Menuju konten utama

Pembubaran Seminar 1965, Bentuk Serangan terhadap Demokrasi

Pihak kepolisian dinilai berlebihan dalam penanganan seminar sejarah “Pengungkapan Kebenaran 1965/1966.”

Pembubaran Seminar 1965, Bentuk Serangan terhadap Demokrasi
Para lansia yang akan mengikuti seminar "Penungungkapan Kebenaran Sejarah 65/66" tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam LBH Jakarta oleh polisi (16/9/2017). FOTO/LBH Jakarta.

tirto.id - Aktivis Hak Asasi Manusia, Mugiyanto Sipin, menyatakan pembubaran seminar sejarah “Pengungkapan Kebenaran 1965/1966” oleh pihak kepolisian merupakan penyerangan terhadap demokrasi. Seminar ini rencananya diselenggarakan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Sabtu (16/7/2017).

“YLBHI [Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia] itu simbol gerakan demokrasi Indonesia. Dari sana ide-ide dan gerakan HAM dan demokrasi tumbuh sejak ketika ORBA masih sangat kuat. Hingga ide-ide dan gerakan tersebut besar hingga akhirnya menumbangkan ORBA Mei 1998,” katanya kepada Tirto.

Selama ini acara yang berkaitan dengan upaya menyampaikan pendapat tidak perlu izin. Terlebih acara seminar yang tertutup dan diselenggarakan di gedung milik lembaga yang independen. Mugi menilai apa yang dilakukan polisi mencederai demokrasi.

“Sejak kapan bikin acara harus izin? Tidak ada. Yang ada pemberitahuan polisi. itu pun kalau ditempat publik,” lanjut Mugi.

Pihak kepolisian dinilai berlebihan dalam penanganan acara seminar ini. Dari rekaman video yang dimiliki oleh Lini Zurlia terlihat polisi masuk ke dalam gedung LBH dan meminta agar acara dihentikan. Pihak kepolisian juga terlihat berusaha merebut tas milik panitia.

Rekaman itu menunjukkan pihak kepolisian bersikeras bahwa acara seminar ini tidak berizin. Spanduk acara yang ada di dalam LBH juga di turunkan paksa. “Bubar-bubar, pulang-pulang,” tiru Lini.

Lini menyebut setelah para demonstran yang menolak penyelenggaraan seminar pulang, beberapa peserta yang ada memilih untuk beristirahat di lokasi seminar.

Para aktivis dan penyintas yang tengah berkumpul bersama dikejutkan dengan polisi yang datang. Saat polisi memasuki ruangan seminar itu kondisi berubah menjadi rusuh.

Sri Sulistyawati atau biasa dipanggil Eyang Sri, salah seorang penyintas kekerasan politik 65, juga ada di dalam ruangan saat polisi masuk ke dalam gedung LBH.

Eyang Sri yang pernah aktif dalam Gerakan Wanita Indonesia terkejut saat polisi memaksa orang di lokasi itu untuk pulang. “Eyang Sri sampai tertatih-tatih beranjak dari kursi sambil membawa kopinya yang tumpah-tumpah,” kata Lini.

Baca juga artikel terkait G30S atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Hukum
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Yantina Debora