Menuju konten utama

Mengapa Harga BBM Malaysia Bisa Lebih Murah dari Indonesia?

Berdasarkan data Global Petrol Price, Malaysia menempati peringkat ke-10 termurah, sedangkan Indonesia berada di posisi ke-22.

Mengapa Harga BBM Malaysia Bisa Lebih Murah dari Indonesia?
Pengendara sepeda motor antre mengisi BBM di salah satu SPBU kawasan Pancoran, Jakarta, Selasa (1/10/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.

tirto.id - Perhatian masyarakat terhadap isu bahan bakar minyak (BBM) bergeser dalam dua hari terakhir. Semula soal kelangkaan stok di SPBU swasta, kini soal harga jual BBM subsidi yang ditetapkan pemerintah. Pemantiknya sederhana: kebijakan baru di negara tetangga.

Sebab pada Senin (22/9/2025) pagi, Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar Ibrahim memaklumatkan penurunan harga BBM RON 95 dari 2,05 ringgit menjadi 1,99 ringgit—setara Rp7.906 (kurs Rp3.973/ringgit Malaysia)—per liter. Keputusan tersebut berlaku efektif mulai 30 September 2025 di bawah payung program Bantuan Subsidi Madani.

Bagi pengguna kendaraan bermotor di Indonesia, kabar tersebut terasa menyesakkan setidaknya karena dua hal. Pertama, Malaysia memberi subsidi pada bensin berkualitas RON 95. Kedua, harganya jauh lebih murah dibanding Pertalite—BBM bersubsidi RON 90—yang dijual Rp10.000 per liter.

RON atau Research Octane Number adalah ukuran kualitas bensin, yang menunjukkan seberapa tahan bahan bakar terhadap gejala knocking alias bunyi ketukan akibat pembakaran tak sempurna di mesin. Semakin tinggi angka RON, semakin stabil kinerja mesin: lebih halus, efisien, dan awet.

Tak heran, kualitas tinggi biasanya berbanding lurus dengan harga. Di SPBU Pertamina, Pertamax Green 95 dijual Rp13.000 per liter. Shell menawarkan V-Power setara RON 95 seharga Rp13.140, dan Vivo membanderol Revvo 95 di harga yang sama.

Meski begitu, kesenjangan harga bensin Indonesia-Malaysia bukanlah cerita baru. Data Global Petrol Price per 22 September 2025 mencatat, harga rata-rata RON 95 di Malaysia sebesar 0,488 dolar AS per liter, sementara Indonesia 0,756 dolar. Dari 149 negara yang disurvei, Malaysia menempati peringkat ke-10 termurah, sedangkan Indonesia berada di posisi ke-22—sebuah peringkat yang tak banyak berubah dalam kurun lima tahun terakhir.

Perbedaan harga BBM antara Indonesia dan Malaysia tersebut tak lepas dari perbedaan kapasitas produksi serta kebijakan subsidi.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menjelaskan bahwa Malaysia mampu memberikan subsidi besar karena produksi BBM mereka relatif lebih tinggi dibanding jumlah penduduk. Negeri jiran itu menghasilkan sekitar 639,92 ribu barel per hari hingga 2025, sedangkan Indonesia hanya 578 ribu barel per hari pada semester I 2025.

"Di Malaysia itu diberikan subsidi karena produksinya kan lebih secara relatif, lebih besar di sana dibandingkan jumlah penduduknya. Penduduknya (Malaysia) gak sebanyak kita, jadi dengan kemampuan produksinya mereka, mereka masih bisa mensubsidi," kata Komaidi pada Tirto.

Menurut Komaidi, faktor lain yang membuat harga BBM di Indonesia lebih mahal adalah biaya bahan baku dan distribusi. Meski begitu, ia menegaskan kualitas BBM di kedua negara tidak berbeda.

"Yang paling besar bahan baku 70 persen, yang 30 persen itu terbatas pada margin, processing, kilang, dan lainnya. Tapi kalau segi kualitas di RON yang sama, misalnya di RON92, ya pasti sama (kualitasnya)," paparnya.

BBM bersubsidi di Indonesia, yakni Pertalite dan Biosolar, juga selalu dilanda isu inefisiensi karena dinilai tidak tepat sasaran. Problemnya beragam, mulai dari data kependudukan yang tidak valid, tumpang tindih data, hingga koordinasi lintas instansi dalam memitigasi kebocoran subsidi.

"Kalau data kependudukannya oke, harusnya (masyarakat bisa diberikan) subsidi langsung, jadi harga di SPBU sama, nanti yang miskin bisa mendapatkan langsung cash transfer gitu, sehingga tidak seperti sekarang yang gak tepat sasaran, yang punya mobil dapat banyak gitu kan, saya kira itu gak fair. Cuma ya problemnya data kependudukan harus valid," ujarnya.

Selain itu, tantangan distribusi juga membuat harga di Indonesia lebih mahal. "Di kita (pendistribusiannya) paling kompleks di dunia sih, ada yang lewat pipa, ada yang pakai mobil tangki, bahkan ada yang pakai pesawat gitu. Jadi biografis itu menentukan (harga)," kata Komaidi.

Sementara itu, Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Galau D. Muhammad, menilai perbedaan utama antara kebijakan subsidi BBM Indonesia dan Malaysia adalah keberanian politik dalam melakukan kebijakan harga BBM.

Apa yang disampaikan Galau sejalan dengan Laporan Picodi yang dikutip The Malaysian Reserve, di mana Malaysia berada di peringkat kelima dalam hal rasio harga bensin paling terjangkau dengan gaji rata-rata—setelah mengesampingkan negara-negara Timur Tengah.

Satu orang warga Malaysia dapat membeli 1.707 liter bensin dengan satu kali gaji sebulan. Selandia Baru berada di peringkat keempat dengan 1.852 liter, sedangkan Korea Selatan di peringkat ketiga dengan 1.908 liter.

“Kalau di Malaysia, pemerintah memahami betul bahwa BBM adalah fondasi kebutuhan harian masyarakat. Ketika harganya dijaga tetap terjangkau, ekonomi riil ikut berputar,” ujar Galau pada Tirto.

Ia menambahkan, Malaysia mengalokasikan sekitar 8,5 persen APBN untuk subsidi energi, sementara Indonesia hanya 2,8 persen. Dengan anggaran yang jauh lebih kecil, sulit bagi pemerintah menekan harga BBM.

Galau juga menyinggung masalah korupsi dan lemahnya tata kelola Pertamina yang membuat distribusi boros dan harga tetap tinggi. Minimnya investasi kilang selama dua dekade terakhir membuat Indonesia bergantung pada impor, sehingga rentan terhadap fluktuasi harga minyak global dan nilai tukar rupiah.

“Hari ini independensi lembaga seakan hanya banyolan institusional. Ada impunitas teknokratik, intervensi politik, dan lemahnya pengawasan,” tegas Galau.

Baca juga artikel terkait BBM atau tulisan lainnya dari Natania Longdong

tirto.id - Insider
Reporter: Natania Longdong
Penulis: Natania Longdong
Editor: Hendra Friana