk dikirim ke keluarga di kampung menjadi berkurang.
Mereka memutuskan untuk keluar dari kontrakan. Dan terdamparlah mereka di sana, setiap malam: di warung di dekat TMP Kalibata, atau di emperan Kalibata City.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Zen RS