Menuju konten utama
Horizon

Membaca Tarian, Menubuhkan Ingatan

Karya yang diangkat dari Larasati ini seolah ingin menegaskan bahwa perempuan bukan hanya korban, tapi juga subjek sejarah dan perjuangan atas kemerdekaan.

Membaca Tarian, Menubuhkan Ingatan
Pertunjukan ARA Chronicle of A Moving Clipping yang dipentaskan oleh kelompok tari Tarang Karuna, Kamis malam (7/8/2025). tirto.id/Zulkifli Songnayan

tirto.id - Ingatan adalah modal utama perlawanan. Kalimat itu terlintas pertama kali di benak saya sehabis menyaksikan pertunjukan ARA: Chronicle of A Moving Clipping yang dipentaskan oleh kelompok tari Tarang Karuna, Kamis malam (7/8/2025).

Entah dari mana saya mendapatkan kalimat itu, bisa jadi dari bacaan, percakapan, atau pengalaman lainnya. Ingatan itu juga menjadi bukti bahwa tubuh selalu dimungkinkan untuk menyerap pengetahuan dari apa pun sumbernya, dan akan memuntahkannya kembali saat dibutuhkan.

Kamis malam itu Bandung lumayan cerah setelah diguyur hujan yang luar biasa lebat selama dua malam terakhir. Tjap Sahabat yang terletak di area pertokoan Cibadak menjadi tempat digelarnya pertunjukan. Daerah yang biasanya penuh sesak dengan para pelancong kuliner pada malam akhir pekan, malam itu terasa lebih lengang. Hanya di area Tjap Sahabat yang tampak penuh oleh para calon penonton pertunjukan.

Tjap Sahabat merupakan bekas toko mainan yang legendaris bernama Dunia Fantasi, plang tokonya pun masih samar-samar terlihat. Belakangan, toko mainan itu disulap menjadi Cultural Hub & Gallery, beragam aktivitas berlangsung di sana, mulai dari workshop, pameran seni rupa, sampai pasar kreatif yang diselenggarakan berbagai komunitas.

Di dalam, atmosfer pertunjukan mulai terasa. Di tempat yang serupa gudang tua berukuran besar itu, berbagai perangkat seni pertunjukan, mulai dari tata lampu, tata suara, tata visual dengan teknis video mapping, hingga tata panggung yang dekat dan setara antara penampil dengan penonton sudah siap.

Bagi yang datang lebih awal bisa menyaksikan sambil bersila dengan jarak yang cukup lekat dengan para penampil. Sementara saya, karena hadir lumayan terakhir, kebagian berdiri dan menyaksikan dari sudut ruangan. Kelebihannya, tentu saja, jadi bisa mengamati ruang secara keseluruhan.

Ketika lampu utama ruangan dimatikan, sorot lampu yang diatur sedemikian rupa mengarah ke tujuh penari, diiringi bunyi musik yang perlahan tetapi mengentak karya Ways, seorang DJ (disk jockey). Pertunjukan dimulai melalui rangkaian semburat grafis video mapping yang mengisi tiga sisi dinding gudang.

Pertunjukan ARA Chronicle of A Moving Clipping

Pertunjukan ARA Chronicle of A Moving Clipping yang dipentaskan oleh kelompok tari Tarang Karuna, Kamis malam (7/8/2025). tirto.id/Zulkifli Songnayan

Ada tiga repertoar yang disuguhkan ARA. Bagian pertama difungsikan untuk mempertanyakan tubuh sebagai media yang menerima, membaca, dan menginterogasi teks Larasati (1960) karya Pramoedya Ananta Toer.

Kedua, tubuh yang sudah menyerap teks kemudian memproyeksikan dirinya pada isu-isu di luar tubuh itu sendiri, yakni peristiwa dan trauma yang bergema di ruang-ruang publik.

Pada bagian terakhir, sang tubuh mengupayakan dirinya sebagai pencipta kemungkinan, mengusahakan diri menjadi bagian dari jaringan-jaringan, dengan tujuan untuk terus menjadi dan tidak tunduk pada satu narasi.

Ketiga repertoar itu disajikan dengan dramaturgi yang dialogis, bukan hanya bagi penonton dan para penari, tapi juga antara gerak tubuh penari dengan berbagai elemen yang melingkupinya, termasuk tata lampu dan irama musik yang setiap derapnya direspons menjadi gerakan atau bahkan sebaliknya.

Di tengah-tengah pertunjukan, ada bagian yang membuat perasaan saya ambigu, antara ingin meringis, sedih, tercekat, senyum, atau tertawa. Saya dibuat bingung mesti merasakan apa ketika video mapping menampilkan berbagai berita konflik dan sengketa yang terjadi di Indonesia, sementara para penari berjingkrak-jingkrak dengan ekspresi yang seperti kegirangan tetapi sekaligus mencekam, ditambah lagi dengan alunan musik yang di telinga saya seperti iringan tayuban.

Itu momen puncak pertunjukan ARA yang saya rasakan—entah bagi penonton lainnya—tapi bagi saya bagian itu terasa terus melekat menjadi ingatan yang mencekam.

Pertunjukan ARA bukan tuturan linier alih media belaka yang memindahkan teks novel Larasati menjadi sekumpulan adegan dari awal hingga akhir. Pendekatan pembacaan yang mereka lakukan ditekankan berkali-kali dalam berbagai tulisan yang mengiringi pertunjukan ini, bahwa tubuhlah yang digunakan untuk membaca teks, karena di seluruh reaksi dari tubuh itulah tersimpan ingatan tentang berbagai lapisan pesan yang dirangkai oleh Pramoedya Ananta Toer melalui novelnya.

Para penari bergerak, berkumpul, berpisah, berteriak, berdiam, berbaris, berpencar, berguling, bersandar, berdiri, menindih, tertindih, tertelungkup, terkapar, terduduk, hingga berdiri di tumpukan kursi yang bergoyang seolah akan runtuh seketika itu juga.

Larasati dipentaskan dengan runutan yang terfragmentasi dalam berbagai gerakan yang seolah ingin menegaskan bahwa perempuan bukan hanya korban, tetapi juga subjek sejarah dan perjuangan atas kemerdekaan.

Hingga akhir pertunjukan, ketika tepuk tangan mulai bergemuruh dan lampu ruangan kembali dinyalakan, apa yang ingin disampaikan Pramoedya 65 tahun lalu itu masih terus menemukan relevansinya hingga saat ini.

Pertunjukan ARA Chronicle of A Moving Clipping

Pertunjukan ARA Chronicle of A Moving Clipping yang dipentaskan oleh kelompok tari Tarang Karuna, Kamis malam (7/8/2025). tirto.id/Zulkifli Songnayan

Dalam catatannya atas ARA: Chronicle of A Moving Clipping, Taufik Darwis--kurator, dramaturg, fasilitator dan seniman pertunjukkan--menyebut tak ada tokoh utama dalam pertunjukan ini, karena dramaturgi ARA tidak menjanjikan pemahaman tunggal. Catatan lainnya dari Udung, sapaan Taufik Darwis, adalah praktik pembacaan intermedial.

Bagi Udung, pertunjukan Ara menghadirkan kerangka koreografis yang mempersoalkan relasi antara tubuh, teks, sejarah, dan ruang. Jadi, jangan harapkan pola tutur pertunjukan bergaya Broadway atau musical dance ala Disney dengan seperangkat putri, pangeran, dan kastilnya yang tentu saja semuanya berakhir bahagia. Lupakan juga praktik mencari hiburan sebagai pemuas eskapisme rutinitas, karena jelas yang sedang disajikan ialah gugatan atas narasi yang mapan.

Selain Taufik, tulisan Astrid Damiarsih dalam zine tentang pertunjukan ARA juga menarik perhatian saya. Menurut Astrid, ARA tidak lahir di ruang hampa; dia justru tumbuh di Bandung, yang meski kotanya penuh dengan berbagai peristiwa seni pertunjukan, tapi tubuh penari justru kerap diminta indah, lentur, manis, ngagitek, tetapi tidak bersuara. Menurutnya, ARA datang dan memutuskan menjadi pengganggu kemapanan itu.

Baca juga artikel terkait PERTUNJUKAN SENI atau tulisan lainnya dari Fitra Ananta Sujawoto

tirto.id - Horizon
Kontributor: Fitra Ananta Sujawoto
Penulis: Fitra Ananta Sujawoto
Editor: Irfan Teguh Pribadi