tirto.id - "Gambar ... termasuk film, punya kesempatan yang lebih baik, dan jauh lebih cepat, ketimbang bacaan untuk membuat orang memahami pesan-pesan tertentu," sebut Hitler dalam Mein Kampf.
Adolf Hitler dan menteri propagandanya, Joseph Goebbels, meyakini bahwa film adalah alat yang sangat potensial untuk menggiring opini publik. Hitler mulai menjabat sebagai Kanselir Jerman pada 1933. Mulai sejak itu, Nazi, melalui Goebbels, mengambil alih industri film di Jerman. Pada tahun yang sama Goebbels mendirikan Reichsfilmkammer (Kamar Film Reich) sebagai lembaga yang melakukan pembersihan film yang "tidak diinginkan" dan membimbing produksi film yang dinilai "berguna".
“Dua film, bagaimanapun, didesain untuk menyalurkan ideologi anti-semit Nazi ke khalayak ramai: Der ewige Jude (Yahudi Abadi [1940]) dan Jud Süß (Yahudi Süß [1940])," ujar Richard Levy dalam Antisemitism: a historical encyclopedia of prejudice and persecution.
Film Jud Süß (1940) yang disutradarai Viet Harlan menceritakan Duke Karl Alexander dari Württemberg memulai pemerintahannya yang berjanji untuk memerintah dengan kesetiaan dan kejujuran. Namun bendaharanya, seorang Yahudi bernama Süß Oppenheimer, membuatnya korup. Warga mengeluh dan mendorong Württemberg ke ambang perang sipil. Dalam film ini Harlan membingkai Süß sebagai orang yang licik dan jahat.
Baca juga: Film dan Propaganda
Menurut Propaganda and Mass Persuasion: A Historical Encyclopedia, 1500 to the Present, Jud Süß dinilai sebagai salah satu film propaganda anti-Semit yang paling terkenal dan sukses di Nazi Jerman.
Selain itu, Die Rothschilds (1940) dan Robert und Bertram (1939) juga mengangkat tema serupa. Film-film ini sangat populer sampai terjual 2 juta tiket. Film ini terus dipertontonkan kepada polisi, penjaga kamp konsentrasi, dan tentara SS.
Propaganda Hitler juga tidak lepas dari pembingkaian kejayaan Jerman di bawah partai Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP), sebutan resmi partai Nazi. Hitler meminta Leni Riefenstahl untuk menyutradarai film dokumenter reli Nazi di Nuremberg tahun 1933. Hasilnya berupa sebuah film berdurasi panjang berjudul Der Sieg des Glaubens.
Riefenstahl juga menyutradarai Triumph des Willens (1934) yang mengisahkan reli Nazi di Nuremberg tahun 1934. Bedanya dengan Der Sieg des Glaubens, film ini tidak lagi menghadirkan sosok petinggi partai Nazi Ernst Rohm yang sudah disingkirkan oleh Hitler sebelumnya karena disinyalir menyebarkan paham komunis di Nazi.
Selain itu dua fim didesain sebagai alat yang meyakinkan kaum pekerja untuk mengubah haluan dukungan dari Komunis ke Nazi, yakni Hans Westmar (1933) dan Hitlerjunge Quex (1933). Sementara itu Mein Sohn, der Herr Minister (1937) digunakan Nazi untuk merendahkan demokrasi.
Inspirasi Datang Dari Uni Soviet
Memang Nazi memusuhi kaum komunis dan sosialis. Namun, penulis buku Nazi Cinema, Erwin Leiser menyatakan salah satu inspirasi Goebbels untuk melancarkan propaganda lewat film justru berakar pada pernyataan pemimpin Revolusi Bolshevik Rusia Vladimir Illich Lenin, “Dari semua karya seni, bagi kami, sinema adalah yang paling penting."
Goebbels juga menyitir film The Battleship Potemkin karya Sergei Eisenstein sebagai film propaganda (tentang Bolshevik) terbaik yang pernah dibuat. "Saya yakin bahwa jika beberapa bioskop memutar sebuah film yang menggambarkan zaman kita yang sebenarnya – dan jika film itu versi Nasional-Sosialis dari Potemkin – semua tiket akan dijual jauh-jauh hari," ungkap Goebbels.
Sebagai usaha menegakkan kuasa yang masih diganggung oleh kaum pendukung Tsar, pemerintah Uni Soviet di bawah Lenin banyak memroduksi film bertema anti-Tsar. Pada 29 Desember 1919 Lenin melakukan nasionalisasi industri film nasional Uni Soviet.
Salah satu sutradara terkenal dari era Uni Soviet ini adalah Lev Kuleshov. Filmnya berjudul The Death Ray (1925) menceritakan serangan yang dilancarkan kaum fasis kepada para pekerja. Film Strike (1925) karya Eisenstein juga menceritakan keresahan pekerja di bawah tekanan burjois.
Uni Soviet Untuk menjangkau para petani di pelosok, Soviet juga menggunakan strategi bioksop keliling. Pada tahun itu ada 3.477 instalasi bioskop keliling dan 863 bioskop permanen.
Baca juga: Cara Jerman Mencegah Kebangkitan NAZI
Sementara itu, usaha-usaha melancarkan propaganda melalui film juga dilakukan rezim Fasis Italia yang dipimpin Benito Musolini. Pada sebuah reli partai Fasis Italia tahun 1936, Mussolini berdiri di depan sebuah spanduk besar yang melahirkan pernyataan terkenal: "Sinema adalah senjata terkuat."
Mussolini mendirikan rumah produksi film Cinecittà pada 1936. Selain itu, lembaga L’Unione Cinematografica Educativa (LUCE) didirikan oleh Mussolini untuk memproduksi materi propaganda dan edukasi bagi masyarakat Italia.
Lembaga LUCE yang bertahan dari 1926 hingga 1943 membuat 2,972 film berita mingguan. Sebagian besar film tersebut berfokus pada Il Duce, kesuksesan militer, dan kemajuan sosial di Italia di bawah rezim fasis.
Dapat diamati bahwa di bawah rezim fasis sinema menunjukkan siapa musuh bersama dan menonjolkan sisi kejayaan rezim yang berkuasa. Dalam sebuah esai berjudul Ur-Fascism, Umberto Eco menjelaskan fenomena ini.
“Para pengikut harus merasa dipermalukan oleh kekayaan dan kekuatan yang ditunjukkan musuh. Namun, (di sisi lain) para pengikutnya diyakinkan bahwa mereka bisa menguasai musuh. Demikian, dengan pergeseran fokus retorika yang terus-menerus, musuh pada saat yang sama dipandang terlalu kuat dan terlalu lemah,” ujar Eco.
Baca juga: Saat Mussolini Memerintahkan Perempuan Kembali ke Dapur
Propaganda Orde Baru Melalui Film
Film juga tidak terlepas dari cengkeraman kuasa di Indonesia. Selama masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Presiden Soekarno memboikot film-film produksi Amerika Serikat (AS) untuk bisa masuk ke Indonesia. Masa-masa itu berakhir kala Soeharto mulai menjabat presiden pada Maret 1967.
Krishna Sen, dalam Indonesian Cinema: Framing the New Order, mencatat pada 1967 tidak kurang dari 400 film AS diimpor. Dekade berikutnya industri film di Indonesia bertransformasi menjadi ke dalam monopoli keluarga Soeharto.
Mulai 1970-an Pemerintah kemudian memproduksi film-film bertema sejarah. Janur Kuning merupakan film dengan bujet besar pertama di Indonesia yang menampilkan sosok Soeharto yang amat ditonjolkan perannya dalam melawan penjajah Belanda di era 1946-1949.
“Mungkin alasan yang paling penting untuk film propaganda Suharto adalah bahwa rezim tersebut merasa bahwa upaya baru diperlukan untuk membenarkan kendali Suharto yang lama dan represif terhadap negara (Indonesia) tersebut,” sebut Sen.
Peneliti sinema Indonesia itu juga mencatat produser Janur Kuning Abbas Wiranatakusumah menganggap akhir 1970-an adalah waktu yang tepat untuk mengingatkan masyarakat, terutama generasi muda yang tidak mengenal gerakan nasional dan tidak mengingat peristiwa 1965.
Baca juga: Para Pemuka Agama Vs Setan di Film Horor Indonesia
Narasi film-film tersebut: 'Pak Harto' telah melayani negara Indonesia di masa lalu.
Menurut Sen, legitimasi, baik sebagai presiden maupun jenderal militer, penting bagi ‘The Smiling General’ Soeharto karena di akhir tahun 1970-an mahasiswa mulai melancarkan kritik serius kepadanya. Selain itu kritik terhadap pemerintah Suharto juga cukup luas muncul dari kalangan anggota militer.
Pada 1984 pemerintah memroduksi film Gerakan 30 September. Film ini menceritakan peristiwa gerakan 30 September dan serta merta membingkai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya menjadi dalang tunggal peristiwa tersebut. Film terus ditayangkan setiap malam 30 September melalui saluran televisi.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS