tirto.id - Perang dagang yang memanas antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan Cina, telah memasuki masa jeda usai dua negara setuju untuk menurunkan tarif impor satu sama lain selama 90 hari. Kesepakatan ini menjadi angin segar, meski sementara, dalam hubungan dagang yang selama ini diwarnai aksi saling balas menaikkan tarif.
Berdasarkan hasil yang dicapai dari pertemuan di Jenewa, Swiss, pekan lalu, AS akan memangkas tarif atas produk-produk asal Cina dari sebelumnya 145 persen menjadi 30 persen. Sebagai balasan, Beijing juga menurunkan tarif terhadap barang-barang asal Washington DC, dari 125 persen menjadi 10 persen.
Mengutip laman resmi Gedung Putih, pemerintah AS dan Tiongkok mengakui pentingnya hubungan ekonomi dan perdagangan bilateral antara dua negara yang berkelanjutan, dapat berlangsung dalam jangka panjang dan saling menguntungkan. Karena itu, kedua negara bermufakat melakukan gencatan tarif dan merefleksikan kebijakan perdagangan internasional masing-masing.
"Para Pihak sepakat untuk mengambil langkah-langkah berikut selambat-lambatnya pada 14 Mei 2025," demikian pernyataan bersama yang dirilis Gedung Putih tentang Pertemuan Ekonomi dan Perdagangan AS–Cina di Jenewa, Senin (12/5/2025).
Berakhirnya aksi saling balas tarif tersebut mendapat sambutan positif dari pemerintah Indonesia. Sebab, kemajuan hubungan dagang antara kedua negara ini akan memudahkan langkah negara-negara lain untuk melakukan negosiasi lebih lanjut dengan Trump.
Apalagi, selain Cina, AS juga bersepakat dengan pemerintah Inggris untuk menurunkan tarif perdagangan dari negara kerajaan tersebut. Pada 8 Mei 2025, misalnya, AS menyetujui penurunan tarif pajak impor mobil menjadi 10 persen, dari sebelumnya 25 persen.
Selain itu, Trump juga memangkas seluruh tarif impor baja dan aluminium dari yang sebelumnya ditetapkan 25 persen—kendati tarif bea masuk sebesar 10 persen yang juga diberlakukan Gedung Putih kepada negara-negara mitra dagangnya masih berlaku.
Sebagai timbal balik, Inggris telah menyetujui akses pasar daging sapi ke AS dengan kuota sebesar 13 ribu metrik ton, tanpa harus melonggarkan standar keamanan pangannya, serta menghapus tarif impor etanol dari AS.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menilai bahwa hasil negosiasi tersebut memberikan arah yang positif bagi banyak negara untuk mencapai kesepakatan yang lebih menguntungkan dengan AS—termasuk Indonesia.
“Pertama, tentu kita menyambut baik hasil pembahasan yang selesai dengan Inggris dan Cina," ujarnya di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (16/5/2025). “Tim teknis sudah bertukar informasi, tapi prosesnya kita ikuti saja,” sambung Airlangga.
Perlu Tetap Waspada
Pakar Ekonomi dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, melihat kesepakatan yang berhasil dicapai AS dan Tiongkok menjadi titik balik penting dalam dinamika ekonomi global. Pasalnya, kesepakatan ini akan membuka jalan bagi deeskalasi konflik dagang yang selama ini menciptakan ketidakpastian luas di pasar keuangan, memperlemah rantai pasok, dan mendorong lonjakan harga berbagai komoditas dunia.
“Dengan latar belakang tarif AS yang sebelumnya melonjak hingga 145 persen untuk produk Tiongkok dan pembalasan Tiongkok dengan tarif 125 persen, kesepakatan ini secara langsung menstabilkan ekspektasi pasar,” ujarnya, dalam keterangan yang diterima Tirto, Jumat (16/5/2025).
Penurunan ketegangan dagang antara AS dan Cina ini jelas harus dijadikan peluang oleh Indonesia, terlebih untuk memperluas pasar ekspor dan memperkuat posisi tawar dalam rantai pasok global. Dengan berkurangnya tekanan harga dari gangguan pasokan dan melonjaknya biaya produksi akibat tarif, dunia usaha Indonesia berpotensi mendapatkan akses yang lebih kompetitif ke pasar global.
“Dari sektor manufaktur, peluang untuk meningkatkan ekspor ke Tiongkok dan AS bisa terbuka jika kedua negara mulai mencari mitra dagang baru untuk menggantikan produk yang sebelumnya terkena tarif tinggi,” imbuhnya.
Namun di lain sisi, Indonesia harus waspada terhadap kemungkinan pembelokan arus perdagangan (trade diversion). Sebab, normalisasi hubungan dagang tersebut membuat sejumlah peluang ekspor Indonesia akibat disrupsi tarif bisa kembali direbut oleh Cina.
Karena itu, strategi negosiasi bilateral dan peningkatan daya saing domestik menjadi sangat penting untuk menjaga momentum perdagangan nasional.
Di samping itu, perang dagang antara Trump dan Xi Jinping sebelumnya sebenarnya merupakan peringatan keras bagi seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, yang menganut model pertumbuhan berbasis ekspor sebagai jalur utama menuju pembangunan ekonomi sebuah negara.
Sebab, ketika dua negara dengan skala ekonomi raksasa berkonflik, guncangannya terhadap banyak negara tak main-main. “Negara berkembang harus mulai mempertimbangkan ulang strategi mereka. Ketahanan ekonomi tak bisa hanya bergantung pada pasar global, perlu diversifikasi, inovasi domestik, dan kekuatan pasar dalam negeri,” tegas Syafruddin.
Dalam hal Indonesia, pemerintah harus mempertahankan posisi bebas aktif dalam menghadapi konflik dagang global. Ketimbang terjebak dalam kutub AS atau Cina, Indonesia perlu fokus memperkuat diversifikasi pasar ekspor, meningkatkan efisiensi logistik, dan memperbaiki iklim investasi. Sebab, kebijakan tarif yang fluktuatif menciptakan ketidakpastian yang hanya dapat ditangkal dengan fundamental ekonomi yang kuat.
Belum diberlakukan saja, kebijakan tarif resiprokal sudah berdampak pada penyusutan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada kuartal I 2025, laju ekonomi nasional hanya mencapai 4,87 persen secara tahunan (year on year/yoy), melambat dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 5,11 persen (yoy).
Sayangnya, ungkap Syafrudin, kinerja ekspor Indonesia ke AS maupun Tiongkok pada April—saat Trump mulai mengumumkan kebijakan tarif resiprokal—, belum bisa dilihat lantaran Badan Pusat Statistik (BPS) mengundur jadwal rilis data neraca dagang dari setiap tanggal 15 menjadi Juni mendatang.
“Dengan partisipasi aktif dalam forum regional seperti ASEAN, Indonesia dapat memperkuat bargaining power-nya dalam menyusun perjanjian dagang yang adil. Dukungan terhadap multilateralisme dan penegakan peraturan perdagangan berbasis WTO juga menjadi penting agar negara berkembang tidak menjadi korban perseteruan negara besar,” tambah Syafruddin.
Meski begitu, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, melihat bahwa dampak deeskalasi perang dagang ini hanya bersifat sementara. Sebab, kesepakatan pemangkasan tarif antara AS dan Cina juga masih akan ditinjau ulang setelah 90 hari. Lagi pula, baik AS maupun Cina atau AS dengan Inggris masih saling menetapkan tarif perdagangan.
Artinya, saat kebijakan tarif belum dihapuskan, perlambatan ekonomi dunia, termasuk Indonesia masih sangat mungkin terjadi. “Jika eskalasi perdagangan ini berlanjut, maka pertumbuhan ekonomi global pun juga bisa melemah lebih jauh sehingga ini akan bisa menurunkan permintaan eksternal termasuk ekspor Indonesia,” kata Josua dalam webinar yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jumat (16/6/2025).
Kendati begitu, menurutnya, berlanjutnya perang tarif diprediksi akan berdampak terbatas bagi ekonomi domestik yang lebih dari separuh ditopang oleh konsumsi rumah tangga. “Oleh sebab itu, reformasi struktural tetap harus dijalankan dan dipercepat dalam rangka memperkuat ekonomi domestik kita ke depannya,” jelas Josua.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































