tirto.id - Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menyebut kepolisian telah berkali-kali bohong dan mengkhianati komitmennya. Sebelum penyelenggaraan acara seminar sejarah “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966”, pihak LBH dan kepolisian setempat telah melakukan kesepakatan terkait acara ini, menurut Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa, Sabtu (16/9).
Pihak LBH mengakomodasi permintaan polisi untuk membuat acara ini dapat dihadiri oleh polisi dan ditayangkan secara live streaming. Namun, pada pukul 6 pagi, polisi datang dan memblokade pintu masuk gedung LBH Jakarta. Alghiffari menilai usaha polisi ini mengkhianati komitmennya sendiri.
LBH dianggap sebagai tempat yang menjadi ruang demokrasi sipil. Penyerangan dan masuknya polisi membubarkan acara akademis yang tertutup ini adalah usaha mencederai demokrasi. Alghiffari menyebut ada pihak yang menuduh LBH sebagai pelindung PKI.
"Kami dituduh memfasilitasi PKI, itu hoax," katanya.
Sebelumnya, pada November 2016, lokasi LBH dipakai sebagai tempat kegiatan bernama Belok kiri Festival. Acara yang rencananya diselenggarakan di TIM ini dipindahkan ke LBH karena ancaman kelompok intoleran. Belok Kiri Fest menurut Alghiffari sebelumnya juga tidak memberikan pemberitahuan kepada pihak kepolisian.
"Polisi mengamankan peserta Belok Kiri Festival," kata Alghiffari.
Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, menyebut bahwa apa yang dilakukan polisi hari ini di LBH sudah melanggar hak sipil masyarakat dan lembaga. Menurutnya, LBH bukan ruang publik dan tidak perlu izin dari kepolisian. Narasi polisi yang menyebut bahwa acara di LBH ini tidak berizin sangat salah. Karena acara yang diselenggarakan LBH adalah acara ilmiah yang diikuti secara terbatas.
Asfinawati juga memprotes keras usaha polisi untuk melarang-larang penyintas 65 untuk masuk ke gedung YLBHI. Puncaknya para penyintas dilarang untuk buang air kecil di dalam gedung YLBHI.
Baca juga:
Polisi Blokade Seminar 1965/1966, Panitia: Ini Pembungkaman
Seminar 1965 Digelar untuk Luruskan Hoax Sejarah Era Orba
Terpengaruh Film Propaganda G30S, Massa Bubarkan Seminar 65
Pembubaran Seminar 1965, Bentuk Serangan terhadap Demokrasi
Para lansia penyintas 65/66 yang akan mengikuti seminar "Pengungkapan Kebenaran Sejarah 65/66" tidak diizinkan masuk ke gedung YLBHI di Jakarta oleh kepolisian (16/9/2017). FOTO/LBH Jakarta
"Jokowi Harus Bisa Menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu"
Amnesty International, sebuah organisasi HAM berbasis di London, mengecam langkah kepolisian membubarkan seminar bertajuk "Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966" ini.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pembubaran ini turut memperpanjang daftar pemberangusan kegiatan-kegiatan pengungkapan kebenaran peristiwa 1965/1966 sejak era reformasi.
"Ini juga merupakan pelaksanaan keliru atas undang-undang yang secara jelas menjamin kemerdekaan warga untuk berkumpul dan berpendapat secara damai. Tren ini harus segera dihentikan,” ungkapnya dalam rilis yang diterima redaksi Tirto.
Menurutnya, pembubaran ini terlihat sebagai langkah Polri yang bersikap munafik dan mengingkari peran utamanya melindungi setiap warga negara dan menjamin demokrasi.
Usman Hamid telah menghubungi Kapolri Tito Karnavian atas langkah anak buahnya melakukan blokade dan pembungkaman terkait kegiatan 65 tersebut.
Menurut Usman, Kapolri Tito berkata bahwa posisi polisi "dilematis." Ada kelompok anti-PKI yang siap membubarkan acara seminar tersebut. Ada aturan hukum melarang PKI, ada purnawirawan-purnawirawan TNI/Polri, termasuk massa dari aliansi mahasiswa/pemuda anti-PKI, yang mendesak pembubaran.
"Pertanyaan saya sederhana: Apakah kelompok itu dibenarkan untuk membubarkan seminar sejarah?" kata Usman, yang yang pernah bekerja sebagai koordinator KontraS, organisasi HAM yang terlibat dalam pelbagai isu pelanggaran berat kemanusiaan, termasuk menemani para penyintas 65 mengetuk pintu keadilan dari negara.
Seminar "Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966" sedianya akan digelar Sabtu dan Minggu, 16 dan 17 September di ruangan gedung YLBHI, Jakarta Pusat. Ia menghadirkan para akademisi, purnawirawan jenderal, para penyintas, dan penggiat demokrasi.
Diskusinya merentang dari peristiwa Madiun 1948 hingga membahas upaya kebenaran dan rekonsiliasi dari peristiwa paling kelam dalam sejarah politik Indonesia tersebut. Peristiwa 1965, yang diikuti pembantaian massal terhadap ratusan ribu tertuduh dan simpatisan komunis, menjadi beban sejarah bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi kenyataan masa lalu tersebut. Negara dituntut untuk melakukan upaya-upaya mengungkap kebenaran dan keadilan serta pemulihan bagi para penyintas dan keluarga korban.
"Ini saatnya Presiden Jokowi mendengarkan suara korban dibanding membiarkan kepolisian membungkamnya. Presiden Jokowi harus bisa mendengar suara rakyat untuk bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau," tegas Usman Hamid.
Baca juga sejumlah laporan mengenai utang janji pemerintahan Jokowi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM:Menagih Janji Jokowi Menuntaskan Pelanggaran HAM Berat
Pertemuan dengan Rosidi, "Hantu Komunis" yang Bukan Komunis
Penyelesaian Kasus 1965: Menuntut Keseriusan Komnas HAM
Penulis: Yantina Debora
Editor: Fahri Salam