tirto.id - Psikolog anak, Vera Ita Hadiwidjojo mengapresiasi langkah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy yang melarang pemutaran film Penumpasan Penghianatan G30 S PKI di lingkungan sekolah dasar dan menengah pertama. Muhadjir beralasan, film garapan Arifin C. Noer tersebut bukan konsumsi anak-anak karena memuat adegan sadis dan kekerasan.
Vera menilai, dampak tayangan kekerasan pada umumnya dapat mengakibatkan kecemasan atau ketakutan pada anak. Hal tersebut juga dapat berpengaruh negatif terhadap psikologis anak karena mereka cenderung belum bisa berpikir kritis, sehingga menerima apa saja yang ditayangkan dalam sebuah film.
“Anak jadi belajar kekerasan sebagai cara memecahkan masalah atau konflik. Dan anak kehilangan kepekaan terhadap korban kekerasan karena sudah terbiasa melihat kekerasan,” kata Vera saat dihubungi Tirto, Kamis (28/9/2017).
Kendati demikian, Vera tidak menyangkal bahwa kesadaran sejarah perlu ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Vera berpendapat, film Penumpasan Penghianatan G30 S PKI dengan segala kontroversinya tetap mengandung unsur sejarah yang dapat dijadikan bahan pembelajaran.
Karena itu, kata Vera, media atau penyajiannya harus memperhatikan kesesuaian dengan usia anak yang menjadi penontonnya. “Sehingga perlu dikaji ulang atau dibuat dalam bentuk yang lebih child friendly,” kata dia.
Solusinya, kata Vera, sekolah atau orang tua dapat memberikan pelajaran sejarah seputar Gerakan 30 September 1965 melalui penjelasan langsung kepada anak. Salah satunya dengan cara bercerita atau mengunjungi museum yang berkaitan dengan peristiwa itu. Dengan begitu, akan ada interaksi antara guru dan siswa yang pada gilirannya dapat lebih merangsang daya kritis anak.
Baca juga:Mendikbud Angkat Bicara Soal Penayangan Ulang Film G30S/PKI
Sementara itu, Psikolog Kasandra Putranto mempertanyakan sikap beberapa instansi yang mewajibkan diputarnya film Penumpasan Penghianatan G30 S PKI ini. Kasandra bahkan meragukan jika pemutaran film itu bertujuan untuk membangun kesadaran sejarah.
Kasandra beralasan, kekerasan yang ditampilkan menggunakan stimulasi audio visual tidak cocok untuk bahan belajar. Sebaliknya, kata Kasandra, metode seperti itu justru kerap digunakan kelompok radikalisme untuk memicu perilaku kekerasan.
“Maka dengan nobar [nonton bareng] semacam ini justru perlu kita pertanyakan. Tujuannya ingin belajar sejarah atau justru untuk membangkitkan sentimen dan emosi negatif?" kata Kasandra mempertanyakan.
Dalam hal ini, kata Kasandra, anak dalam rentang usia 0-18 tahun akan mengalami dampak yang berbeda-beda dari hasil stimulasi audio visual tersebut. Namun setiap kekerasan yang ditampilkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, tetap akan masuk dalam otak anak melalui stimulasi mata atau telinga.
“Dan itu bisa memberi dampak yang khas, seperti terpicu agresivitas, trauma, cemas, gangguan konsep diri dan lain-lain,” kata Kasandra.
Sementara dampak negatif lain bagi proses tumbuh kembang anak tergantung beberapa aspek antara lain: kapasitas inteligensi anak, upaya intervensi yang dilakukan dan bagaimana proses pemulihan mencapai kemajuan.
“Saya sangat tidak menganjurkan atau mengizinkan anak di bawah 18 tahun untuk menyaksikan film tersebut karena alasan itu,” kata Kasandra menegaskan.
Baca juga: Film G30S PKI Dinilai Tidak Tepat untuk Jadi Rujukan Sejarah
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz