tirto.id - Hasil survei terbaru Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan pengaruh intoleransi dan radikalisme menjalar ke banyak sekolah dan universitas di Indonesia.
Menurut survei ini, terdapat 51,1 persen responden mahasiswa/siswa beragama Islam yang memiliki opini intoleran terhadap aliran Islam minoritas, yang dipersepsikan berbeda dari mayoritas, seperti Ahmadiyah dan Syiah. Selain itu, 34,3 persen responden yang sama tercatat memiliki opini intoleransi kepada kelompok agama lain selain Islam.
Survei ini juga menunjukkan sebanyak 48,95 persen responden siswa/mahasiswa merasa pendidikan agama mempengaruhi mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain. Lebih gawat lagi, 58,5 persen responden mahasiswa/siswa memiliki pandangan keagamaan pada opini yang radikal.
Saiful Umam, Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta, menjelaskan survei lembaganya menyimpulkan pengaruh intoleransi dan radikalisme di kalangan generasi Z Indonesia, yakni mereka yang lahir setelah 1995, dapat dikatakan dalam kondisi seperti “api dalam sekam”.
“Survei ini menganggap bahwa kondisi keberagamaan siswa dan mahasiswa mempunyai potensi yang harus diwaspadai. Itu mengapa kami menggunakan istilah “Api dalam Sekam”. Di satu sisi, memang belum menyala, itu betul, tapi ada potensi untuk menjadi api,” kata Saiful kepada Tirto usai acara peluncuran hasil survei itu di Hotel Le Meridien, Jakarta, pada Rabu (8/11/2017).
Tidak hanya siswa, survei ini menyimpulkan guru dan dosen juga memiliki potensi menjadi intoleran. Menurut survei ini, setidaknya 64,66 persen guru dan dosen menjadikan Ahmadiyah di urutan pertama sebagai aliran Islam yang tidak disukai. Diikuti Syiah di posisi kedua dengan 55,6 persen. Selain itu, 44,72 persen guru dan dosen juga tidak setuju dengan desakan agar pemerintah harus melindungi penganut Syiah dan Ahmadiyah.
Survei ini menggunakan alat ukur kuesioner digital dan implicit association test terhadap 1.522 siswa, 337 mahasiswa, dan 264 guru di 34 provinsi. Setiap provinsi diwakili oleh satu kabupaten dan satu kota yang dipilih secara acak. Survei dilakukan dalam rentang waktu 1 September sampai 7 Oktober 2017.
Yunita Faela Nisa, Koordinator Survei PPIM UIN Jakarta, menjelaskan survei ini menunjukkan bahaya polarisasi informasi keagamaan di sosial media karena adanya algoritma yang sifatnya membatasi diversifikasi informasi. Untuk itu, diperlukan kerja sama antara institusi pendidikan, orang tua, maupun organisasi masyarakat untuk memberikan pendidikan agama yang kritis, toleran dan terbuka.
Dia menjelaskan demikian karena temuan lain dari survei ini adalah sebanyak 54,87 persen generasi Z mencari pengetahuan agama melalui internet, seperti blog, website dan media sosial. Akibatnya, pendidikan agama tidak hanya bersumber dari pendidikan formal, melainkan juga linimasa ulama-ulama yang memiliki akun di media sosial.
“Misalnya organisasi masyarakat harus bertanggung jawab juga. Kalau yang moderat tentunya dia harus lebih banyak juga memberikan konten-kontennya di media sosial. Kemudian, orang tua juga sama, sinerginya harus mulai dipikirkan, terutama dunia pendidikan,” kata Yunita.
Bedasarkan survei ini, PPIM merekomendasikan tiga hal. Pertama, pengembangan literasi keagamaan melalui pembelajaran mengenai berbagai agama dan kepercayaan. Kedua, reformasi rekrutmen dan pelatihan guru pengajar Agama Islam. Ketiga, pendidikan keagamaan yang terbuka, toleran dan inklusif.
Menanggapi hasil survei ini, Kamaruddin Amin, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, mengatakan bahwa saat ini sedang dilakukan berbagai strategi untuk mencegah pendidikan agama yang radikal.
“Kami telah melakukan, dan sedang melakukan langkah-langkah antisipasi untuk mengarusutamakan pemahaman agama yang moderat untuk mengantisipasi gerakan radikalisme,” kata Kamarudin.
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Addi M Idhom