Menuju konten utama

Mempropagandakan Film Seram G30S PKI

Film yang penuh pabrikasi soal peristiwa 1965 ini bakal kembali disiarkan oleh setidaknya dua stasiun teve di tengah histeria anti-komunis.

Mempropagandakan Film Seram G30S PKI
Warga Kwitang dan sekitarnya antusias nonton bareng Film G 30 S PKI, Jakarta Pusat, Senin (25/9). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Dalam satu cuitan pada 22 September lalu, Fadli Zon, politikus Partai Gerindra dan Wakil Ketua DPR, mengunggah poster rencana penayangan film Pengkhianatan G30S PKI di TVRI, yang akan dihelat pada Sabtu, 30 September, pukul delapan malam.

Namun, kabar yang ramai di media sosial sepekan terakhir ini masih belum pasti. Ebi Rukbi dari divisi humas televisi pemerintah itu mengatakan bahwa rencana penayangan film garapan Arifin C. Noer tersebut masih "dibahas" direksi.

“Saya dapat info dari bagian program bahwa masih dibahas di Dewan Direksi,” ujar Ebi, 27 September lalu.

Ia menolak menjelaskan alasan mengapa TVRI berniat menayangkan kembali film G30S setelah terakhir berhenti ditayangkan pada 19 tahun lalu.

Bila nanti TVRI akhirnya jadi menayangkan salah satu film propaganda Orde Baru tersebut, maka ini kali pertama apa yang dulu jadi desakan agar menghentikan penayangannya oleh para jenderal purnawirawan TNI Angkatan Udara kepada Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan di pengujung pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie, tidak berlaku lagi. Film yang diputar TVRI saban malam 30 September sejak 1984 itu jadi tontonan wajib warga Indonesia dan menjadi memori kolektif anak-anak Orde Baru.

Baca juga: Film sebagai Alat Propaganda Rezim Penguasa

Sejak apa yang disebut "kebangkitan Partai Komunis Indonesia" didengungkan dengan tujuan menyebar politik ketakutan, dan isu macam itu tambah panas di masa pemerintahan Joko Widodo, pelbagai aksi penolakan diskusi maupun pemutaran film yang dianggap "berbau kiri" masih rutin menghiasi pemberitaan media massa pasca-Orde Baru. Terbaru adalah seminar bertajuk “Pengungkapan Kebenaran sejarah Indonesia 1965-1966,” yang sedianya digelar di Gedung YLBHI tetapi dibatalkan secara paksa atas desakan kelompok-kelompok nondemokrasi.

Selentingan kabar alias hoaks ditebar, lewat grup-grup aplikasi pesan dan media sosial, bahwa seminar tersebut adalah tanda "kebangkitan PKI", partai yang sudah mati setengah abad lalu.

Merespons pembungkaman itu, para penggiat sosial dan politik serta seni mengadakan acara "Asik-Asik Aksi", sebuah kegiatan solidaritas demi mengampanyekan apa yang mereka sebut "darurat demokrasi", di tempat yang sama. Malamnya, acara itu dikepung oleh hampir seribuan orang, lagi-lagi dengan menuduh acara tersebut berisi "orang-orang PKI".

Baca laporan khusus Tirto mengenai peristiwa pengepungan dan penyerbuan YLBHI di Jakarta Pusat:

5 Jam Terjebak Pengepungan Gedung YLBHI

Rapat Sebelum Menyerbu Gedung YLBHI

Menit-Menit Peristiwa Penyerbuan di LBH Jakarta

Duel Tagar #DaruratDemokrasi vs #DaruratPKI

Dari Mana 1.000-an orang yang Mengepung LBH Jakarta?

Pecahan Kaca di YLBHI: Serangan terhadap Pencari Keadilan

Sejak amarah massa pada Senin dini hari, 18 September lalu di areal gedung YLBHI itu, upaya menyebarkan ketakutan lewat "kebangkitan PKI" kian masif.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengeluarkan instruksi kepada para serdadu buat menggelar nonton bersama film Pengkhianatan G30S PKI. Rencana ini diikuti desakan agar stasiun televisi swasta menayangkan film itu di dalam gedung parlemen. Apalagi Gatot mengklaim bahwa instruksi ini sudah "mendapat izin" dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Taufik Kurniawan, politikus Senayan dari Partai Amanat Nasional, mengatakan bahwa pemutaran film G30S adalah "penting" menjelang 1 Oktober, yang dipakai rezim Orde Baru sebagai peringatan "hari kesaktian Pancasila."

“Ini bukan soal Orde Baru, Orde Lama, atau yang lain. Tetapi konteksnya adalah penyampaian sejarah kebangsaan kita pada generasi muda,” kata Taufik, 19 September lalu. Orde Lama merujuk masa presiden Sukarno, istilah yang dipakai oleh pemerintahan Soeharto untuk membedakan diri sebagai Orde Baru.

Sementara Tubagus Hasanudin, seorang mayor jenderal Angkatan Darat yang jadi politikus Senayan dari PDI Perjuangan dalam bidang pertahanan, enggan mengomentari rencana penayangan kembali film di TVRI.

“Saya belum bisa menanggapi karena belum pasti,” kata Tubagus, Rabu kemarin.

Menjelaskan instruksi kepada serdadu militer, Gatot berdalih pemutaran film itu dilakukan agar "generasi muda bisa memahami sejarah." Betapapun ada banyak kajian akademis bahwa film ini penuh dengan fiksi, dan di sana-sini mempertontonkan adegan seram demi dramatisasi atas "kekejaman PKI", Gatot tak ambil pusing.

“Emang gue pikirin,” ujar Gatot. "Yang bisa melarang saya hanya pemerintah.” (Baca: Panglima TNI Akui Nobar Film G30S atas Perintahnya)

Ditayangkan Dua Teve Swasta

Jika TVRI belum pasti apakah jadi menayangkan atau tidak, pada 19 September lalu, televisi satelit milik Muhammadiyah mengumumkan bakal menayangkan film itu lewat salurannya. Rencana ini sudah dipublikasikan melalui poster bertajuk “Melawan Lupa” dan diawali serangkaian informasi tentang Partai Komunis Indonesia.

Sejak Senin lalu, televisi yang bisa diakses lewat parabola dan streaming ini mulai menghadirkan cerita setengah propaganda mengenai apa yang mereka klaim sebagai sejarah PKI hingga "Komunis Gaya Baru", istilah yang selaras diungkapkan Jenderal Gatot Nurmantyo dalam pelbagai kesempatan. Tayangan ini dikemas dalam bentuk berita dan disiarkan di antara pukul 6:00 hingga 21:00 sejak Senin lalu (25/9) hingga Jumat (29/9) pekan ini.

Soal teori 'Komunis Gaya Baru' dimainkan dalam percaturan politik Jakarta, bisa baca:

Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar

Brillianto K. Satria Jaya, Direksi TV Muhammadiyah, mengatakan sebenarnya bukan kali ini film Pengkhianatan G30S PKI ditayangkan. Film ini sudah tayang sejak dua tahun lalu saban 30 September, dan menegaskan rencana penayangan ini tak ada hubungan dengan Pimpinan Pusat Muhammdiyah.

“Sebelum ada pro-kontra seperti sekarang ini, TV MU sudah menayangkan setiap tahun,” ujarnya, Selasa lalu.

Menurutnya, alasan televisi dengan slogan 'Cerdas Mencerahkan' ini menayangkan G30S demi mengingatkan para penonton serta Generasi Milenial tentang "bahaya komunisme."

“Ada organisasi yang memiliki ideologi bertentangan dengan Pancasila dan perlu diwaspadai,” ujar Brillianto, menambahkan berkas film yang diputar memakai cakram padat orisinal.

“Jangan lihat PKI sebagai partai, tapi ideologi komunisme. Partai boleh tidak ada, tapi ideologi tidak pernah mati. Soviet dan Jerman Timur boleh tumbang, tapi ideologi komunisme tidak bakal hilang,” ujarnya, membantah pendapat kritis bahwa upaya gembar-gembor "bahaya PKI" sudah tidak lagi relevan dengan zaman.

Selain TV Muhammadiyah, stasiun swasta TV One, dalam salah satu cuitannya pada 23 September, mengumumkan akan menayangkan film tersebut. Cuitan ini menyematkan poster yang meyakinkan, dengan memberi judul film dalam huruf kapital disertai tulisan "eksklusif," mengesankan suatu pemberitahuan yang teramat penting. Stasiun teve milik pengusaha-cum-politikus Aburizal Bakrie ini akan menayangkannya pada 29 September pukul 21:30. (Di saluran YouTube, Anda bisa menonton film ini secara bebas, tanpa perlu sama sekali akses yang sangat istimewa.)

Dikonfirmasi soal rencana penayangan tersebut, Karni Ilyas, Pemimpin Redaksi TV One, meminta reporter Tirto untuk menghubungi Raldy Doy, juru bicara korporat TV One.

Pada Jumat siang, lewat aplikasi pesan, Raldy mengonfirmasi bahwa film "akan tetap ditayangkan sesuai jadwal yang sudah direncanakan dan belum ada rencana pembatalan."

TV One menayangkan film ini, ujar Raldy, "karena sedang jadi perhatian dan perbincangan hangat di masyarakat atau sedang hot." Mengapa perlu embel-embel eksklusif dalam promosinya di media sosial? "Itu lebih bertujuan mendapatkan perhatian masyarakat untuk menonton tayangan ini," tambahnya.

Infografik HL G30S PKI

Tiga Orang Sentral yang Menghentikan Tayangan Film Seram

Tahun ketika Soeharto lengser pada 1998, penayangan wajib film Pengkhianatan G30S PKI segera menghilang dari rutinitasnya selama 14 tahun saban akhir September nongol di televisi.

Ada tiga orang yang berperan sentral di balik penghentian pemutaran film itu. Mereka adalah Marsekal Udara Saleh Basarah, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono.

Juwono, sebagaimana dikutip Edisi Khusus Majalah Tempo, mengatakan bahwa ia sebagai menteri pendidikan meminta para ahli sejarah untuk meninjau kembali kurikulum pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA.

"Saya ingin informasi yang diterima siswa lebih berimbang," kata Juwono.

Juwono menolak wawancara reporter Tirto untuk artikel ini saat diminta untuk menceritakan ulang penghentian tayangan film G30S.

“Mohon maaf, saya sudah pensiun,” ujarnya melalui pesan singkat.

Yunus Yosfiah, seorang pensiunan letnan jenderal yang disebut-sebut terlibat dalam penembakan wartawan Australia pada awal pendudukan Indonesia di Timor-Timur, pernah mengatakan bahwa film Pengkhianatan G30S PKI tidak lagi sesuai "dinamika reformasi" saat itu di Indonesia.

"Karena itu, tanggal 30 September mendatang, TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Yosfiah, dikutip dari Kompas edisi 24 September 1998.

Untuk mengganti penayangan film itu, Departemen Penerangan bekerja sama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mempersiapkan film pengganti, Bukan Sekadar Kenangan, yang masih bernada anti-komunis tetapi melihat peristiwa 1965-1966 dengan sudut pandang personal.

Kini film yang turut membangun narasi rezim Orde Baru itu kembali akan ditayangkan oleh stasiun televisi, yang dinilai oleh psikolog sangat tidak disarankan ditonton oleh anak-anak berusia di bawah 18 tahun. Namun, demi propaganda "bahaya komunis/PKI", sejumlah pihak terutama institusi militer di bawah Jenderal Gatot Nurmantyo, film itu dinilai cocok buat tontonan "generasi muda" sebagai materi "sejarah."

====

Artikel diperbarui dengan jawaban konfirmasi dari Raldy Doy, juru bicara korporat TV One.

Baca juga artikel terkait G30S PKI atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Politik
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam