Menuju konten utama

Rekonsiliasi: Pemulihan di Atas Penghukuman

Untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM, muncul usulan untuk menyelenggarakan rekonsiliasi dan pemulihan hak korban. Penyelesaian yudisial dianggap terlalu sulit.

Rekonsiliasi: Pemulihan di Atas Penghukuman
Sejumlah korban langsung tahanan politik (tapol) mendengarkan hasil verifikasi korban pelanggaran HAM di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (19/5). Verifikasi yang didukung langsung oleh SKP HAM Sulteng, Norwegian Human Rights Fund (NHRF), dan Asia Justice and Rights (AJAR) menyimpulkan jumlah korban akibat Tragedi 1965/1966 Kota Palu sementara berjumlah 768 orang, sebagian besar di antaranya sudah meninggal dan hilang. Antara Foto/Basri Marzuki

tirto.id - Lelaki sepuh itu bernama Gatot Wilotikto. Lima puluh enam tahun lalu, tawaran studi dari pemerintah Korea Utara datang kepadanya. Beasiswa yang terlalu menarik untuk dilewatkan, sehingga Gatot berani meninggalkan studinya di jurusan biologi Universitas Padjajaran. Pada 1960, pemuda ini berangkat ke negeri ginseng bagian utara.

Waktu itu, Indonesia dan Korea Utara belum punya hubungan diplomatik. Keduanya baru resmi menjalin hubungan pada 1961. Konsulatnya pun baru ada tiga tahun kemudian. Sebelumnya, Gatot harus mengurus banyak hal melalui Cina, termasuk saat ia memasuki Korea Utara.

Namun, baru setahun menikmati kemudahan layanan konsulat, Gatot mendengar berita buruk dari tanah air: peristiwa G-30S. Enam jenderal dibunuh dan Partai Komunis Indonesia (PKI) diberitakan sebagai pelakunya. Setelahnya terjadi pembersihan, pembunuhan, dan pembuangan orang kiri secara besar-besaran.

Setahun kemudian, kenyataan pahit itu menjalar ke Korea Utara, selain ke negeri-negeri lain di mana orang Indonesia berada. Di Korea Utara, orang Indonesia seperti Gatot diminta mengikuti penelitian khusus (litsus). Latar belakang mereka diperiksa, juga segala hal yang dianggap relevan dengan tren pembersihan ideologi kiri. Jika dianggap terhubung dengan PKI, mereka bisa dipenjarakan atau dibuang.

Gatot insyaf tak ada jaminan ia akan lolos litsus. Sekolahnya pun belum selesai. Maka, ia mangkir. Dari situlah nestapa bermula. Pada April 1966, paspor Gatot dicabut oleh pemerintah Republik Indonesia, membuatnya resmi jadi warga tanpa-negara. Beruntung, sesuai undang-undang setempat, Korea Utara tetap melindunginya. Setelah setahun tak memiliki paspor, Gatot menjadi sarjana teknik listrik. Tentu saja ia tak bisa pulang ke tanah air untuk merayakan kelulusannya dengan keluarga tercinta.

Tak hanya jadi manusia tanpa-negara, ia juga kehilangan kesempatan berbicara dalam bahasa Indonesia. Di negeri Kim Il Sung itu, Gatot adalah seorang yatim piatu kebudayaan. "Tidak ada orang Indonesia lain di sana," kata Gatot.

“Bayangkan, sejak 1966 saya tak bicara bahasa Indonesia sepatah kata pun hingga 1989,” imbuhnya.

Sejak itu pula komunikasinya dengan keluarga di Indonesia benar-benar terputus. Karena ia menjadi eksil di negara komunis, keluarganya di tanah air harus berpindah-pindah rumah demi menghindari rongrongan aparat. Surat-suratnya untuk sanak saudara tak ada yang sampai.

Kerinduan Gatot pada tanah air sedikit terobati setelah ia diminta membantu tugas-tugas kedutaan pada 1989. Ia juga mendapat sedikit kemewahan finansial karenanya. Meski bukan pegawai tetap dan dibayar sekadarnya, penghasilannya digabung tunjangan dari pemerintah Korea Utara membuatnya relatif berkecukupan.

Karena pekerjaan ini, Gatot melewatkan waktunya di Korea Utara dengan hal-ihwal yang terkait dengan negerinya sembari merawat keluarganya—ia menikahi perempuan Korea Utara dan beroleh 3 anak—sampai tahun penentuan tiba: 1998. Di tahun itu, ia mendapatkan kembali paspornya, lalu memutuskan pulang ke Indonesia setelah pensiun pada 2011.

Total, Gatot tinggal di Korea Utara selama 51 tahun. Dari rentang waktu itu, 45 tahunnya dilalui di negeri asing bukan karena kehendak bebasnya, melainkan karena negara mencabut statusnya sebagai warga negara secara sepihak.

Lima Perkara Terkait Peristiwa G-30S

Gatot Wilotikto adalah satu dari ribuan orang yang kehilangan kewarganegaraan karena sedang berada di luar negeri saat peristiwa pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat (G-30S) terjadi. Mereka yang kebanyakan sedang belajar di perguruan tinggi itu tidak bisa kembali ke tanah airnya karena dianggap kiri atau Soekarnois.

Mendengar wacana rekonsiliasi, Gatot menimpali, “Rekonsiliasi sih baik saja. Tapi dengan catatan harus ada pengakuan bahwa pernah terjadi kekejaman yang di luar batas. Wong saya juga kena, [padahal] nggak tahu apa-apa. Bayangkan saja 32 tahun stateless di negeri orang.”

Permintaan Gatot senada dengan pendapat Asvi Marwan Adam. Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini memandang pemerintah harus meminta maaf terkait pengambilan kewarganegaraan. Tapi, Asvi juga mengingatkan, pencabutan kewarganegaraan warga Indonesia di luar negeri bukanlah satu-satunya perkara terkait peristiwa G-30S, sehingga penyelesaian tragedi 1965 tak cukup dengan permintaan maaf dari negara saja.

Secara keseluruhan, ada lima soal terkait pembunuhan perwira Angkatan Darat pada fajar, 1 Oktober 1965. Kelima hal itu, menurut Asvi, seharusnya tak diselesaikan dengan cara yang sama. Ada yang perlu penyelesaian hukum (yudisial), ada juga jalan nonhukum seperti permohonan maaf dan rekonsiliasi.

Soal pertama adalah tragedi pembunuhan terhadap perwira militer itu sendiri. Menurut Asvi, kejahatan ini sudah diselesaikan secara hukum. Mayoritas pelaku dan pihak yang terlibat sudah dihukum mati, dihukum seumur hidup, juga ada yang dipenjara setidaknya selama 20 tahun.

Fenomena kedua: pembunuhan massal setelah peristiwa pembunuhan jenderal. “Sebanyak kurang lebih 500 ribu orang dibantai. Pembantaiannya sudah jelas terjadi. Kalau tidak setuju jumlahnya, silakan ajukan versi penelitian lain, ada berapa?” tanya Asvi. Kasus ini sudah dikaji oleh Komnas HAM dan berkasnya sudah diserahkan pada Kejaksaan Agung.

Menurut Asvi, “Seharusnya itu ditindaklanjuti oleh Kejagung.”

Hal ketiga adalah pencabutan kewarganegaraan ribuan orang yang sedang berada di luar negeri seperti dialami Gatot Wilotikto. Asvi berpendapat, seharusnya pemerintah meminta maaf karena sudah bersalah mengambil kewarganegaraan dan hak-hak sipil mereka.

Perkara nomor empat: pembuangan paksa Buru pada 1969-1979. “Jumlah konkretnya lebih banyak dari 10 ribu dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun,” kata sejarawan bersuku Minang ini. Asvi juga mengimbuhkan bahwa dalam kasus ini jelas pangkopkamtib-lah yang menjadi pelaksananya. Untuk soal ini, solusinya adalah pengadilan HAM ad hoc.

Terakhir, atau soal nomor lima, adalah stigma dan labelisasi korban dan keluarganya. Secara sosial, tidak jarang keluarga eks-PKI dikucilkan. Mereka juga sempat dihambat menjadi pegawai negeri sipil, lewat instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 1981. Jalan penyelesaian untuk ihwal ini, menurut Asvi, adalah pencabutan aturan diskriminatif.

Penyelesaian Nonhukum

Dari kelima fenomena terkait Peristiwa 1965 di atas, ada dua hal yang bagi Asvi perlu diselesaikan secara hukum, yakni pembantaian massal dan pembuangan serta pemenjaraan tanpa proses peradilan yang sah. Terkait kemungkinan penolakan terhadap usulannya, Asvi menyatakan ia terbuka dengan jalur penyelesaian lain.

“Akan tetapi, menurut saya kalau mau lengkap dan komprehensif, penyelesaiannya seperti yang tadi saya sampaikan, karena lima kejadian itu perlu penanganan yang berbeda-beda,” tutur Asvi.

Pendapat berbeda disampaikan Todung Mulya Lubis, advokat untuk korban dan penyintas International People's Tribunal (pengadilan rakyat internasional) 1965 di Den Haag tahun lalu. Ia menganggap jalan nonhukum atau nonyudisial lebih realistis, karena peristiwanya terjadi sudah lama, hampir 50 tahun yang lalu.

“Saya pribadi fokusnya ada dua. Pertama, pengungkapan kebenaran. Kedua, mesti ada rekonsiliasi plus rehabilitasi. Yang perlu dicatat, banyak korban, PKI atau bukan PKI, juga anaknya, yang bukan merupakan pelaku kejahatan [Peristiwa G-30S]. Mereka juga punya hak untuk direhabilitasi. Punya hak untuk mendapatkan kompensasi [atas kerugian yang dialaminya],” katanya.

International People's Tribunal (IPT) 1965 di Den Haag, menurut Todung, juga merekomendasikan penyelesaian tragedi 1965. "IPT 1965 tidak menghadirkan semua fakta-fakta, semua data-data, semua kesaksian-kesaksian. Jadi menurut saya itu sebagian dari kebenaran yang mau diungkapkan. Rekomendasi dari IPT 1965 adalah rekonsiliasi dan rehabilitasi,” urai Todung.

Menurut Todung, panitia IPT 1965 sudah menyampaikan rekomendasi itu pada pembantu presiden. Apakah presiden sudah menanggapinya? “Menurut saya simposium itu adalah tanggapan terhadap tuntutan untuk menyelesaikan kasus 1965 dan tanggapan terhadap International People's Tribunal yang diadakan di Den Haag,” tambahnya.

Simposium yang dimaksud Todung adalah Simposium “Membedah Tragedi 1965 dari Segi Kesejarahan” yang diselenggarakan 18-19 April 2016 di Hotel Aryaduta. Ketua panitia pengarah, Letjen (purn.) Agus Widjojo, memang menyatakan bahwa simposium itu merupakan langkah awal menuju rekonsiliasi sebagai penyelesaian atas tragedi 1965.

Agus mengajukan rekonsiliasi sebagai jalan untuk mencairkan batas-batas pemikiran dalam masyarakat yang merujuk pada peristiwa nasional masa lalu dan meninggalkan dendam serta pandangan yang terkotak-kotak.

Selain ada korban dalam jumlah besar di pihak kiri atau eks-PKI setelah pembunuhan jenderal, Agus menunjukkan bahwa pada masyarakat juga terdapat ingatan kolektif bahwa PKI pernah melakukan pembunuhan massal pada Peristiwa Madiun 1948. Rekonsiliasi menjadi wadah untuk mencairkan ingatan-ingatan kolektif yang berbeda-beda dan berujung prasangka itu.

Ia juga menegaskan pentingnya penggalian dan pengungkapan kebenaran. “Dari pengungkapan kebenaran, kita dapat semuanya. Ada penyalahgunaan kewenangan, ada yang diperlakukan sebagai pelaku, kita juga akan melihat adanya korban-korban. Semuanya ada di situ,” urai Agus dalam wawancaranya dengan Tirto.id.

Gubernur Lemhannas ini tak memilih cara penyelesaian yudisial atau penuntutan hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM di pengadilan. Selain karena kejadian sudah terlalu lama, menurutnya penyelesaian nonhukum terkait tragedi 1965 tidak akan mengurangi nilai-nilai keadilan. Rekonsiliasi berangkat dari pemikiran bahwa keadilan tak hanya memiliki satu muka yang menghukum (retributif), tapi ada juga sisi lain, yakni keadilan yang berorientasi pada pemulihan (restoratif).

Di hadapan aktivis pembela hak asasi manusia, pandangan Agus itu mengandung masalah. Pemilihan jalan nonhukum dapat diartikan sebagai pemberian impunitas atau kekebalan hukum bagi para pelaku kejahatan HAM. Terlebih, menurut Harry Wibowo, keadilan restoratif lewat rekonsiliasi bukanlah pengganti penyelesaian hukum. Keduanya merupakan dua sisi keadilan yang seharusnya saling melengkapi.

Peneliti persoalan-persoalan hak asasi ini memandang semestinya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) punya kewenangan hukum sampai proses penuntutan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sehingga UU Pengadilan Ham Ad Hoc bisa dijalankan secara efektif seperti halnya UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Tapi masalahnya, gagasan ideal itu akan bertabrakan dengan kondisi Indonesia hari-hari ini. Pasca-simposium yang digagas Agus Widjojo, banyak protes muncul. Upaya pengungkapan sejarah dalam simposium itu dikelirukan sebagai kebangkitan komunisme. Apa pula yang akan terjadi jika ada yang ditunjuk sebagai pelaku kejahatan HAM diseret ke meja pengadilan?

Menurut Harkristuti Harkrisnowo, penyelesaian di pengadilan akan sulit membuahkan hasil. Belum tentu efektif, katanya. Sebab, pembuktiannya tidak mudah.

“Sejarah membuktikan bahwa kasus-kasus yang ditangani oleh pengadilan HAM Ad Hoc ternyata oleh David Cohen disebut sebagai intended to fail [diniatkan gagal]. Kalau ini dibawa ke ranah yudisial, saya sebagai orang hukum khawatir bahwa nanti mungkin keputusannya beda-beda tipis dengan yang kemarin-kemarin. Kenapa? Karena masalah pembuktian,” urai Harkristuti.

Itulah sebabnya mantan dirjen HAM pada pemerintahan SBY ini berpendapat pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) merupakan jalan paling tepat. Selain untuk mengungkap kebenaran, KKR harus berujung pada pemulihan atas hak-hak yang terenggut dari korban di masa lalu. Caranya adalah dengan kompensasi dan ganti rugi.

Ini sesuai dengan lontaran Agus Widjojo dalam diskusi panel itu: “Kalau korban-korban itu mengalami kerugian-kerugian akibat tindakan kekerasan, [...] pemerintah harus memberikan perhatian, [...] harus ada reparasi dan akuntabilitas. Kemudian, perlu ada kewajiban pemerintah untuk memulihkan hak korban.”

Baca juga artikel terkait REKONSILIASI atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Indepth
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti