tirto.id - Gembok gerbang pagar besi gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dibuka, tapi segera ditutup kembali. Setiap orang yang mau masuk harus mendapat izin lebih dulu dari pimpinan YLBHI.
Masih pagi, sekitar jam 9.20. Ketua Umum YLBHI Asfinawati dan Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa sudah datang ke gedung tersebut, yang empat hari lalu, sepanjang Minggu malam hingga Senin pagi, terjebak bersama 175-an orang yang cemas nyawanya terancam. Mereka terkepung oleh 1.000 orang dari sejumlah kelompok yang bergerak karena selentingan propaganda "anti-PKI", menyerbu gedung YLBHI dan dihadang oleh ratusan polisi, menimbulkan kericuhan.
Baca juga:
5 Jam Terjebak Pengepungan di Gedung YLBHI
Menit-Menit Peristiwa Penyerbuan dan Evakuasi di LBH Jakarta
Hoax PKI Memicu Kericuhan Senin Dini Hari di YLBHI
Dari Mana 1.000-an Orang yang Mengepung LBH Jakarta?
Baru melewati pagar, kedua advokat publik itu melihat suasana kantor harian mereka bak kapal pecah. Hamparan bongkahan batu. Rontokan daun. Serakan sampah plastik. Semuanya menjejali halaman YLBHI. Jumat pagi itu mereka berniat membuka kembali aktivitas rutin kantor mereka menampung pengaduan dan konsultasi hukum. Sudah empat hari agenda ini terhenti sementara karena insiden penyerangan pada akhir pekan lalu.
Masih terlihat betapa rapuhnya mereka melindungi diri dari serbuan yang tak disangka-sangka itu. Meja dan bangku ditumpuk di belakang sebuah pintu buat memblokade arus massa sekiranya massa berhasil melewati gerbang pagar besi kantor. Saat pintu itu akhirnya dibuka, bau pengap dari ruangan lantai 1 segera menyergap.
Setiap sisi ruangan dilapisi kaca. Ada sembilan lubang di pintu depan gedung yang pecah karena lemparan batu. Serpihan kaca dan batu masih terlihat di dalam ruangan. Lemari, papan tulis, meja, kursi, yang disusun untuk membentuk barikade, tak sanggup menahan terjangan batu.
“Ketika mulai ada lemparan batu, kami yang di dalam mendengar seperti ada yang mendobrak dan teriak. Gelagatnya massa mau masuk, akhirnya dipasang blokade,” kata Asfinawati.
Di sebuah ruangan di lantai satu, dekat aula, kegiatan pengaduan dan konsultasi hukum kembali dibuka. Pagi itu yang datang adalah orang yang mewakili Serikat Pekerja Bank Danamon yang jadi korban kriminalisasi. Ada juga beberapa transmigran dari Kalimantan Selatan yang pernah dijanjikan mendapat tanah 2 hektare tapi hanya diberi 1 hektare.
Tumpukan meja dan bangku, yang menutupi pintu lantai 2, dibongkar. Tempat itu adalah kantor para advokat LBH Jakarta menjalankan aktivitas sehari-hari. Bau pengap menguar, berbaur bau makanan dari acara seni 'Asik-Asik Aksi'—kegiatan solidaritas untuk merespons pembungkaman seminar terkait kekerasan politik 1965-1966 di tempat yang sama—yang dua-duanya dihantam oleh kelompok-kelompok antidemokrasi. Setelah mesin pendingin udara menyala di ruangan tersebut, lebih dari delapan orang segera masuk ke sana untuk menempuh ujian sebagai calon pengacara publik LBH Jakarta .
Baca juga:
LBH: Polri Mengingkari Janji Melindungi Seminar 65
Rapat Sebelum Menyerbu Gedung YLBHI
Sementara di lantai 3, pintu ruangannya dihalangi 2 lemari ukuran 1 x 1,5 meter persegi serta bagian belakang pintu ditumpuki 6 sofa dan 5 kursi kayu. Ruang itu kantor YLBHI. Baunya lebih pengap. Sisa makanan, umbi-umbian, dan bekas minuman menyeruak. Ada pula kamera, laptop, tas, dan alat musik dari acara 'Asik-Asik Aksi'. Barang-barang penting itu segera didata.
Saat malam penyerangan Gedung YLBHI, sebagian pengunjung acara, terutama orang-orang tua dan perempuan, dievakuasi ke lantai 2 dan 3.
“Di dalam gedung, suasananya mencekam. Massa di luar menyanyikan 'Indonesia Raya'. Kami merespons dengan menyanyikan lagu yang sama. Itu adalah lagu kebangsaan,” ujar Asfinawati.
Di luar halaman YLBHI, 500 personel kepolisian gabungan dari Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Pusat, dan Polsek Menteng tetap bersiaga, dengan mendirikan tiga tenda. Ada juga dua truk meriam air DWC6500 berkapasitas 6.500 liter dan satu truk lapis baja Barracuda.
“Anggota stanby dari pagi sampai malam. Perkembangan situasi kondusif, enggak ada perkembangan massa ke LBH,” kata Kepala Bagian Operasi Polres Metro Jakarta Pusat AKBP Asfuri, Jumat kemarin. Asfuri tak tahu kapan perintah menjaga Gedung YLBHI ini dicabut.
Akhir pekan ini, di antara hal lain, sejumlah penggiat dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), serta dari Banser (Nahdlatul Ulama) dan Kokam (Muhammadiyah), melakukan kegiatan bersih-bersih Gedung YLBHI.
Baca juga: Masyarakat Respons Positif Kampanye Perbaiki Kantor LBH
Salah satu pecahan kaca di muka depan gedung YLBHI dari aksi penyerbuan 1.000-an orang yang melemparinya dengan batu, mengepung 175-an orang terjebak di dalam gedung. © Dieqy Hasbi Widhana/ Tirto.id
Bantuan Pendampingan Hukum Tetap Berjalan Normal
Meski layanan konsultasi dan pengaduan kasus dihentikan sementara, tetapi bantuan pendampingan hukum tetap berjalan seperti hari-hari biasa. Setidaknya 15 advokasi kasus dan pendampingan tengah dikerjakan oleh para advokat publik maupun penggiat paralegal dari LBH Jakarta.
Kasus-kasus yang mereka kerjakan seminggu terakhir ini, antara lain, mengadvokasi Pondok Pesantren Ibnu Masud di Bogor yang dibubarkan karena dianggap sarang teroris. Mendampingi sidang PHK 13 buruh Transjakarta, sidang kriminalisasi dua buruh dan sopir truk PT Damira, kasus kriminalisasi Serikat Pekerja Bank Danamon, mengawal sidang kriminalisasi 3 nelayan Pulau Pari Kepulauan Seribu.
Selain itu, LBH Jakarta masih intens mendampingi sidang gugatan massal kasus sengketa tanah 144 kepala keluarga warga Duri Kepa, dua korban kekerasan seksual, kasus tersangka penodaan agama Aking Saputra, kasus penolakan pendaftaran akta perkawinan salah satu kliennya, kasus seorang warga yang pekarangan rumahnya dipasangi tiang PLN, dan kasus palang pintu Apartemen Green Pramuka City.
Mereka juga melakukan diskusi dengan pelapor khusus PBB yang menangani hak atas perumahan layak, pemutaran film 100 persen manusia, judicial review UU MD3 terkait Pansus Angket KPK, hingga memberi pelatihan paralegal orang dengan HIV/AIDS.
Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa berkata, sejauh ini, banyak sekali dukungan kepada LBH Jakarta maupun YLBHI. Bahkan ada beberapa pihak yang menawarkan bantuan 200 anggotanya untuk mengamankan Gedung YLBHI, tetapi ditolak karena enggan mengundang massa, yang bisa jadi bikin aktivitas kantor terganggu.
Ada juga dukungan dari Thailand Muslim Attorney Center Foundation, organisasi sipil di Pattani, Thailand selatan, yang dibantu LBH Jakarta sejak 2011. Mereka minta pemerintah Indonesia memberikan jaminan penuh atas keselamatan para pembela HAM di LBH Jakarta dan YLBHI.
“Pattani adalah daerah konflik yang masyarakatnya mayoritas Melayu muslim, mereka menginginkan kemerdekaan karena direpresi oleh pemerintah dan kerajaan Thailand,” kata Alghiffari.
Dukungan juga mengalir dari Ketua Umum Serikat Pekerja Danamon, Abdoel Moedjib. Ia adalah korban kriminalisasi oleh manajemen Bank Danamon, yang dilaporkan ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik dalam pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Uniknya dari kasus Moedjib, ia menuduh pihak manajemen Bank Danamon sebagai "komunis atau PKI" karena dinilai melarang karyawannya melakukan kegiatan keagamaan.
Namun, dari propaganda "PKI" atau "komunis" yang seminggu terakhir ini mendera aktivitas LBH Jakarta maupun YLBHI, solidaritas Moedjib tidaklah luntur.
“Saya muslim," katanya. "Secara historis tahu ada gesekan komunis dengan kami. Tapi LBH Jakarta sebagai lembaga pelindung rakyat, melayani dari semua sisi, baik korban 65 maupun HTI. Ini lembaga yang betul-betul peduli atas nasib rakyat yang diperlakukan tak adil. Kalau ada tuduhan LBH itu orang-orang PKI, nyatanya saya dibantu. Itu tuduhan tidak benar,” ujar Moedjib, yang juga mengikuti kegiatan 'Asik-Asik Aksi' bersama salah satu rekannya pada akhir pekan lalu.
Apa yang dikatakan Moedjib adalah pancaran dari pendirian LBH Jakarta maupun YLBHI sejak lembaga ini dibentuk sejak 1970-an oleh almarhum Adnan Buyung Nasution bersama para pejuang kemanusiaan pemberani lain. Lembaga ini bermetamorfosis menjadi yayasan pada 1980-an dan berkembang sebagai salah satu institusi hukum publik terdepan mendampingi kasus-kasus kekerasan struktural dan masyarakat rentan, dari Aceh hingga Papua.
Sepanjang kiprahnya, para penggiat YLBHI dan kantor-kantor LBH di daerah di bawah naungannya tak pernah membedakan ideologi, etnis maupun agama, serta pandangan politik para pengadu yang membutuhkan bantuan hukum, dari kasus bernuansa politik maupun urusan rumah tangga.
Baca juga:
Jejak Advokasi YLBHI dan LBH Jakarta
Teras depan yang masih berantakan, Jumat (22/9/2017). Ada prasasti dari aksi ibu-ibu Kendeng yang menolak tambang pabrik semen Rembang. © Dieqy Hasbi Widhana/ Tirto.id
'Ancaman bagi Pencari Keadilan'
Hingga empat hari usai penyerbuan terhadap gedung YLBHI, Asfinawati masih mengira-ngira arus apa yang bisa mendorong 1.000-an orang bergerak begitu cepat ke areal Menteng, lokasi kantor LBH Jakarta dan YLBHI, pada akhir pekan lalu.
Ia menilai bahwa para pendemo bisa diklasifikasikan dalam tiga peranan: massa cair yang tergerak lantaran selentingan hoax atau desas-desus, kelompok pengendali lapangan, dan "aktor intelektual" di belakang seruan menyerbu gedung YLBHI.
“Ada massa solid yang jadi dinamisator di lapangan dan jago mengoordinasi massa yang cair. Tidak mungkin tidak ada yang melakukan perencanaan,” ujar Asfinawati.
Pola menggerakkan massa semacam ini, menurutnya, marak pada masa pemerintahan Soeharto. Terlebih sentimen yang dibangun adalah label "komunis" atau "PKI" terhadap kelompok masyarakat yang dianggap mengganggu kekuasaan. Kasus-kasus perampasan tanah dan pembelaan terhadap perjuangan buruh, misalnya, sangat mudah dipukul jika disematkan sebagai "komunis".
“Pola ini berulang dan menimpa juga kelompok minoritas keagamaan. Di pengadilan, ada berbagai kebohongan yang dilabelkan kepada mereka. Misalnya Syiah Sampang, dikatakan orang Syiah kalau dikuburkan pakai kain kafan hitam, itu tidak benar,” ujar Asfinawati, yang mengadvokasi kasus-kasus hukum minoritas agama di Indonesia.
Ia menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian untuk mengusut siapa penyebar hoax dan para aktor intelektual. Permasalahan ini harus segera didalami pihak kepolisian tanpa perlu menunggu adanya aduan, sebab penyerangan dilakukan secara terbuka dan diketahui secara luas oleh publik, menurut Asfinawati.
Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa menceritakan, sebelum gedung YLBHI dijadikan lokasi seminar terkait kekerasan politik 1965/1966, ia mewanti-wanti kegiatan semacam itu, seilmiah apa pun, bisa memancing sekelompok orang yang tak ingin diskusi apa pun soal 1965 dibicarakan secara publik. Ini telah jadi peristiwa lazim sejak rezim Soeharto lengser. Dan setiap tahun, terutama menjelang akhir September, propaganda "ancaman PKI" terus didengungkan, meski partai ini sudah mati setengah abad lalu.
“Kami mengatakan, ini ada risiko tinggi, ada hoax yang beredar. Tapi pembicara sudah OK, termasuk (Mayor Jenderal TNI Purnawirawan) Saurip Kadi dan Dewan Pertimbangan Presiden (Mayjen Pol Purnawirawan) Sidarto Danusubroto. Jadi panitia anggap ini baik-baik saja,” kata Alghiffari.
Seminar itu diniatkan untuk membahas salah satu sejarah politik bangsa paling kelam terkait peristiwa 1965-1966. Setidaknya, dari pelbagai literatur sejarah dan penelitian kredibel, 500.000 orang yang dituduh anggota dan simpatisan komunis terbunuh oleh tentara dan aparatur paramiliternya. Puluhan ribu lain disiksa dan dibuang ke pelbagai penjara, termasuk ke Pulau Buru, Maluku, antara akhir 1960-an dan akhir 1970-an.
“Di luar itu, ada konteks politik di luar kendali kami," ujar Alghiffari mengingat kejadian akhir pekan lalu di kantornya. "Peristiwa ini ancaman bagi demokrasi dan para pencari keadilan."
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam