tirto.id - Badut bisa sangat mengerikan, apalagi yang tinggal di saluran air.
Mungkin itu pesan yang ingin disampaikan oleh Stephen King lewat novelnya, It (1986). Secara garis besar, novel ini berkisah tentang pengalaman 7 orang anak yang diteror lewat ketakutan dan fobianya masing-masing. Pelakunya adalah makhluk yang disebut It.
Dalam berbagai forum penggemar karya King, It digambarkan sebagai antagonis utama dalam novel itu. Ia makhluk jahat yang bisa berubah bentuk, tak punya jenis kelamin jelas atau identitas, dan diperkirakan sudah berusia jutaan tahun. Dengan kata lain, ia abadi. It diperkirakan berasal dari dimensi lain di luar bumi. Namun agar tetap bisa membaur dengan orang bumi, ia menyamar sebagai—salah satu favoritnya—badut dengan nama Pennywise.
Bagi anak-anak yang tak suka membaca, Pennywise mungkin seperti berada di luar jangkauan. Tak tersentuh. Tapi ternyata tidak juga. Mimpi buruk berupa badut jahat itu tetap mengejar. Pada 18 dan 20 November 1990, stasiun televisi ABC menayangkan dua episode film It. Tim Curry didapuk sebagai Pennywise.
Serial It sukses besar. Dua bagian itu disaksikan oleh hampir 30 juta penonton. King memuji film ini. Dalam wawancara bersama Yahoo! 2015 silam, ia mengaku awalnya memacak harapan rendah. Novel It terdiri dari 1.138 halaman, dan sudah pasti susah mengharapkan semua inti cerita bisa mampat dalam 2 bagian film.
"Tapi serial itu saking bagusnya berhasil membuatku terkejut. Sungguh sebuah adaptasi ambisius dari buku yang amat tebal," ujar King yang hingga sekarang sudah menerbitkan 54 novel.
Baca juga:Kebanyakan Penonton Tak Puas Dengan Film Adaptasi Novel
Adaptasi It dalam bentuk serial mini itu memang brilian. Jika imaji badut mengerikan yang hadir lewat kata-kata sudah begitu menghantui, bayangkan kengerian itu hadir di layar kaca, tepat di depan matamu. Seringainya yang membuat bulu kuduk meremang. Teriakannya yang merontokkan nyali. Gigi tajam dan cakar lancip yang bisa merobek perutmu kapan saja. Semua seperti amat nyata.
Bahkan ketika ditonton 27 tahun kemudian, sosok Pennywise tetap bisa membuat nyali ciut dan membuatmu ingin merajam Stephen King karena keisengannya membuat makhluk semenyeramkan itu.
Rupa-rupanya, Pennywise memang tak bisa mati. Meski sudah dianggap mati—atau setidaknya menghilang—pada 1990, ia bangkit kembali di 2017. Kebangkitan itu sudah tampak sejak 2009 silam. Warner Bros tertarik mengadaptasi It dalam layar lebar. Namun setelah melewati tahap berliku, keinginan itu baru kesampaian pada 2017.
Andres Muschietti didapuk sebagai sutradara. Ia dianggap sebagai sutradara muda nan menjanjikan berkat film horornya, Mama (2013), yang menyertakan Guillermo del Toro sebagai produser eksekutif. Kisahnya tak berubah. Tujuh orang anak yang tergabung dalam "The Losers Club" melawan Pennywise yang bertanggung jawab atas hilangnya belasan orang anak di kota Derry dalam latar waktu 1989.
Pada 31 Maret 2017, ditayangkanlah trailer pertamanya. Adegan awalnya menampakkan apa yang menjadi kover edisi pertama novelnya: kapal kertas yang mengalir menuju gorong-gorong bawah tanah. Anak kecil yang mengejarnya, Georgie, menengok ke dalam gorong-gorong gelap itu. Dan, jreng! Tampak muka Pennywise dari dalam selokan. Menyeringai sambil menyodorkan perahu kertas.
Pennywise masih ada, lebih menyeramkan, dan karenanya: keinginanmu menyambit kepala King dengan sandal terasa makin menjadi-jadi.
Baca juga:Film Horor dan Kegemaran Akan Ketakutan
Dalam film versi 2017, Pennywise diperankan oleh aktor muda asal Swedia, Bill Skarsgård. Ia berhasil menghadirkan tokoh badut neraka itu dalam versi berbeda ketimbang pendahulunya. Dalam versi Tim Curry, Pennywise masih tampak "ceria" dengan warna rambut merah terang dan dandanan yang mungkin tampak konyol. Versi Skarsgard, kekonyolan dan keceriaan itu sama sekali hilang. Ia tampak lebih mengerikan dan aura iblisnya lebih kuat.
Melihat trailernya yang menjanjikan, It versi mutakhir ini sepertinya akan menjadi film horor layak tonton. Film berbujet 35 juta dolar ini direncanakan tayang secara luas pada 8 September 2017.
Satu yang pasti, film ini harus dihindari bagi penderita coulrophobia.
Awal Mula Fobia Badut
Dalam sejarah, badut adalah seorang penghibur dalam sirkus. Ia mudah dikenali karena dandanannya yang meriah. Penampakan yang paling populer hingga sekarang adalah tipe auguste: mata dan mulut diberi lingkaran warna putih, dan hidung dicat merah. Joseph Grimaldi adalah orang yang dianggap meletakkan badut sebagai peran tak terpisahkan dalam industri hiburan dan sirkus pada awal 1800-an.
Badut kemudian kerap menjadi pusat kelucuan. Karakter badut digambarkan ceroboh, berdandan konyol, kadang canggung menghadapi orang lain. Selain memiliki arti sebagai badut, kata "clown" dalam Bahasa Inggris bisa merujuk pada "seorang yang bodoh, atau tidak kompeten."
Namun, citra badut berubah sejak munculnya karakter-karakter badut jahat. Yang sering dianggap sebagai dalangnya , siapa lagi kalau bukan Stephen King. Novel It dianggap sebagai awal mula lahirnya citra badut jahat (evil clown). Setelah karakter Pennywise sukses merubuhkan citra badut yang lucu dan menghibur, mulai bermunculan karakter badut jahat lain. Baik di film The Clown at Midnight (1998), Camp Blood (1999), Clown (2014), hingga karakter pembunuh berantai Twisty the Clown yang muncul di musim keempat serial American Horror Story (2014-2015).
Baca juga:Badut-Badut yang Tak Lagi Lucu
Ketakutan pada badut semakin nyata, dan dunia psikologi mulai menyadari itu. Ada istilah coulrophobia untuk menyebut rasa takut pada badut. Fobia ini masuk dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV). Coulrophobia masuk dalam kategori fobia spesifik dengan kode 300.29. Bisa dibilang, fobia ini lahir karena banyaknya orang yang takut pada badut. Terutama anak-anak.
Pada 2008, sekelompok peneliti dari Universitas Sheffield bertanya pada 250 anak berusia 4 hingga 16 tahun: bagaimana tanggapanmu tentang badut. Dr Penny Curtis, salah satu peneliti, mengatakan bahwa, "Semuanya tidak suka badut. Beberapa dari mereka bahkan menganggap badut mengerikan."
Ditambah dengan berbagai teror badut yang terjadi pada 2016, serta penggambaran pada film, badut di era sekarang sudah tak lagi menjadi ikon keceriaan dan kelucuan. Ia menjelma sebagai perwujudan ketakutan, juga kondisi kejiwaan yang ditutupi. Dandanan badut kerap dianggap topeng yang menutupi kondisi kejiwaan sebenarnya.
Linda Rodriguez McRobbie dari majalah Smithsonian memberi contoh sang badut legenda itu sendiri, Joseph Grimaldi. Di sekitar dunia panggung, juga penggemarnya, Grimaldi adalah orang yang ceria. Sebuah simbol komedi dan kelucuan.
"Tapi kehidupan nyata Grimaldi bukan komedi," tulis McRobbie.
Grimaldi menghadapi banyak tragedi dalam hidupnya. Ayahnya adalah seorang tiran. Istri pertamanya meninggal saat melahirkan. Anaknya mengikuti jejak Grimaldi sebagai badut, dan mati gantung diri karena kecanduan alkohol. Karena tragedi yang harus dipupur oleh tawa itu, Grimaldi pernah membuat guyonan yang dikenang hingga sekarang.
"Aku selalu muram dan cemberut sepanjang hari, tapi di malam hari aku selalu bisa membuat kalian tertawa."
Penggambaran badut yang menyeramkan ini kemudian diprotes oleh para badut profesional. Dalam wawancara bersama The Hollywood Reporter, Glenn Kohlberger, Presiden Clowns of America International, mengeluhkan bagaimana media menjadikan badut menjadi sosok yang menyeramkan. Jumlah badut di organisasinya memang terus berkurang. Pada 2004, ada sekira 3.500 badut di organisasinya. Jumlah itu berkurang cukup drastis sekarang, hanya tersisa sekitar 2.500 badut profesional.
"Hollywood mencari uang dengan membuat hal biasa jadi sensasional. Orang Hollywood bisa mengubah sesuatu yang baik dan tulus menjadi mimpi buruk," ujar Kohlberger. "Dan kami sama sekali tidak mendukung apapun yang melahirkan ketakutan pada badut."
Protes bergaung, tapi Hollywood mana mau peduli. Selama ketakutan dan kengerian masih bisa jadi tambang uang, maka mereka akan terus melakukannya. Dari sana kita tahu: suara sumbang dari para badut tak akan menghentikan It.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani