tirto.id - Sesosok mayat hidup muncul dan mencoba menyentuh tubuh Rita (Siska Karebety) yang sedang tidur pulas. Perempuan berdaster biru itu pun kaget dan berusaha menjauh. Hantu itu adalah Herman (Simon Cader), sahabat Rita yang meninggal beberapa hari sebelumnya akibat kecelakaan.
Rita mengambil guling dan tanpa kenal ampun memukulkannya ke kepala Herman. Mendapat sedikit celah, Rita pun lari ke arah pintu. Sial, pintu terkunci. Herman lagi-lagi memburu. Kali ini Rita terpojok. Serta-merta Herman pun mencekik dan berusaha menggigit lehernya. Untung Rita sempat mengelak dengan mendorong tubuh Herman yang berlumuran darah itu.
Sementara di ruangan lain, Tommy, adik Rita, sedang kalut menghadapi mayat hidup Karto (HIM Damsjik), eks pekerja rumah tangga Tommy.
Dia mengambil barang apa saja yang dia temukan, mulai dari buku sampai lembaran kertas untuk dilemparkan kepada Karto. Sayangnya Karto bergeming. Diambilnya sebilah pisau kecil, lalu Tommy menusukkannya ke tubuh Karto. Laki-laki yang kerap menasihati Tommy untuk rajin beribadah semasa hidupnya itu pun berteriak marah dan berusaha mencekik .
Teriakan Karto membuat ayah Tommy, Munarto (WD Mochtar), terjaga. Munarto memeriksa Tommy yang dia pikir sedang tidur di sisinya. Namun ketika Munarto menyingkapkan selimut, yang dilihatnya malah mayat hidup yang tak lain adalah istrinya, Marwati (Diana Suarkom). Munarto terperanjat.
Perkelahian tak bisa dihindari. Marwati mencakar dan merobek baju Munarto. Sambil tertatih-tatih Munarto menyerang balik dengan melemparkan lukisan dan bantal ke arah Marwati.
Baca juga:Parade Hantu Perempuan di Nusantara
Singkat cerita, Munarto, Rita, dan Tommy berhasil melarikan diri dan bertemu di ruang tengah rumah. Tetapi mereka justru dikepung oleh tiga hantu sekaligus. Saat ketiga hantu itu mendekat, Darmina (Ruth Pelupessy) muncul. Dia adalah ‘si pengabdi setan’ yang menjadi biang keladi dari semua peristiwa mistis yang menimpa keluarga Munarto.
“Kalian akan ku bunuh satu demi satu dan akan kujadikan budak-budakku,” ancam Darmina.
“Tapi apa salah kami?” Munarto membalas.
“Akan kuhancurkan manusia-manusia tak beriman seperti kalian. Kami akan selalu datang di setiap diri manusia selagi agama cuma menjadi kedoknya,” ujar Darmina.
“Kau betul-betul manusia setan. Keluar kau dari rumah ini! Pergi!” balas Munarto.
Bukannya pergi, Darmina malah menyuruh tiga hantunya untuk menyerang Munarto dan anak-anaknya. Tanpa pikir panjang Munarto, Rita, dan Tommy lari keluar rumah. Di luar ternyata seorang ulama (Doddy Sukma) dan beberapa warga sudah bersiap menyelamatkan keluarga Munarto.
Ayat-ayat Alquran yang dibacakan oleh ulama dan warga ampuh membakar tubuh Darmina seketika. Alhasil, perempuan yang sempat berpura-pura menjadi asisten rumah tangga di kediaman Munarto itu pun hangus menjadi abu.
Persis, malam itu menjadi puncak sekaligus penyelesaian hari-hari penuh teror mistis yang menimpa keluarga Munarto dalam film Pengabdi Setan (1980)karya sutradara Sisworo Gautama. Film ini sedang diproduksi ulang oleh sutradara Joko Anwar dan akan tayang pada 28 September 2017.
Salah satu elemen penting yang membuat film hasil produksi PT Rapi Film ini berbeda dengan film-film horor saat itu adalah mengubah tema horor yang pada mulanya diwarnai kepercayaan Kristen atau Buddha dengan kepercayaan Islam.
Horor, Budaya Ketimuran ala Indonesia
Sinema horor Indonesia bermula dari diproduksinya film Dua Siloeman Oeler Poeti en Item karya The Teng Cun pada 1934. Film tersebut menjadi film horor pertama ranah sinema Indonesia.
Peneliti budaya populer Indonesia Katinka van Heeren mencatat, sejak film Ratu Ular (1972) jumlah produksi film horor di Indonesia terus meningkat. Menurutnya, bahkan film horor menjadi satu-satunya yang diproduksi kala industri film Indonesia anjlok sejak 1993.
Artikel surat kabar semasa 1993 dan 1994 pun menyebut genre yang kerap disebut juga film klenik atau film mistik ini sebagai representasi industri film Indonesia. Sebutan ini setara dengan produksi film kungfu yang identik dengan Cina atau film India yang khas dengan selingan tarian dan nyanyiannya.
"Pengamat budaya Indonesia mencoba untuk menjelaskan fenomena film horor ini dengan menyatakan bahwa genre tersebut terkait erat dengan masyarakat Indonesia dan budaya Timur yang menurut mereka identik dengan mistik dan hal-hal supernatural," sebut Heeren dalam "Return of the Kyai: Representations of Horror, Commerce, and Censorship in Post-Suharto Indonesian Film and Television."
Baca juga:Film It dan Kenapa Badut Bisa Jadi Amat Menyeramkan
Katinka menemukan pola bahwa selain kekuatan supernatural dan humor, ada dua ciri khas film horor Indonesia lainnya, yakni adegan seks dan penggunaan tokoh agama sebagai pihak protagonis.
Dimasukkannya adegan seks jamak bermunculan pada 1970-an. Awalnya adegan itu hanya digunakan sebagai pelengkap saja. Jika film diibaratkan masakan, adegan seks awalnya hanyalah penyedap rasa. Namun, pada 1980-an sampai 1990-an, penggunaan elemen erotis dalam tingkat smut dan kitsch telah menjadi menu utama dalam film horor. Seks juga tidak hanya digunakan dalam film horor namun sudah menjadi tren film Indonesia sejak 1970-an. Menurut Katinka, hal tersebut berguna untuk mendongkrak penjualan film.
“Tema sentral dari 'horor-seks' pun bervariasi, dari kisah seorang pria berselingkuh, kehidupan tante girang, pemerkosaan, sampai persetubuhan,” sebut Katinka.
Lalu, fitur klasik kedua dari film horor adalah penggunaan simbol religius ddeus ean deus ex machina dalam wujud pemuka agama. Istilah tersebut merujuk pada serangkaian plot dimana masalah yang tampaknya tidak terpecahkan tiba-tiba diselesaikan oleh intervensi pihak yang tak terduga. Dalam film, biasanya deus ex machina digunakan untuk mengejutkan penonton dan membawa narasi ke akhir yang membahagiakan.
Tema ini jamak ditemui pada film horor Indonesia era 1980-an. Para pemuka agama itu muncul sebagai tokoh yang mampu mengalahkan para hantu dan tokoh-tokoh antagonis yang biasanya diidentikkan dengan perilakunya yang menyimpang dari ajaran agama.
Baca juga:Film Horor dan Kegemaran Akan Ketakutan
Hampir semua agama mendapat jatah. Dalam Pengabdi Setan ada tokoh ulama Islam, sedangkan dalam Mistik, Punahnya Rahasia Ilmu Iblis Leak (1981) karya sutradara Tjut Djalil ada tokoh pendeta Hindu. Tjut Djalil dalam film Ranjang Setan (1986) juga menyisipkan pastor sebagai tokoh deus ex machina.
"Ketika para penyihir dan makhluk gaib menyiksa dan membunuh manusia, menyebar ketakutan dan pertumpahan darah bagi masyarakat, pada akhir cerita film, mereka dikalahkan oleh pemuka agama Islam. Kutipan ayat-ayat Alquran yang mereka rapalkan terkadang membuat makhluk jahat itu binasa," ujar Katinka dalam Cruelty, Ghosts, and Verses of Love.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Katinka, peran sentral tokoh-tokoh keagamaan dalam film horor itu tidak terlepas dari cengkeraman kuasa Orde Baru. Pada 1981 Dewan Film Nasional menerapkan Kode Etik Produksi Film di Indonesia oleh Dewan Film Nasional—sebuah lembaga yang berada di bawah naungan Departemen Penerangan yang waktu itu dipimpin oleh Jenderal Ali Moertopo—pada 1981.
Kode Etik tersebut dibuat oleh delapan komisi, yakni komisi film dan moralitas bangsa, komisi film dan kesadaran disiplin nasional, serta komisi 'film dalam hubungannya dengan pengabdian kepada Yang Maha Esa'. Komisi yang terakhir merekomendasikan agar “Dialog, adegan, visualisasi, dan konflik-konflik antara protagonis dan antagonis dalam alur cerita seharusnya menuju ke arah ketakwaan dan pengagungan terhadap Tuhan YME.”
Komisi tersebut juga “Jalan cerita disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan kepada penonton bahwa yang jahat itu pasti akan menerima/menanggung akibatnya dan menderita, dan yang baik itu pasti menerima ganjaran dan kebahagiaan.”
Kode Etik tersebut menjadi dasar bagi Badan Sensor Film untuk melakukan sensor. Akibatnya, sebagian besar film di bawah Orde Baru dari tahun 1980-an dan 1990-an mengikuti pola yang dapat diprediksi, yakni kebaikan versus keburukan dimana kebaikan selalu menang.
Makhluk Halus yang Bersahabat
Tema-tema film di atas hampir tidak banyak berubah hingga menjelang keruntuhan Orde Baru. Pada 1995-1996 perusahaan televisi swasta RCTI mulai memproduksi sinetron yang menampilkan sosok makhluk halus dalam cerita, seperti Si Manis Jembatan Ancol (1995), Jin dan Jun (1996), dan Tuyul dan Mbak Yul (1997).
Berbeda dengan film horor di bioskop, makhluk halus di sinetron tersebut justru berteman dengan manusia. Bahkan mereka membela, menolong, dan menyelamatkan nyawa manusia.
Dalam Si Manis Jembatan Ancol, seorang hantu bernama Mariam membantu orang-orang yang meninggal yang menjadi korban pembunuhan untuk membalas dendam, menghantui, dan membunuh pembunuh mereka sebagai gantinya. Sementara itu, dalam Tuyul dan Mbak Yul Tuyul, sesosok tuyul bernama Ucil berteman baik dengan Yulia. Ucil bahkan membujuk para tuyul lainnya yang masih mencuri untuk ‘insaf.'
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani