tirto.id - Adaptasi literatur bukan fenomena yang asing dalam sinema. Sebagian besar film perdana (early films) berangkat dari cerita rakyat, novel, hingga berita kriminal koran kuning. Pada awal abad 20, adaptasi terjadi pada mayoritas film yang diproduksi, entah itu di Hollywood atau di Paris, di Denmark atau di Italia, di semenanjung Malaya atau Hindia-Belanda.
Di Hollywood bahkan terdapat novel-novel populer yang sengaja dirancang untuk adaptasi layar. Michael Crichton dan Stephen King adalah salah dua penulis yang rajin menghasilkan karya-karya demikian.
Jauh sebelum Ayat-Ayat Cinta (200&), Laskar Pelangi (2008), dan 99 Cahaya di Langit Eropa (2013), sinema Indonesia telah mengenal Setangan Berloemoer Darah (1928) Si Tjonat (1929) dan Boenga Roos dari Tjikembang (1931) yang diangkat dari novel. Belum lagi yang lahir dari komik seperti Si Buta dari Gua Hantu (1970) yang bersumber dari komik berjudul sama (1967).
Adaptasi bisa dibilang adalah salah satu cara yang paling mudah untuk membuat film laris. Kontras dengan anggapan umum, penonton biasanya menyukai elemen keterdugaan dalam cerita dan itu jelas ditawarkan oleh adaptasi. Selain itu penonton umumnya penasaran seperti apa karakter-karakter favorit mereka tampil ke atas layar. Tapi benarkah persepsi positif itu terjadi pada semua karya adaptasi?
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani