tirto.id - Di antara sekian banyak karakter dalam novel Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel García Márquez, ada satu nama yang mustahil dilupakan para pembaca: Melquíades.
Keluarga Buendía, pusat kisah novel tersebut, mula-mula mengenal Melquíades sebagai "gipsi bongsor dengan janggut awut-awutan dan tangan serupa cakar burung gereja" yang memperkenalkan benda-benda ajaib kepada para penduduk desa mereka yang terpencil.
García Márquez menulis: "Ia berkeliling dari rumah ke rumah sambil menyeret dua batang logam dan semua orang terpukau menyaksikan panci, kuali, dan kompor terguling dari tempat masing-masing dan balok-balok berderit mengiringi keputusasaan paku dan baut yang hendak tercerabut. Barang-barang yang sudah lama hilang bahkan bermunculan dan terseret-seret di belakang logam ajaib Melquíades. 'Setiap benda punya nyawa,' kata si gipsi dalam logatnya yang kasar. 'Aku hanya membangunkan jiwa-jiwa mereka.'"
Sebenarnya, benda hebat yang diperkenalkan Melquíades secara dramatis sebagai “keajaiban dunia nomor delapan" itu cuma magnet.
14 Mei lalu, saat kami, peserta kursus narasi Yayasan Pantau, menemui Rosidi di kampung Sarongge Girang di kaki Gunung Gede, Kabupaten Cianjur, saya langsung teringat Melquíades.
Berbeda dari tiga anaknya yang ikut menyambut kami, Rosidi tampil penuh gaya. Ia mengenakan pakaian terbaiknya—yang juga ia kenakan dalam acara "Jendela" tayangan MNCTV—yaitu kemeja batik lengan panjang, totopong, dan tujuh cincin akik. Kumis serta janggutnya panjang, tapi tersisir rapi.
Seperti Melquíades, Rosidi adalah seorang penampil. Ia tahu kami datang untuk mendengarkan ceritanya, tapi, setelah semua orang mendapat tempat yang nyaman buat bersila di ruang tamu rumahnya, ia tak langsung mengoceh. Ia malah mengeluarkan gelas bambu penuh karinding, mengambil sebilah, dan mulai memainkannya.
“Coba,” kata Rosidi sambil memeragakan cara membunyikan alat tersebut. “Kalau bisa, sah jadi cucu Abah. Yang perempuan, jadi istri juga boleh.”
Ruang tamu rumah Rosidi sempit dan beratap rendah. Dinding dan langit-langitnya terbuat dari anyaman bambu, seperti sebuah besek raksasa. Diisi duapuluhan orang, ruangan itu segera jadi panas dan pengap. Namun, hari itu, tak ada yang tampak keberatan berada di sana.
Kalau berbunyi pong-pong-pong, berarti getaran karinding bergema di rongga mulut penggunanya. Kalau splok-splok, si pengguna salah menempatkan karinding sehingga jarum getar alat itu malah mengenai bibirnya.
Ketika kami semakin asyik mencobai karinding dan berkelakar, Imam Shofwan, salah satu pengurus Yayasan Pantau yang memandu kami, bertanya kepada Rosidi: “Bagaimana Abah sanggup menjaga hubungan baik dengan mantan? Mohon rahasianya dibagikan kepada kami.”
Sebagian anggota rombongan, barangkali punya kebutuhan mendesak atas informasi tersebut, bersorak mendengar pertanyaan Imam.
Sebelum berjumpa Rosidi, kami sudah mengenalnya dari buku Cerita Hidup Rosidi (2016) karya Tosca Santoso, wartawan yang mendirikan Kantor Berita Radio 68H. Buku itu bacaan wajib dalam kursus kami. Dan memang, salah satu perkara yang menonjol dalam riwayat itu ialah kisah percintaan Rosidi.
Rosidi lahir di dusun Cikawung, Cianjur Selatan, pada 1931. Menurut Tosca, semasa muda Rosidi dijuluki teman-temannya “Arjuna dari Cikawung” karena ketampanan dan kegemarannya bersolek (ia bahkan pernah meminyaki rambutnya dengan oli mesin penggiling teh). Dan seperti Arjuna, Rosidi muda memang punya hasrat yang meluap-luap terhadap lawan jenisnya.
Rosidi menikah dengan Mamah, seorang aktris kelompok tonil Cikawung, pada 1953. Tetapi ikatan itu tak menghambat petualangannya. Setelah Mamah, ia mengawini Yuyum dan Titik dan Diah dan Murtiyah dan Oneh. Ia mendapat dua anak dari Mamah, satu dari Yuyum, dan tujuh dari Oneh.
“Adakalanya ia menikah begitu saja, waktu masih terikat status dengan Mamah, istri pertamanya. Dan ia pernah dua kali menjatuhkan talak kepada Mamah yang menolak dimadu,” tulis Tosca. Perkawinan putus-sambung itu baru selesai pada 1964 ketika Rosidi "kawin lari" dengan Oneh, perempuan yang kemudian menjadi istri terakhir sekaligus pendampingnya seumur hidup.
Setelah tak lagi terikat matrimoni, hubungan Rosidi dan Mamah membaik. Keduanya akur dan saling memedulikan seperti saudara kandung. Kelak, jauh setelah perceraian mereka, Mamah bahkan mau repot-repot membantu proses bersalin Titin Kartini, anak ketiga Rosidi dan Oneh.
"Menjaga niat, ucapan, dan lampah (tindakan)," kata Rosidi, menjawab pertanyaan Imam.
Berkebalikan dengan minatnya terhadap perempuan dan memperbanyak keturunan, Rosidi tak tertarik kepada politik.
Ia memilih Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada pemilu 1955 hanya karena mengagumi Sukarno, bukan karena setuju dengan program-program partai itu. Menurut Tosca, Rosidi bahkan menganggap DN Aidit, politikus penting Partai Komunis Indonesia (PKI), sebagai dukun Sukarno.
Ketika bekerja di pabrik teh Ciguha, Rosidi bergabung ke dalam Sarekat Buruh Perkebunan Indonesia (Sarbupri), tetapi ia tak pernah terlibat kegiatan organisasi. Baginya, kartu keanggotaan Sarbupri berarti jatah beras dan ikan asin sebulan sekali, daging sapi dan kain belacu setiap menjelang lebaran, serta karcis ajaib buat berobat dan bepergian gratis sesekali.
Pada 10 Oktober 1965, sembilan hari sejak Tentara Nasional Indonesia (TNI) di bawah komando Jenderal Soeharto memulai perburuan terhadap golongan komunis dan aliansi-aliansi politik lain Presiden Sukarno, Rosidi berkunjung ke rumah Salna, paman sekaligus bekas mandornya di perkebunan teh Cikawung, buat memperkenalkan Oneh sekaligus berpamitan. Ia mendapat pekerjaan baru di perkebunan teh Goalpara, Sukabumi.
Meski Cianjur tak jauh dari Jakarta, Rosidi belum tahu prahara politik yang sedang bergulir. Atau, kalaupun pernah mendengarnya di radio, ia sama sekali tak menyangka akan terkena imbasnya.
Di rumah Salna, Rosidi didatangi dua tentara. Mereka mencari tuan rumah yang kebetulan baru saja masuk kamar. Barangkali, karena mengendus bahaya, Rosidi bilang Salna sedang di sawah. Tentara-tentara itu menanyakan identitasnya. Ia menyerahkan kartu Sarbupri, satu-satunya kartu identitas yang ia miliki. Celaka.
Beberapa hari kemudian, di sebuah kamar interogasi, seorang tentara bertanya kepada Rosidi: “Saudara ikut ke Halim?”
“Saya belum pernah ke Jakarta. Ke kota Cianjur juga baru sekarang ini,” jawab Rosidi dalam bahasa Sunda. Tadinya, ia bahkan tak tahu ditanyai apa karena tak paham bahasa Indonesia.
“Tapi saudara anggota Sarbupri. Itu organisasi PKI.”
“Saya anggota Sarbupri, tapi tidak tahu tentang PKI.”
Menurut tentara, pada 30 September 1965, PKI menjalankan makar terhadap Presiden Sukarno dan hendak menjadikan komunisme sebagai dasar negara. Salah satu bagian dalam rencana makar itu ialah pembunuhan enam jenderal penting angkatan darat oleh Letnan Kolonel Untung Sutopo dari resimen pengawal presiden Cakrabirawa.
Narasi itu terus-menerus disampaikan tentara sebagai penjelasan tunggal peristiwa yang mengubah arah politik Indonesia tersebut dan pembenaran atas perburuan terhadap golongan komunis, terutama saat Soeharto telah berkuasa sebagai bos besar Orde Baru. Penjelasan itu disampaikan dalam pelbagai wujud, dari film Pengkhianatan G30S/PKI(Arifin C. Noer, 1984) hingga buku Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya terbitan Sekretariat Negara pada 1994.
Tafsir berbeda disampaikan oleh Indonesianis termahsyur Benedict Anderson. Menurutnya, peristiwa 30 September/1 Oktober 1965 ialah buah konflik internal angkatan darat. Sejumlah perwira muda, salah satunya Letnan Kolonel Untung Sutopo, mendapat informasi bahwa jenderal-jenderal penting TNI berkomplot dengan tujuan makar. Maka, alih-alih merebut kekuasaan, menurut teori ini, Untung dan kelompoknya justru berencana melindungi Presiden Sukarno. Menurut Anderson, situasi penuh desas-desus itu dirancang oleh sebuah klik dalam angkatan darat, dan klik itu pulalah yang memancing keterlibatan sejumlah elite Biro Khusus PKI.
Penjelasan Anderson tentu lebih masuk akal ketimbang versi Orde Baru. Menjelang prahara tersebut, PKI adalah aliansi politik terdekat dan terkuat Presiden Sukarno. Kalaupun sejumlah elitenya hendak merebut kekuasaan, mereka mustahil melakukannya tanpa jaminan kuat dari tentara nasional sebagai satu-satunya kelompok yang mempunyai senjata dan alat-alat perang.
(Baca: Di Mana Mereka di Malam Jahanam itu?)
Rosidi tak paham semua itu. Namun ia, seorang orang kecil, terkena imbas yang luar biasa besar. Hidupnya terampas dan ia sekeluarga teraniaya dalam pertarungan politik para elite. Hanya karena ikut serikat buruh, Rosidi menjadi pesakitan dan pekerja paksa selama 13 tahun.
Rosidi dipenjara di Kamp Panembong selama sebelas tahun (1965-1976) dan di Lembaga Pemasyarakatan Kebon Waru, Bandung, selama dua tahun (1976-1978). Dan sepanjang masa itu, ia dan kawan-kawannya sesama tahanan dijadikan tenaga kerja gratis alias budak oleh pihak yang memenjarakan mereka tanpa peradilan: tentara.
Rosidi pernah diperintahkan mengeruk pasir sungai, masak di rumah makan, membalak hutan, memecah batu, dan merintis perkebunan. Sebagian besar hasil pekerjaan-pekerjaan itu tentu harus ia serahkan kepada tentara. Saat menjadi pengeruk pasir di sungai Cihea, misalnya, hasil penjualan setengah kubik pertama pasir yang berhasil ia kumpulkan setiap hari adalah jatah tentara. Sisanya, kalau ada, barulah dapat ia jual seharga 2 ribu rupiah per kubik.
Rosidi harus menafkahi Oneh dan anak-anak mereka yang mendampinginya di Kamp Panembong. Maka ia terpaksa bekerja berkali-kali lipat dari yang seharusnya. Setelah seharian mengabdi kepada tentara, ia mencari tambahan pemasukan dari berburu kodok. Sudah begitu pun anak-anaknya masih sering kelaparan.
Kata Rosidi, semasa kecil Wawan Sudrajat, anak keduanya yang lahir dan dibesarkan di Panembong, kerap membentur-benturkan kepala ke tembok karena kelaparan. “Tapi saya bisa apa? Kalau dikasih saat itu, besok tidak ada beras lagi,” kata Rosidi.
Wawan, yang mendengar cerita ayahnya kepada kami, tersenyum sambil menunduk. Kini ia berumur 49 tahun dan menjadi ketua RT di kampung mereka. Saat Rosidi berhenti bicara, Wawan melengkapi: “Abah ini keras kepada anak-anaknya, tapi bijaksana.”
Selain Wawan, anak Rosidi yang menemani kami saat itu adalah Titin Kartini, 46 tahun, dan Ratna, 35 tahun. Saat Rosidi bicara lagi, saya berbisik kepada Titin yang duduk di sisi kanan saya: "Bagaimana dengan Emak Oneh? Apakah sama keras dengan Abah?"
"Belum lama ini Abah cerita," katanya. "Kejadiannya waktu Abah sudah bebas dan kami tinggal di sini, di Sarongge. Emak mendatangi Abah ke kebun, melapor bahwa beras habis dan anak-anak kelaparan, tapi Abah malah marah. Ia melepas arlojinya dan melemparkannya ke badan Emak."
Titin bicara sambil menangis, tetapi nada suaranya tak terkesan melodramatik.
"Saya sering melihat Abah menangis sendirian malam-malam. Kalau saya tanya, katanya ia menyesali caranya memperlakukan Emak," kata Titin.
Rosidi ternyata mendengar obrolan saya dan Titin. Raut wajahnya berubah murung.
"Emak Oneh...," katanya.
Ketika Rosidi dipenjara, Oneh punya pilihan untuk melanjutkan hidupnya, baik tanpa pasangan maupun dengan pasangan baru. Tetapi ia memutuskan buat menyusul dan tinggal bersama Rosidi di Kamp Panembong. Dalam susah, lapar, dan miskin, mereka selalu bersama (kecuali saat Rosidi dipenjara di Kebon Waru, di sana ia tak boleh membawa pasangan), sampai Oneh meninggal dunia pada awal 2016.
Setelah Rosidi bebas dan mendapat hibah lahan tempat tinggal dan kebun di Sarongge pun kehidupan keluarga itu tak serta-merta membaik. Sebagaimana yang diceritakan Titin, mereka masih sering kelaparan. Untuk menyiasati keadaan itu, Oneh mengatur jatah nasi berdasarkan "kebutuhan tenaga" tiap-tiap anggota keluarga mereka.
"Saya selalu dapat kepalan nasi paling kecil," kata Ratna, anak bungsu Rosidi dan Oneh.
Namun, situasi paling menyedihkan yang dialami Rosidi dan keluarganya bukanlah kelaparan, melainkan pengucilan dan permusuhan dari orang-orang yang bukan eks tapol.
Sarongge Girang tak selalu bernama Sarongge Girang. Sebelumnya, kampung kecil di atas kampung Sarongge induk itu bernama Sarongge Ubruk alias Sarongge Buangan. Mitos yang diciptakan dan disebarkan rezim Orde Baru tentang komunisme dan orang-orang komunis adalah racun yang membius siapa saja, termasuk penduduk kampung Sarongge induk.
Kata Titin, ia sempat bersekolah sampai kelas empat sekolah dasar, dan selama itu ia tak pernah kebagian tempat duduk di kelas.
"Jangan kasih duduk! Anak PKI itu!" katanya menirukan ucapan bocah-bocah di sekolahnya dulu. Itu situasi normal. Kalau hasrat bocah-bocah itu buat merundungnya sedang tinggi, mereka akan merampas buku-buku paket yang ia dapat dari sekolah dan mencampakkannya ke parit.
Berkat rezim Soeharto, orang-orang komunis dan tertuduh komunis di Indonesia jadi serupa hantu. Mereka diabaikan sekaligus ditakuti. Mereka dimusuhi tetapi tabu dibicarakan. Padahal, PKI sudah lama dibubarkan dan Marxisme tak pernah ada lagi di ruang-ruang kelas.
Hingga kini, meski rezim telah berganti berkali-kali, pada kartu tanda penduduk Rosidi masih ada keterangan "ET" yang berarti "Eks-Tapol."
Di bagian-bagian tengah dan akhir Seratus Tahun Kesunyian, Melquíades juga muncul sebagai hantu. Setelah sejumlah berita kematiannya sampai ke keluarga Buendía di Macondo, ia kembali ke kota itu buat melaporkan bahwa ia sebetulnya mati karena terkena demam di gurun Singapura, bukan karena serangan cumi-cumi seperti yang dilaporkan.
Melquíades "tak sanggup menghadapi kesunyian maut" dan kembali ke dunia orang-orang hidup dengan wajah "yang berkilauan sukacita." Sehari-hari, hantu Melquíades sibuk menuliskan sejarah dan takdir keluarga Buendía di lembar-lembar perkamen dan mondar-mandir di rumah mereka, dengan penampilan semuda atau setua apa pun yang ia kehendaki.
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Fahri Salam